PERUBAHAN STRUKTUR DALAM REFORMASI BIROKRASI
PERUBAHAN STRUKTUR DALAM REFORMASI BIROKRASI
Hari Senin (28/09/2015) di ruang Sidang Sekretariat Jenderal Kementerian Agama dilaksanakan pembahasan tentang Struktur Organisasi Kementerian Agama. Pembahasan ini diikuti oleh pejabat eselon II baik di Sekteraiat jenderal maupun Bimbingan Masyarakat Islam, Budha, Kristen dan Katolik. Selain itu juga hadir pejabat eselon II Inspektorat, Balitbang dan Dirjen PHU.
Rapat ini ternyata memakan waktu yang cukup lama, sebab yang dibahas adalah perubahan struktur organisasi Kemenag yang memang membutuhkan waktu yang panjang. Diskusi ini memakan waktu kira-kira 2,5 jam dengan tingkat pembahasan yang relative rumit. Pembahasan ortaker ini diinisiasi oleh Biro Organisasi dan Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama RI.
Sebagaimana diketahui bahwa penggerak mesin birokrasi adalah struktur birokrasi dan SDM yang menjadi pendukungnya. Mesin birokrasi akan bisa bergerak cepat, sedang atau lambat sangat tergantung kepada bagaimana struktur organisasi tersebut eksis dan bagaimana peran SDM di dalamnya dalam mendinamisasi birokrasi tersebut.
Di dalam hal ini, maka keberadaabn struktur yang relevan dengan tupoksi dan SDM yang menggerakkan tupoksi tersebut menjadi variabel-variabel penting di dalam perubahan yang diinginkan. Salah satu alasan mengapa dilakukan restrukturisasi organisasi dan tata kelola lembaga-lembaga pemerintah adalah keinginan agar relevansi antara struktur organisasi pemerintah, tupoksi, SDM dan sasaran keinerjanya makin efektif dan efisien.
Perubahan struktur organisasi memang tidak selalu mudah, akan tetapi juga memiliki keniscayaan untuk direstrukturisasi atau direkonstruksi sesuai dengan visi dan misi yang akan dikembangkan. Di dalam berbagai pengalaman pemerintahan, maka gonta-ganti struktur kementerian/lembaga bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini pula yang terjadi pada cabinet Kerja pada zaman Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Bahkan juga seringkali terjadi tarik menarik kewenangan. Contoh yang sangat sederhana tentang Pemerintahan Desa, kala dilakukan restrukturisasi, maka pertanyaannya adalah apakah administrasi desa tetap berada di Kementetrian Dalam Negeri atau juga harus diboyong ke Kementerian Desa, Percepatan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi? Pertanyaan ini kemudian menghasilkan kesepakatan, bahwa administrasi desa harus tetap berada di Kemendagri, sementara pembangunan desa berada di Kemendes, PDT dan Trans. Jadi memang juga harus tetap ada kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing dan fokus otoritas yang tegas dan jelas.
Di dalam memberikan pengarahan meeting tersebut, saya sampaikan tiga hal: pertama, restrukturisasi dapat dilakukan dengan dua strategi, yaitu revolusioner dan evolusioner. Jika dipilih yang pertama, maka harus dilakukan perombakan secara mendasar dan juga dengan alokasi waktu yang lama. Perubahan nomenklatur tentu harus diikuti dengan perubahan tupoksi dan juga jabatannya. Jika dipilih strategi yang kedua, maka yang dibutuhkan adalah penambahan yang memang harus ditambahkan, dan mempertimbangkan mana yang kelebihan beban ditambah strukturnya dan mengurangi yang dianggap sudah tidak perlu dipertahankan. Strategi kedua akan lebih sederhana, sebab tidak membutuhkan banyak energi untuk melakukan perubahan.
Kedua, melakukan analisis jabatan, beban kerja dan tupoksi di dalam struktur. Analisis jabatan sangat diperlukan sebab yang akan direstrukrisasi adalah nomenklatur-nomenklatur jabatan yang nantinya akan diuji oleh realitas empiris. Grade jabatan harus jelas sesuai dengan kebutuhan dan sasaran kinerja yang akan dilakukan. Kemudian, juga analisis beban kerja, yang juga menjadi syarat bagi penambahan atau pengurangan struktur jabatan. Analisis beban kerja menjadi syarat utama mengenai restukturisasi jabatan. Dan yang tidak kalah penting adalah mengenai tugas pokok dan fungsi struktur dalam hirarkhi jabatan di kementerian/lembaga. Tiga faktor ini yang akan menentukan terhadap pembentukan struktur baru atau pengurangan struktur lama.
