• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (2)

TRADISI MUHARRAM (SUROAN) DI NUSANTARA (2)

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka pada awal tahun 1437 Hijriyah juga disambut dengan gegap gempita. Meskipun tidak semeriah penyambutan tahun baru Masihiyah (1 Januari), akan tetapi geliat masyarakat menyambut tahun baru hijriyah tetaplah ada.

Di hampir seluruh ibukota provinsi diselenggarakan acara gerak jalan dan berbagai macam perlombaan yang diiniasi oleh Kakanwil Kemenag masing-masing. Bisa juga dilakukan oleh organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon, Jam’iyah Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk meramaikan perayaan 1 Muharram dimaksud.

Perayaan 1 Muharram, rasanya telah menjadi simbol ritual tahunan yang ditandai dengan berbagai upacara penyambutan dan hingar bingar kegiatan di masyarakat Indonesia. Sekali lagi, bahwa tanggal 1 Muharram dianggap sebagai simbol kebangkitan umat Islam.

Namun demikian, ada sebuah pertanyaan yang kiranya dapat menjadi renungan kita semua. Pertanyaan itu adalah bagaimana menjadikan Muharram sebagai kebangkitan hakiki umat Islam. Bukan hanya simboliknya yang mengedepan, akan tetapi adalah makna hakikinya yaitu umat Islam sudah mengedepankan Islam sebagaimana yang diinginkan Nabi Muhammad saw, yaitu Islam yang damai, sejahtera, berkemajuan dan memberikan berkah bagi umat manusia.

Di awal tahun baru hijriyah ini, kita masih melihat umat Islam yang tercabik-cabik karena konflik berkepanjangan. Perang yang tidak segera usai. Tiap hari masih kita dengar bom meletus. Kita melihat monument sejarah di Timur Tengah hancur berantakan. Ini merupakan catatan pahit kita di saat memperingati 1 Muharram 1437 H. Konflik antar Negara Islam semakin meruncing. Darah mengalir dan membasahi  bumi seakan menjadi bagian dari ritual bumi yang harus terjadi.

Peperangan kapan dan dimanapun tidak menguntungkan yang menang dan juga yang kalah. Peperangan selalu menghasilkan kehancuran. Pembangunan SDM dan fisik menjadi berantakan tidak termaknai. Butuh waktu ratusan tahun memulihkan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh peperangan.

Realitas inilah yang masih menghantui kita, bahwa di tengah nuansa menyambut tahun baru Islam (Muharram), maka yang menjadi problem kita umat Islam adalah masih tercerai-berainya Negara-Negara Islam di Timur Tengah. Mereka saling menyerang satu dengan lainnya dengan dalih kebenaran masing-masing. Rasanya, dunia Islam itu betapa menyedihkan. Ego-faksional di antara mereka luar biasa tingginya, sehingga kemudian ingin saling menguasai. Mereka menggunakan bahasa yang nyaris sama, yaitu bahasa Arab akan tetapi mereka  terpecah-pecah menjadi Negara-negara yang merdeka,  akan tetapi konflik di antara mereka juga sangat tinggi.

Berangkat dari realitas ini, maka kita sungguh bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, memiliki keunikannya. Meskipun terdiri dari 700-an suku bangsa dengan bahasa dan tradisi yang banyak, kira-kira 500-an bahasa, namun demikian ternyata kita bisa bersatu dalam satu bangsa dan negara. Betapa indahnya Indonesia ini,  jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Masih ada sejumlah masyarakat yang sedang  merumuskan identitas kebangsaan dan kenegaraannya di tengah kemodernan dan kemajuan ini.

Kita bisa merayakan hari-hari besar agama, bisa merayakan tahun baru, dan juga bisa merayakan tradisi-tradisi local  tanpa ada konflik yang mengedepan. Makanya, ketika kita merayakan hari ulang tahun masehi juga terdapat kedamaian yang sangat tinggi. Demikian pula ketika kita merayakan tahun baru hijriyah, juga dalam nuansa kedamaian dan keselamatan. Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa Indonesia sesungguhnya adalah laboratorium kerukunan umat beragama dalam artian yang sebenarnya.

Tentu ada perbedaan dalam menentukan kapan tanggal 1 Muharram tersebut. Ada yang menggunakan hitungan tahun Saka, ada yang menggunakan hitungan tahun Aboge, dan sebagainya. Namun demikian di antara mereka yang berbeda pendapat tersebut tidak saling mencaci dan merendahkan.  Mereka semua memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah yang harus dipahami secara mendalam.

Orang Jawa ada yang mengikuti hitungan tahun baru Islam sebagaimana hitungan hisab dan rukyat, sementara yang lain menggunakan hitungan tahun Saka dan juga Aboge. Saya tentu tidak akan membahas tentang hitungan tahun Saka sebagai ukuran penentuan  kapan tanggal 1 Muharram atau 1 Suro tersebut terjadi. Namun demikian, yang paling penting adalah bagaimana tindakan masyarakat di dalam merayakan tahun baru Islam dimaksud.

Orang Jawa memang memiliki tradisinya sendiri di dalam merayakan tahun baru Islam atau bulan Muharram. Orang Jawa menyebutnya sebagai bulan Suro. Di bulan inilah sesungguhnya orang Jawa melakukan berbagai macam upacara yang intinya untuk  memohon agar Allah swt memberikan perlindungan dari segala mara bahaya yang bisa saja hadir di tahun berlangsung. Dengan demikian, bagi orang Jawa bahwa bulan Suro bukanlah bulan untuk bersenang-senang,  akan tetapi bulan untuk merenung dan bermunajat kepada Allah agar keselamatan terus menyelimuti bumi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini