PROMOSI JABATAN SEBAGAI REWARD KELEMBAGAAN
PROMOSI JABATAN SEBAGAI REWARD KELEMBAGAAN
Salah satu hal mendasar yang menjadi keinginan manusia, siapapun mereka, adalah keinginan agar citra dirinya baik di mata manusia atau masyarakat. Makanya, kalau ada seseorang yang merasa begitu terhina jika citra dirinya dikoyak oleh orang lain tentu bukanlah hal yang patut dipersalahkan sedemikian rupa.
Setiap organisasi maupun lembaga sosial juga berkeinginan agar citra positifnya selalu terekspose di hadapan masyarakat. Ekspose citra tersebut menjadi sangat penting di tengah upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap organisasi atau lembaga sosial keagamaan dimaksud. Berdasarkan fakta empiris, bahwa kehadiran lembaga atau organisasi merupakan keniscayaan, sebab adanya keinginan segregatif di kalangan masyarakat.
Manusia memiliki keinginan untuk mendapatkan citra yang positif itu. Bahkan bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya salah satu kebutuhan manusia adalah untuk memperoleh citra yang baik. Kebutuhan citra yang baik termasuk kebutuhan integrative, yang mempertemukan kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial. Jika kebutuhan fisik adalah untuk memenuhi hasrat pemenuhan kebutuhan fisikal, maka kebutuhan sosial adalah untuk memenuhi hasrat kebutuhan untuk saling bersosialisasi di antara manusia tersebut.
Bekerja merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan fisik, sosial dan integrative sekaligus. Dengan bekerja, maka seorang individu akan bisa mendapatkan gaji atau honorarium yang akan dijadikan sebagai instrument untuk pemenuhan kebutuhan fisikalnya. Dengan bekerja, maka seorang individu juga akan memperoleh kesempatan untuk sosialisasi diri kepada lingkungannya, dapat berkomunikasi dan memenuhi hasrat kebutuhan sosial lainnya. Lalu, dengan bekerja maka juga bisa menjadi sarana untuk memperoleh penghargaan, rasa puas, rasa senang dan rasa berprestasi sebagaimana yang diharapkan.
Makanya, ketika seseorang bekerja di dalam suatu instansi pemerintah maupun swasta, maka hal penting yang perlu untuk dipahami oleh segenap jajaran pimpinan adalah menerapkan konsep reward and punishment. Bagi mereka yang berprestasi harus memperoleh penghargaan dan bagi yang tidak berprestasi atau wan prestasi, dan atau melakukan pelanggaran, maka bisa juga diberikan hukuman.
Di dalam konteks inilah kearifan pimpinan menjadi sangat penting. Di masa lalu, pemberian kenaikan jabatan, baik structural maupun fungsional, dalam banyak hal, lebih dikarenakan factor kedekatan. Meskipun bukan semata-mata kolusi, akan tetapi prinsip yang sering terjadi adalah melalui pandangan atau perspektif yang kurang lebih mendekati kolusi. Misalnya, seseorang diangkat di dalam jabatan disebabkan oleh kedekatan yang bersangkutan dengan pejabat di atasnya.
Jika misalnya dilakukan baperjakat atau apapun namanya, maka yang paling dominan bukanlah analisis kapasitas dan kapablitas yang bersangkutan, akan tetapi sudah diajukan oleh pejabat yang berwenang, sehingga penilaian tersebut lebih bercorak proforma saja. Itulah sebabnya ada pejabat yang tidak performed di dalam jabatannya, sebab penentuan yang bersangkutan di dalam jabatan tersebut tidak melalui assessment yang memadai.
Era reformasi tentu diharapkan berbeda. Pejabat yang diangkat adalah bagian dari reward yang bersangkutan atas dedikasi dan prestasinya yang luar biasa. Makanya dia dipromosikan dalam jabatan yang lebih tinggi karena prestasinya dalam membuat kemajuan instansinya atau lembaganya. Tujuan dicanangkannya assessment dan lelang jabatan di dalam banyak hal adalah untuk memenuhi salah satu aspek penghargaan bagi yang berprestasi.
Sebagai pimpinan, kita tentu tahu siapa di antara pejabat atau staf kita yang memiliki visi dan missi bagi pengembangan kelembagaan. Kita tahu berdasarkan pengamatan lapangan dan juga informasi dari berbagai pihak tentang kemampuan atau kapabilitas seseorang. Dengan kemampuan yang kita miliki, maka seorang pimpinan sesungguhnya memiliki referensi untuk memahami perilaku prestasi para staf. Jika kemudian dilakukan assessment, maka sebenarnya digunakan untuk mengukur secara lebih eksak terhadap kemampuan staf kita.
Melalui pengukuran yang tepat, maka keterpaduan antara penilaian atasan dengan hasil assessment akan lebih terukur. Jika di masa lalu hanya bertumpu pada keahlian pimpinan untuk mengamati dan memahami prestasi bawahan, maka dengan assessment akan lebih memudahkan bagi pimpinan, selaku pengambil keputusan, agar keputusannya akan lebih transparan dan akuntabel.
Jabatan adalah citra diri terkait dengan prestasi yang diraih melalui perjuangan yang tidak kenal lelah. Oleh karenanya, setiap jabatan lalu mengandung dua dimensi penting, yaitu: pertama, jabatan sebagai penghargaan atas prestasi yang diraih selama menjadi aparat pemerintah. Kedua, jabatan sebagai citra diri bahwa yang bersangkutan diangkat dalam jabatan tertentu bukan karena kedekatan atau kolusi, akan tetapi adalah usaha yang tidak kenal lelah dan capaian atas kinerjanya yang baik.
Jika kita semua menghayati makna promosi jabatan sebagai reward, maka sesungguhnya setiap orang memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Jika kemudian potensi tersebut tidak teraktualkan, maka kesalahan itu tentu terkait dengan apa yang sebenarnya yang kita lakukan dan bagaimana orang lain merespon apa yang telah kita perbuat.
Tentu semua kita berharap, bahwa tidak ada prestasi yang diraih dengan mudah, akan tetapi setiap pencapaian hakikatnya adalah buah dari usaha kita yang tidak kenal lelah.
Wallahu a’lam bi al shawab.