Ketiga, regulasi-regulasi yang terkait dengan penambahan atau pengurangan struktur. Restrukturisasi harus dimulai dengan perumusan naskah akademis dan penetapan regulasi atau aturan yang jelas. Naskah akademis diperlukan agar setiap restrukturisasi merupakan hasil analisis yang mandasar dan mendalam tentang kebutuhan restrukturisasi dimaksud. Restrukturisasi bukan hanya berdasar commonsense belaka, akan tetapi adalah produk dari kajian, analisis dan logika empiris yang sangat kuat yang dipadukan dengan diskusi dan serangkaian pembicaraan yang mendasar. Jika berdasarkan kajian tersebut ternyata memang diperlukan restrukturisasi, maka perlu didukung oleh regulasi yang jelas.
Memang harus diakui bahwa selalu ada struktur yang kelihatannya tumpang tindih. Misalnya, terkait dengan asset. Di dalam struktur ada biro keuangan dan BMN dan ada biro umum, yang kedua-duanya bersinggungan dalam asset. Di sini diperlukan otorisasi yang jelas, yaitu Biro Keuangan dan BMN mengurus seluruh aspek administrasinya, sedang Biro Umum terkait dengan seluruh pemanfaatannya. Namun demikian, juga terdapat wilayah kebersamaan dan koordinasi, misalnya jika menghadapi konflik asset. Maka, Biro Umum, Biro Keuangan dan BMN serta Biro Hukum dan KLN mestilah melakukan koordinasi penyelesaiannya.
Di antara yang dipersepsi tumpang tindih juga terkait dengan pentashihan Al-Quran. Apakah hal ini menjadi otoritas Balitbang, sebab tashih tentu ada kaitannya dengan kajian dan penelitian, ataukah seluruhnya menjadi kewenangan Dirjen Bimas Islam, artinya kala mencetak al Qur’an, maka seluruh pekerjaan yang terkait dengan pencetakan al Qur’an, mulai dari tashih sampai produk cetakannya berada di Dirjen Bimas Islam.
Di dalam konteks ini, maka harus dirunut dari kewenangan dasar di antara keduanya. Dirjen Bimas Islam, tentu memiliki otoritas pelayanan bagi pemeluk agama Islam, sedangkan Balitbang memiliki kewenangan melakukan kajian dan penelitian. Dengan demikian, jika kita menggunakan logika satu pekerjaan adalah satu sistem, maka pengadaan al Qur’an adalah satu pekerjaan, sehingga mulai dari pentashihan al Qur’an sampai pasca produk menjadi kewenangan Dirjen Bimas Islam. Namun jika logikanya adalah otoritas pentashih al Qur’an, yang artinya mengkaji dan meneliti keabsahan tulisan al Qur’an, maka kiranya kewenangan pentashihan al Qur’an menjadi kewenangan Balitbang.
Menurut hemat saya, pentashihan al Qur’an adalah bagian kecil tetapi sangat penting di dalam proses pencetakan al Qur’an, makanya akan menjadi efektif jika pentashihan al Qur’an adalah bagian dari proyek pencetakan al Qur’an. Sedangkan grand design untuk melakukan kajian dan penelitian tentang mushab Al Qur’an dalam konteks kesahihannya, sejarahnya, dan juga pengaruhnya terhadap kehidupan umat beragama, maka hal ini menjadi ranah otoritas Balitbang.
Dari konteks ini yang kiranya perlu untuk dipikirkan bagaimana way outnya. Jika dirasakan bahwa pentashih al Qur’an itu adalah kewenangan Balitbang dari perspektif makro, maka tentu benar jika pentashih al Qur’an tetap berada di sini, akan tetapi jika pentashih al Qur’an hanyalah masalah mikro saja, tentu bisa didiskusikan tempatnya di Dirjen Bimas Islam.
Dengan demikian, penempatan struktur mikro di dalam struktur yang lebih besar (makro) harus mengacu kepada tupoksi dasar dan seberapa luas cakupan struktur dimaksud di tengah kebutuhan masyarakat terhadap struktur baru. Berdasarkan teori fungsional, bahwa sebuah struktur sosial akan tetap bermanfaat selama struktur tersebut fungsional bagi kehidupan manusia.
Melalui proposisi ini, maka sesungguhnya sebuah struktur yang akan dibangun harus selalu dinyatakan kemanfaatannya bagi stakeholder itu sendiri. Semua tergantung kepada konsensus dan kemanfaatan struktur tersebut bagi masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab