• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENYIAPKAN MENTAL MAHASISWA DI ERA KOMPETISI

MENYIAPKAN MENTAL MAHASISWA DI ERA KOMPETISI

Sabtu kemarin, 17 Oktober 2015, saya memperoleh kesempatan untuk berbicara di dalam forum Wisuda Sarjana Strata I dan II di IAIN Salatiga. Acara ini dilakukan dalam rangka mengukuhan Sarjana Strata I dan II untuk yang kedua, pasca peralihan Status STAIN Salatiga menjadi IAIN Salatiga.

Acara ini tentu dihadiri oleh seluruh anggota Senat dan para pimpinan Fakultas di lingkungan IAIN Salatiga dan juga para pejabat di Wilayah Salatiga, orang tua dan Wali Wisudawan dan Wisudawati. Acara yang sangat monumental tentu saja.

Di dalam kesempatan ini, saya menyampaikan tiga hal penting sebagai bekal wisudawan dan wisudawati di dalam menghadapi kompetisi yang akan terus menggelinding di Era Globalisasi maupun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Pertama, saya mengucapkan selamat kepada seluruh jajaran Pimpinan  dan dosen IAIN Salatiga yang telah mewisuda sebanyak 300 mahasiswa lebih dalam berbagai program studi  di IAIN Salatiga. Lalu, juga kepada para orang tua atau wali wisudawan atau wisudawati yang hari ini tentu saja sangat berbahagia karena telah menyelesaikan pendidikan bagi anak-anaknya. Kepada para wisudawan dan wisudawati tentu juga sangat layak diapresiasi atas keberhasilannya menyelesaikan pendidikannya di IAIN Salatiga. Hari ini adalah hari yang membanggakan,  tetapi sekaligus juga menjadi awal bagi wisudawan dan wisudawati  untuk menapaki kehidupan baru sebagai anggota masyarakat yang tentu mengharapkan peran sosial dari para wisudawan dan wisudawati.

Kedua, kita sekarang sedang berada di era kompetisi yang sangat keras. Oleh karena itu lalu perlu memiliki kesiapan mental yang sangat baik untuk menghadapinya. Mahasiswa harus memiliki bekal untuk menjawab tantangan kompetisi yang makin keras. Di era kompetisi ini maka siapa yang memiliki kapabilitas yang memadai,  maka dialah yang akan menguasai kompetisi dimaksud. Siapa yang tidak kompeten,  maka dia akan hilang ditelan oleh era kompetisi itu. Agar kita bisa berkompetisi,  maka salah satu syarat yang dibutuhkan adalah memiliki kompetensi yang wajar dan bermanfaat.

Sesungguhnya, kita membutuhkan kemampuan yang disebut soft skilled selain yang disebut sebagai kemampuan atau hard skilled.  Kemampuan hard skilled saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai kemampuan dasar untuk menghadapi era kompetisi yang makin kuat ini. Oleh karena itu, setiap mahasiswa PTAIN harus memiliki kemampuan yang memadai, yaitu hard skilled yang utuh dan soft skilled yang unggul.

Agar alumni PTAIN memiliki kemampuan yang cukup untuk berkompetisi di era seakrang dan akan datang, maka mereka harus dibekali dengan soft skilled yang memadai. Di antara yang sangat penting adalah kemampuan emosional dan spiritual yang baik. Kemampuan intelektual yang baik saja tidak cukup untuk menghadapi persaingan di era global ini. Pintar saja tidak cukup kecuali ditopang oleh kemampuan emosional dan spiritual yang memadai. PTAIN saya kira adalah lembaga pendidikan yang sangat baik untuk membina kemampuan emosional dan spiritual. Melalui keduanya, maka sesungguhnya pendidikan karakter telah dilakukan.

Jika seseorang memiliki karakter yang sangat kuat, maka dia akan mampu melihat setiap potensi yang ada di depannya. Saya selalu menggunakan ungkapan Sandiaga Uno untuk menggambarkan bagaimana kekuatan move on itu dimulai dengan kekuatan mental. Dia menyatakan bahwa “every crisis there is a problem. Every problem there is a solution”.

Oleh karena itu, agar para alumni memiliki semangat pantang menyerah, maka kiranya diperlukan pendidikan khusus yang bersearah untuk mengembangkan kemampuannya di dalam menghadapi tantangan zaman. Mereka yang sukses adalah mereka yang memiliki kemampuan mental yang bagus. Mereka yang tahan banting. Mereka yang pantang menyerah dalam menghadapi situasi yang sulit. Dengan demikian, pembekalan pendidikan soft skilled sangat diperlukan di era sekarang.

Setelah diwisuda, maka alumni PTAIN berada di dalam situasi krisis. Mereka akan memasuki dunia baru yang lebih menantang. Jika selama menjadi mahasiswa hanya menghadapi problem perkuliahan, maka ketika mereka sudah diwisuda tentu tantangannya jauh lebih kompleks. Tantangan hidup yang kompleks, misalnya untuk memperoleh pekerjaan atau menciptakan pekerjaan. Inilah tantangan terbesar dari alumni PTAIN selepas keluar dari Pendidikan tinggi. Makanya, seorang yang akan berhasil adalah mereka yang kuat di dalam menghadapi tantangan demi tantangan ini.

Ketiga, Yang tidak kalah menariknya adalah tantangan kebangsaan. Harus dimaklumi bahwa di era kompetisi bangsa yang makin kompleks, maka satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana kita tetap mengedepankan Islam yang mampu dan relevan dengan untuk menjawab tantangan kebangsaan kita. Islam yang kita harapkan adalah Islam yang mampu menjadi inspirasi bagi kemajuan dan peradaban dunia. Islam Indonesia diharapkan banyak kalangan akan dapat membawa misi kerahmatan dan keberkahan bagi dunia. Kala kita tidak bisa lagi berharap pada Timur Tengah untuk menjadio lokomotof pembangunan peradaban dunia, maka dunia bertumpu pada Islam Indonesia.

Di tengah kegalauan dunia tentang perkembangan Islam yang makin suram di belahan Negara-Negara Timur Tengah, maka mereka berharap agar Islam Indonesia yang akan menggantikan peran dunia Arab yang terus dilanda kemelut. Melalui pendidikan karakter Islam yang rahmatan lil alamin, maka ke depan kita akan menyaksikan bagaimana Islam Indonesia akan memainkan peran signifikan bagi pembangunan peradaban dunia yang adiluhung.

Dunia sesungghnya berharap apda anak-anak muda Islam untuk berkiprah lebih eksis di era kompetisi antar bangsa, dan kemudian kita menjadi pemenangnya. Untuk menjadi pemenang, maka hanya satu  kunci:  yaitu; “to be the competitive in the world”.

Dengan demikian, ada banyak masalah yang harus kita hadapi, namun demikian siapa yang sukses di dalam kehidupan, tentu adalah  adalah orang yang bekerja di tempat itu.

Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

 

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (2)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (2)

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka pada awal tahun 1437 Hijriyah juga disambut dengan gegap gempita. Meskipun tidak semeriah penyambutan tahun baru Masihiyah (1 Januari), akan tetapi geliat masyarakat menyambut tahun baru hijriyah tetaplah ada.

Di hampir seluruh ibukota provinsi diselenggarakan acara gerak jalan dan berbagai macam perlombaan yang diiniasi oleh Kakanwil Kemenag masing-masing. Bisa juga dilakukan oleh organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon, Jam’iyah Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk meramaikan perayaan 1 Muharram dimaksud.

Perayaan 1 Muharram, rasanya telah menjadi simbol ritual tahunan yang ditandai dengan berbagai upacara penyambutan dan hingar bingar kegiatan di masyarakat Indonesia. Sekali lagi, bahwa tanggal 1 Muharram dianggap sebagai simbol kebangkitan umat Islam.

Namun demikian, ada sebuah pertanyaan yang kiranya dapat menjadi renungan kita semua. Pertanyaan itu adalah bagaimana menjadikan Muharram sebagai kebangkitan hakiki umat Islam. Bukan hanya simboliknya yang mengedepan, akan tetapi adalah makna hakikinya yaitu umat Islam sudah mengedepankan Islam sebagaimana yang diinginkan Nabi Muhammad saw, yaitu Islam yang damai, sejahtera, berkemajuan dan memberikan berkah bagi umat manusia.

Di awal tahun baru hijriyah ini, kita masih melihat umat Islam yang tercabik-cabik karena konflik berkepanjangan. Perang yang tidak segera usai. Tiap hari masih kita dengar bom meletus. Kita melihat monument sejarah di Timur Tengah hancur berantakan. Ini merupakan catatan pahit kita di saat memperingati 1 Muharram 1437 H. Konflik antar Negara Islam semakin meruncing. Darah mengalir dan membasahi  bumi seakan menjadi bagian dari ritual bumi yang harus terjadi.

Peperangan kapan dan dimanapun tidak menguntungkan yang menang dan juga yang kalah. Peperangan selalu menghasilkan kehancuran. Pembangunan SDM dan fisik menjadi berantakan tidak termaknai. Butuh waktu ratusan tahun memulihkan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh peperangan.

Realitas inilah yang masih menghantui kita, bahwa di tengah nuansa menyambut tahun baru Islam (Muharram), maka yang menjadi problem kita umat Islam adalah masih tercerai-berainya Negara-Negara Islam di Timur Tengah. Mereka saling menyerang satu dengan lainnya dengan dalih kebenaran masing-masing. Rasanya, dunia Islam itu betapa menyedihkan. Ego-faksional di antara mereka luar biasa tingginya, sehingga kemudian ingin saling menguasai. Mereka menggunakan bahasa yang nyaris sama, yaitu bahasa Arab akan tetapi mereka  terpecah-pecah menjadi Negara-negara yang merdeka,  akan tetapi konflik di antara mereka juga sangat tinggi.

Berangkat dari realitas ini, maka kita sungguh bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, memiliki keunikannya. Meskipun terdiri dari 700-an suku bangsa dengan bahasa dan tradisi yang banyak, kira-kira 500-an bahasa, namun demikian ternyata kita bisa bersatu dalam satu bangsa dan negara. Betapa indahnya Indonesia ini,  jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Masih ada sejumlah masyarakat yang sedang  merumuskan identitas kebangsaan dan kenegaraannya di tengah kemodernan dan kemajuan ini.

Kita bisa merayakan hari-hari besar agama, bisa merayakan tahun baru, dan juga bisa merayakan tradisi-tradisi local  tanpa ada konflik yang mengedepan. Makanya, ketika kita merayakan hari ulang tahun masehi juga terdapat kedamaian yang sangat tinggi. Demikian pula ketika kita merayakan tahun baru hijriyah, juga dalam nuansa kedamaian dan keselamatan. Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa Indonesia sesungguhnya adalah laboratorium kerukunan umat beragama dalam artian yang sebenarnya.

Tentu ada perbedaan dalam menentukan kapan tanggal 1 Muharram tersebut. Ada yang menggunakan hitungan tahun Saka, ada yang menggunakan hitungan tahun Aboge, dan sebagainya. Namun demikian di antara mereka yang berbeda pendapat tersebut tidak saling mencaci dan merendahkan.  Mereka semua memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah yang harus dipahami secara mendalam.

Orang Jawa ada yang mengikuti hitungan tahun baru Islam sebagaimana hitungan hisab dan rukyat, sementara yang lain menggunakan hitungan tahun Saka dan juga Aboge. Saya tentu tidak akan membahas tentang hitungan tahun Saka sebagai ukuran penentuan  kapan tanggal 1 Muharram atau 1 Suro tersebut terjadi. Namun demikian, yang paling penting adalah bagaimana tindakan masyarakat di dalam merayakan tahun baru Islam dimaksud.

Orang Jawa memang memiliki tradisinya sendiri di dalam merayakan tahun baru Islam atau bulan Muharram. Orang Jawa menyebutnya sebagai bulan Suro. Di bulan inilah sesungguhnya orang Jawa melakukan berbagai macam upacara yang intinya untuk  memohon agar Allah swt memberikan perlindungan dari segala mara bahaya yang bisa saja hadir di tahun berlangsung. Dengan demikian, bagi orang Jawa bahwa bulan Suro bukanlah bulan untuk bersenang-senang,  akan tetapi bulan untuk merenung dan bermunajat kepada Allah agar keselamatan terus menyelimuti bumi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (1)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (1)

Tanpa terasa kita sudah memasuki tahun baru hijrah. Rasanya baru saja kemarin kita libur dan memperingati tanggal 1 Muharam atau dalam tradisi Jawa disebut Wulan Suro. Ternyata  hari ini kita sudah libur lagi dalam peristiwa yang sama yaitu libur dan memperingati tanggal 1 Muharram atau tanggal 1 Suro. Tahun 1436 Hijriyah sudah berlalu dan kita memasuki Tahun 1437 Hijriyah.

Sebagai awal tahun, bulan Muharram memiliki makna yang sangat mendalam bagi kaum muslimin. Bulan Muharram merupakan bulan yang memiliki makna perjuangan umat Islam. Bulan Muharam menandai awal perjalanan Umat Islam bersama Rasulullah saw untuk memperjuangkan Islam. Bulan Muharram menandai hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah dan menandai awal perjuangan Islam dalam kancah kehidupan umat manusia.

Hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah merupakan titik balik bagi perkembangan umat Islam. Jika di Mekkah Nabi dimusuhi dengan berbagai cara agar Muhammad saw menghentikan dakwahnya untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang hanif. Muhammad saw mendakwahkan Islam kepada kaum non Muslim di Mekkah dalam rentang waktu yang cukup lama. Akan tetapi perkembangan Umat Islam tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan Nabi Muhammad saw dan para sahabat-sahabatnya.

Setelah Nabi Muhammad saw ditinggalkan oleh istrinya yang sangat mencintainya (Khadijah RA) yang sangat mendukung usaha-usaha dakwahnya,  lalu juga ditinggalkan oleh Pamannya  (Abu Thalib), maka posisi dakwah Nabi Muhammad Saw.,  dalam nuansa genting. Beliau tidak lagi memiliki pendamping dan pendukung dari Bani Quraisy yang terkemuka. Dari sinilah sesungguhnya hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah dapat dilihat ulang.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw inilah yang kemudian ditahbiskan sebagai awal tahun baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram ditetapkan sebagai hari dalam tahun pertama untuk menandai hijrah Nabi Muhammad saw yang sangat fenomenal tersebut. Hijrah Nabi Muhammad saw  ke Madinah merupakan awal bagi penyebaran Islam dan sekaligus juga menjadikannya sebagai awal perjuangan umat Islam melalui wadah kepemimpinan Nabi Muhammad saw.

Kalender Islam telah berumur 1437 tahun. Artinya perjuangan umat Islam telah berjalan selama 15 abad. Dari sisi ini, maka sebenarnya perjuangan umat Islam sudah memasuki “kawasan” yang sangat menentukan untuk pengembangan umat Islam di masa depan. Jika menggunakan siklus “up and down” perjuangan umat Islam, maka ada kurun waktu 700-an tahun kemajuan dan kemunduran umat Islam. Ada kalanya, umat Islam sangat jaya dengan kekuatan pemerintahannya dan juga kekuatan ilmu pengetahuannya, dan ada masa turunnya kewibawaan umat Islam yang disebabkan lemahnya pemerintahan Islam dan juga kemunduran ilmu pengetahuan di dalamnya.

Di dalam konteks tersebut,  maka memasuki abad ke 15 selalu  dilakukan berbagai upacara untuk menandai keinginan kebangkitan kembali umat Islam dalam menantang terhadap perkembangan zaman, dan khususnya untuk mengejar ketertinggalannya dalam banyak hal dibanding umat agama lain di Eropa dan Amerika. Seluruh hati umat Islam membuncah dalam euphoria kemajuan umat Islam. Di mana-mana dilakukan pawai, karnaval, lomba gerak jalan, lomba baca Kitab Suci Al Qur’am dan sebagainya. Kala itu, rasanya umat Islam akan segera bangkit dari keterpurukannya selama 700 tahun. Semenjak jatuhnya kerajaan Islam (Abbasiyah di Baghdad) dan kemudian juga hancurnya kerajaan Islam Usmaniyah di Turki dan juga kerajaan Islam lainnya yang tersebar di santero dunia, maka terjadi kemunduran peradaban Islam dan hilangnya kekuasaan umat Islam untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan bagi umat Islam.

Momentum tanggal 1 Muharram selalu dijadikan penyemangat untuk membangun kesadaran akan kejayaan Islam di masa lalu. Bagi kebanyakan umat Islam yang memiliki kesadaran sejarah Islam di masa lalu, selalu menjadikan Muharram sebagai bulan untuk kembali mengingat tentang peradaban Islam di masa lalu yang agung luar biasa.

Memang Islam telah mewariskan legacy di berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang sains dan teknologi. Orang Barat pun mengakui bagaimana warisan sains dan teknologi itu mereka peroleh melalui sentuhan tradisi akademik Islam di masa lalu. Makanya,  di bidang kedokteran, filsafat, matematika, fisika, kimia, biologi dan lain-lain, Orang Barat merasakan betapa besarnya sumbangan dunia Islam terhadap mereka.

Makanya, tanggal 1 Muharrom selalu saja dimaknai adanya keinginan yang kuat dari umat Islam di seluruh dunia untuk bangkit dari keterpurukan dan membuka kembali kontribusi dunia Islam bagi peradaban dunia. Kita semua yakin, bahwa masa itupun merupakan keniscayaan di tengah perubahan demi perubahan yang akan terus terjadi.

Kita berharap bahwa kebangkitan Islam itu akan datang dari Bumi Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai penerus Islam yang damai, Islam yang sejuk dan Islam yang memberi berkah bagi umat di dunia atau Islam yang rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

PROMOSI JABATAN SEBAGAI REWARD KELEMBAGAAN

PROMOSI JABATAN SEBAGAI REWARD KELEMBAGAAN

Salah satu hal mendasar yang menjadi keinginan manusia, siapapun mereka, adalah keinginan agar citra dirinya baik di mata manusia atau masyarakat. Makanya, kalau ada seseorang yang merasa begitu terhina jika citra dirinya dikoyak oleh orang lain tentu bukanlah hal yang patut dipersalahkan sedemikian rupa.

Setiap organisasi maupun lembaga sosial juga berkeinginan agar citra positifnya selalu terekspose di hadapan masyarakat. Ekspose citra tersebut menjadi sangat penting di tengah upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap organisasi atau lembaga sosial keagamaan dimaksud. Berdasarkan fakta empiris, bahwa kehadiran lembaga atau organisasi merupakan keniscayaan, sebab adanya keinginan segregatif  di kalangan masyarakat.

Manusia memiliki keinginan untuk mendapatkan citra yang positif itu. Bahkan bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya salah satu kebutuhan manusia adalah untuk memperoleh citra yang baik. Kebutuhan citra yang baik termasuk kebutuhan integrative, yang mempertemukan kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial. Jika kebutuhan fisik adalah untuk memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan fisikal, maka kebutuhan sosial adalah untuk memenuhi hasrat kebutuhan untuk saling bersosialisasi di antara manusia tersebut.

Bekerja merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan fisik, sosial dan integrative sekaligus. Dengan  bekerja,  maka seorang individu akan bisa mendapatkan gaji atau honorarium yang akan dijadikan sebagai instrument untuk pemenuhan kebutuhan fisikalnya. Dengan bekerja, maka seorang individu juga akan memperoleh kesempatan untuk sosialisasi diri kepada lingkungannya, dapat berkomunikasi dan memenuhi hasrat kebutuhan sosial lainnya. Lalu, dengan bekerja maka juga bisa menjadi sarana untuk memperoleh penghargaan, rasa puas, rasa senang dan rasa berprestasi sebagaimana yang diharapkan.

Makanya, ketika seseorang bekerja di dalam suatu instansi pemerintah maupun swasta, maka hal penting yang perlu untuk dipahami oleh segenap jajaran pimpinan adalah menerapkan konsep reward and punishment. Bagi mereka yang berprestasi harus memperoleh penghargaan dan bagi yang tidak berprestasi atau wan prestasi, dan atau melakukan pelanggaran, maka bisa juga diberikan hukuman.

Di dalam konteks inilah kearifan pimpinan menjadi sangat penting. Di masa lalu, pemberian kenaikan jabatan, baik structural maupun fungsional, dalam banyak hal, lebih dikarenakan factor kedekatan. Meskipun bukan semata-mata kolusi, akan tetapi prinsip yang sering terjadi  adalah melalui pandangan atau perspektif yang kurang lebih mendekati kolusi. Misalnya, seseorang diangkat di dalam jabatan disebabkan oleh kedekatan yang bersangkutan dengan pejabat di atasnya.

Jika misalnya dilakukan baperjakat atau apapun namanya, maka yang paling dominan bukanlah analisis kapasitas dan kapablitas yang bersangkutan, akan tetapi sudah diajukan oleh pejabat yang berwenang, sehingga penilaian tersebut lebih bercorak proforma saja. Itulah sebabnya ada pejabat yang tidak performed di dalam jabatannya, sebab penentuan yang bersangkutan di dalam jabatan tersebut tidak melalui assessment yang memadai.

