MENYIAPKAN MENTAL MAHASISWA DI ERA KOMPETISI
MENYIAPKAN MENTAL MAHASISWA DI ERA KOMPETISI
Sabtu kemarin, 17 Oktober 2015, saya memperoleh kesempatan untuk berbicara di dalam forum Wisuda Sarjana Strata I dan II di IAIN Salatiga. Acara ini dilakukan dalam rangka mengukuhan Sarjana Strata I dan II untuk yang kedua, pasca peralihan Status STAIN Salatiga menjadi IAIN Salatiga.
Acara ini tentu dihadiri oleh seluruh anggota Senat dan para pimpinan Fakultas di lingkungan IAIN Salatiga dan juga para pejabat di Wilayah Salatiga, orang tua dan Wali Wisudawan dan Wisudawati. Acara yang sangat monumental tentu saja.
Di dalam kesempatan ini, saya menyampaikan tiga hal penting sebagai bekal wisudawan dan wisudawati di dalam menghadapi kompetisi yang akan terus menggelinding di Era Globalisasi maupun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Pertama, saya mengucapkan selamat kepada seluruh jajaran Pimpinan dan dosen IAIN Salatiga yang telah mewisuda sebanyak 300 mahasiswa lebih dalam berbagai program studi di IAIN Salatiga. Lalu, juga kepada para orang tua atau wali wisudawan atau wisudawati yang hari ini tentu saja sangat berbahagia karena telah menyelesaikan pendidikan bagi anak-anaknya. Kepada para wisudawan dan wisudawati tentu juga sangat layak diapresiasi atas keberhasilannya menyelesaikan pendidikannya di IAIN Salatiga. Hari ini adalah hari yang membanggakan, tetapi sekaligus juga menjadi awal bagi wisudawan dan wisudawati untuk menapaki kehidupan baru sebagai anggota masyarakat yang tentu mengharapkan peran sosial dari para wisudawan dan wisudawati.
Kedua, kita sekarang sedang berada di era kompetisi yang sangat keras. Oleh karena itu lalu perlu memiliki kesiapan mental yang sangat baik untuk menghadapinya. Mahasiswa harus memiliki bekal untuk menjawab tantangan kompetisi yang makin keras. Di era kompetisi ini maka siapa yang memiliki kapabilitas yang memadai, maka dialah yang akan menguasai kompetisi dimaksud. Siapa yang tidak kompeten, maka dia akan hilang ditelan oleh era kompetisi itu. Agar kita bisa berkompetisi, maka salah satu syarat yang dibutuhkan adalah memiliki kompetensi yang wajar dan bermanfaat.
Sesungguhnya, kita membutuhkan kemampuan yang disebut soft skilled selain yang disebut sebagai kemampuan atau hard skilled. Kemampuan hard skilled saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai kemampuan dasar untuk menghadapi era kompetisi yang makin kuat ini. Oleh karena itu, setiap mahasiswa PTAIN harus memiliki kemampuan yang memadai, yaitu hard skilled yang utuh dan soft skilled yang unggul.
Agar alumni PTAIN memiliki kemampuan yang cukup untuk berkompetisi di era seakrang dan akan datang, maka mereka harus dibekali dengan soft skilled yang memadai. Di antara yang sangat penting adalah kemampuan emosional dan spiritual yang baik. Kemampuan intelektual yang baik saja tidak cukup untuk menghadapi persaingan di era global ini. Pintar saja tidak cukup kecuali ditopang oleh kemampuan emosional dan spiritual yang memadai. PTAIN saya kira adalah lembaga pendidikan yang sangat baik untuk membina kemampuan emosional dan spiritual. Melalui keduanya, maka sesungguhnya pendidikan karakter telah dilakukan.
Jika seseorang memiliki karakter yang sangat kuat, maka dia akan mampu melihat setiap potensi yang ada di depannya. Saya selalu menggunakan ungkapan Sandiaga Uno untuk menggambarkan bagaimana kekuatan move on itu dimulai dengan kekuatan mental. Dia menyatakan bahwa “every crisis there is a problem. Every problem there is a solution”.
Oleh karena itu, agar para alumni memiliki semangat pantang menyerah, maka kiranya diperlukan pendidikan khusus yang bersearah untuk mengembangkan kemampuannya di dalam menghadapi tantangan zaman. Mereka yang sukses adalah mereka yang memiliki kemampuan mental yang bagus. Mereka yang tahan banting. Mereka yang pantang menyerah dalam menghadapi situasi yang sulit. Dengan demikian, pembekalan pendidikan soft skilled sangat diperlukan di era sekarang.
Setelah diwisuda, maka alumni PTAIN berada di dalam situasi krisis. Mereka akan memasuki dunia baru yang lebih menantang. Jika selama menjadi mahasiswa hanya menghadapi problem perkuliahan, maka ketika mereka sudah diwisuda tentu tantangannya jauh lebih kompleks. Tantangan hidup yang kompleks, misalnya untuk memperoleh pekerjaan atau menciptakan pekerjaan. Inilah tantangan terbesar dari alumni PTAIN selepas keluar dari Pendidikan tinggi. Makanya, seorang yang akan berhasil adalah mereka yang kuat di dalam menghadapi tantangan demi tantangan ini.
Ketiga, Yang tidak kalah menariknya adalah tantangan kebangsaan. Harus dimaklumi bahwa di era kompetisi bangsa yang makin kompleks, maka satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana kita tetap mengedepankan Islam yang mampu dan relevan dengan untuk menjawab tantangan kebangsaan kita. Islam yang kita harapkan adalah Islam yang mampu menjadi inspirasi bagi kemajuan dan peradaban dunia. Islam Indonesia diharapkan banyak kalangan akan dapat membawa misi kerahmatan dan keberkahan bagi dunia. Kala kita tidak bisa lagi berharap pada Timur Tengah untuk menjadio lokomotof pembangunan peradaban dunia, maka dunia bertumpu pada Islam Indonesia.
Di tengah kegalauan dunia tentang perkembangan Islam yang makin suram di belahan Negara-Negara Timur Tengah, maka mereka berharap agar Islam Indonesia yang akan menggantikan peran dunia Arab yang terus dilanda kemelut. Melalui pendidikan karakter Islam yang rahmatan lil alamin, maka ke depan kita akan menyaksikan bagaimana Islam Indonesia akan memainkan peran signifikan bagi pembangunan peradaban dunia yang adiluhung.
Dunia sesungghnya berharap apda anak-anak muda Islam untuk berkiprah lebih eksis di era kompetisi antar bangsa, dan kemudian kita menjadi pemenangnya. Untuk menjadi pemenang, maka hanya satu kunci: yaitu; “to be the competitive in the world”.
Dengan demikian, ada banyak masalah yang harus kita hadapi, namun demikian siapa yang sukses di dalam kehidupan, tentu adalah adalah orang yang bekerja di tempat itu.
Wallahu a’lam bis shawab.