Era reformasi tentu diharapkan berbeda. Pejabat yang diangkat adalah bagian dari reward yang bersangkutan atas dedikasi dan prestasinya yang luar biasa. Makanya dia dipromosikan dalam jabatan yang lebih tinggi karena prestasinya dalam membuat kemajuan instansinya atau lembaganya. Tujuan dicanangkannya assessment dan lelang jabatan di dalam banyak hal adalah untuk memenuhi salah satu aspek penghargaan bagi yang berprestasi.

Sebagai pimpinan, kita tentu tahu siapa di antara pejabat atau staf kita yang memiliki visi dan missi bagi pengembangan kelembagaan. Kita tahu berdasarkan pengamatan lapangan dan juga informasi dari berbagai pihak tentang kemampuan atau kapabilitas seseorang. Dengan kemampuan yang kita miliki, maka seorang pimpinan sesungguhnya memiliki referensi untuk memahami perilaku prestasi para staf. Jika kemudian dilakukan assessment, maka sebenarnya digunakan untuk mengukur secara lebih eksak terhadap kemampuan staf kita.

Melalui pengukuran yang tepat, maka keterpaduan antara penilaian atasan dengan hasil assessment akan lebih terukur. Jika di masa lalu hanya bertumpu pada keahlian pimpinan untuk mengamati dan memahami prestasi bawahan, maka dengan assessment akan lebih memudahkan bagi pimpinan, selaku pengambil keputusan, agar keputusannya akan lebih transparan dan akuntabel.

Jabatan adalah citra diri terkait dengan prestasi yang diraih melalui perjuangan yang tidak kenal lelah. Oleh karenanya,  setiap jabatan lalu mengandung dua dimensi penting, yaitu: pertama, jabatan sebagai penghargaan atas prestasi yang diraih selama menjadi aparat pemerintah. Kedua, jabatan sebagai citra diri bahwa yang bersangkutan diangkat dalam jabatan tertentu bukan karena kedekatan atau kolusi, akan tetapi adalah usaha yang tidak kenal lelah dan capaian atas kinerjanya yang baik.

Jika kita semua menghayati makna promosi jabatan sebagai reward, maka sesungguhnya setiap orang memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Jika kemudian potensi tersebut tidak teraktualkan, maka kesalahan itu tentu terkait dengan apa yang sebenarnya yang kita lakukan  dan bagaimana orang lain merespon apa yang telah kita perbuat.

Tentu semua kita berharap, bahwa tidak ada prestasi yang diraih dengan mudah, akan tetapi setiap pencapaian hakikatnya adalah buah dari usaha kita yang tidak kenal lelah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENJAGA KESETIAAN APARAT SIPIL NEGARA

MENJAGA KESETIAAN APARAT SIPIL NEGARA

Senin, 5 Oktober 2015, merupakan hari penting bagi ASN Kementerian Agama (Kemenag) sebab saat itu dilakukan pengucapan janji/sumpah ASN Kemenag. Bertempat di Aula H.M. Rasyidi, Kantor Kementerian Agama RI, dilakukan kegiatan pengucapan sumpah/janji ASN Kemenag secara serentak sebanyak kurang lebih 500 orang. Kegiatan ini dilakukan di dalam kerangka memenuhi terhadap UU ASN No. 5 Tahun 2014 yang memang mewajibkan bagi ASN untuk mengucapkan sumpah/janji ASN.

Acara yang diinisiasi oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Agama ini, sesungguhnya menjadi bagian dari kewajiban  Kemenag dalam rangka untuk menjaga janji ASN sebagai aparat pemerintah. Ada dimensi kepatuhan dan kesetiaan ASN yang wajib dijaga kapanpun dan di manapun. Sebagaimana pengucapan janji?sumpah PNS, maka juga dihadiri oleh tim Rohaniwan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan juga Konghucu. Hadir di dalam acara ini Kepala Biro Kepegawaian dan Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri.

Di dalam kesempatan itu, saya menyampaikan tiga hal, yaitu: pertama, tentang urgensi kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kebinekaan. Empat consensus nasional ini, sesungguhnya harus menjadi consensus seluruh ASN. Tidak boleh ada seorangpun ASN  yang tidak menjadikan empat consensus kebangsaan sebagai pedoman bagi kehidupannya, terutama sebagai warga Negara Republik Indonesia.

Di tengah munculnya berbagai isme yang terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman, maka hal yang pasti dilakukan oleh ASN adalah bagaimana menjaga Pancasila dan NKRI serta UUD 1945 dan kebinekaan sebagai pedoman dalam merajut kehidupan social dan kenegaraan.

Ada banyak isme baik yang berbasis pada prinsip keagamaan, kebebasan dan juga  sosialisme yang terkadang beradu cepat untuk mempengaruhi jalan pikiran dan tindakan kita. Namun  demikian,  ASN harus tetap berada di dalam koridornya untuk terus menerus menjadikan empat consensus nasional tersebut sebagai panduan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, maka tidak boleh kaki kita tergelincir untuk memasuki isme-isme yang bertentangan dengan prinsip di dalam empat consensus nasional dimaksud.

Pikiran dan tindakan kita tidak boleh terpengaruh oleh isme-isme yang transnasional. Sekali saja kita berpikir untuk mengganti Pancasila sebagai dasar Negara dan juga mengubah NKRI, maka sesungguhnya telah robohlah Negara Indonesia ini. Seorang Kyai di Jawa Timur, Kyai Asep Saifuddin Halim, dari Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Sidoarjo menyatakan seperti itu. Makanya, janganlah mindset kita dipengaruhi oleh gerakan-gerakan ideology transnasional yang terus berseliweran di negara kita.

Kedua, harus berkomitmen untuk terus melakukan yang terbaik bagi Kementerian Agama. Dibanding dengan Kementerian/Lembaga lain di negeri ini, maka Kemenag memiliki keunikan tersendiri, yaitu menjadi instansi pemerintah yang tidak hanya mengurusi persoalan duniawi yang berupa administrasi dan pelayanan keduniawian, akan tetapi juga melayani masyarakat yang akan beribadah. Makanya, yang diurus oleh Kemenag tidak hanya urusan duniawi tetapi juga ukhrawi.

Berbasis pada luasnya cakupan otoritas Kemenag ini, maka ASN yang ada di dalamnya juga memanggul tugas berat untuk menjaga agar citra Kemenag sesuai dengan tupoksinya tersebut. Seluruh ASN Kemenag harus mampu membangun citra positif bagi kementeriannya. Bukan citra positif yang direkayasa melalui program pencitraan atau image building, akan tetapi benar-benar citra yang dibangun dari realitas pekerjaan yang diselesaikan sesuai dengan  standart yang terbakukan. Yang dilakukan merupakan upaya untuk memberikan kepuasan pelanggan dalam konteks yang sesungguhnya. Jika para stakeholder kita puas dengan pelayanan yang kita berikan,  maka citra itu akan terbangunkan dengan sendirinya. Tanpa rekayasa.

Ketiga, harus terus menerus berupaya agar kita dapat melakukan yang terbaik bagi Kemenag dengan membangun integritas dan profesionalitas. Salah satu di antara kelemahan birokrasi di Indonesia dewasa ini adalah masih tersanderanya integritas dan profesionalitas. Integritas masih merupakan lapisan tipis dari business process di dalam kementerian/lembaga. Hal itu tentu dapat dikaitkan dengan tindakan para ASN yang masih terjebak di dalam pola lama, yaitu mentradisikan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mindset ASN kita masih berada dalam satu tahapan atau fase bahwa penyelesaian pekerjaan sangat tergantung kepada apa yang bisa dilakukan oleh yang berkepentingan. Jadi kalau mengurus sesuatu, misalnya perizinan, pelayanan dan penegakan aturan, maka yang terjadi adalah seberapa kontribusi yang bersangkutan agar proses berjalan lebih cepat. Prinsip inilah yang masih menyandera sebagian ASN kita ditengah keinginan untuk melakukan reformasi birokrasi.

Bagi ASN tidak lagi berpikir business as usual, akan tetapi mestinya bisa juga berpikir out of the box. Cara berpikir seperti ini hanya bisa dilakukan,  jika ASN memiliki tingkat profesionalitas yang memadai. Dengan demikian, maka modal professional menjadi penting bagi ASN kita.

Namun demikian, yang tidak kalah penting adalah niat yang tulus untuk bekerja keras, cerdas, ikhlas dan tuntas. Tanpa adanya niat yang memadai untuk bekerja dengan pedoman seperti itu, maka rasanya juga mustahil ASN di dalam sebuah lembaga pemerintah akan menghasilkan pelayanan yang prima.

Jadi, sumpah/janji jabatan haruslah dimaknai sebagai panggilan tugas agar ASN dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan memenuhi standart professionalitas dengan memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan, dan menjaga integritas sebagai fondasi di dalam melakukan pekerjaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.