IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (1)
IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (1)
Saya merasa sudah sering menulis tentang Idul Adha dalam beberapa tahun terakhir. Namun kali ini, tetap saja saya ingin menuliskannya lagi, karena kiranya tetap ada yang special untuk ditulis. Tentu saja, yang ingin saya paparkan adalah tentang nuansa idul Adha yang berada di dalam berbagai problema yang dihadapi umat Islam, termsuk umat Islam Indonesia.
Kita baru saja menerima musibah yaitu robohnya crane untuk pembangunan Masjidil Haram dan menyebabkan jatuhnya banyak korban tewas dan lainnya luka-luka. Juga peristiwa kebakaran hotel tempat pemondokan jamaah Haji Indonesia. Meskipun tidak ada korban, akan tetapi tetap saja hal itu sebagai peristiwa yang tidak mengenakkan bagi jamaah haji Indonesia dan juga keluarganya di tanah air.
Selain itu, kita masih merasa prihatin terhadap beberapa hal yang menjadi problema bangsa Indonesia, terutama yang terkakit dengan kehidupan umat beragama. Dan juga masih terdapatnya beberapa persoalaan bangsa yang harus memperoleh penuntasan penyelesaiannya, misalnya masalah kabut asap yang terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera. Masalah kabut asap ternyata menjadi problem tahunan yang tidak mudah diselesaikan. Selain menyebabkan pencemaran juga memiliki dampak ikutan yang cukup banyak, misalnya ekonomi dan pendidikan.
Idul Adha kali ini juga menyimpan keunikannya terutama terkait dengan penetapan pelaksanaannya yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah menetapkan hari Raya Idul Adha pada hari Kamis, 24 September 2015, sementara Muhammadiyah menetapkannya pada hari Rabo, 23 September 2015. Sebuah perbedaan yang seringkali terjadi di Bumi Nusantara terkait dengan pelaksanaan ibadah, baik shalat Idul Adha maupun Idul Fithri.
Untunglah bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat memahami perbedaan bukanlah sebagai sesuatu yang problematik. Pengalaman berkali-kali mengalami perbedaan dalam hari raya, menyebabkan masyarakat tidak merasakannya sebagai beban, baik teologis maupun kultural. Kedewasaan religious inilah yang kiranya perlu diapresiasi oleh kita semua di dalam menghadapi perbedaan demi perbedaan yang terus dilestarikan.
Idul Adha kita kali ini juga masih dibayangi oleh persoalan kerusuhan yang terjadi di Tolikara, Papua seputar pelaksanaan Shalat Idul Fithri 1436 H yang lalu. Masih ada kekhawatiran yang menggelayut terkait dengan pelaksanaan Idul Adha kali ini. Untungnya bahwa Pemerintah dengan segenap jajarannya sudah melakukan antisipasi terkait dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha 1436 H di Tolikara. Jauh-jauh hari sudah dilakukan koordinasi yang sangat mendasar oleh Menkopolhukam terkait dengan pelaksanaan ibadah Idul Adha ini. Kementerian Agama juga melakukan koordinasi secara memadai melalui Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Papua. Dari berbagai koordinasi itu, maka didapatkan kesepakatan dengan pimpinan Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), bahwa umat Islam dapat melaksanakan shalat Idul Adha dengan jaminan keamanan, termasuk menyembelih hewan kurban, memakai jilbab dan pengeras suara.
Kala terjadi kekisruhan dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri yang lalu, sungguh kita merasakan bahwa kerukunan umat beragama terasa dalam ancaman. Tanpa ada sinyal yang memadai akan terjadinya kerusuhan antar umat beragama, ternyata terjadilah persoalan itu. Makanya, kita semua tentu sudah belajar banyak dari peristiwa seperti ini, sehingga koordinasi lalu dilakukan dengan sangat memadai dan penuh tanggungjawab.
Kita tentu tidak ingin masalah seperti ini terjadi di tengah kehidupan umat beragama kita. Kita semua memahami bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religious. Mereka memiliki kearifan lokal yang sudah teruji bertahun-tahun. Mereka terbiasa saling membantu dalam peristiwa keagamaan. Bahkan mereka juga saling menjaga di dalam pelaksanaan ritual beragama. Mereka adalah masyarakat yang memiliki kesadaran multikulturalitas dan pluralitas yang sangat tinggi.
Kala terjadi kerusuhan atau apapun namanya, lalu kita selalu mengkaitkannya dengan berbagai faktor eksternal yang memang didesain untuk membuat terkoyaknya kerukunan masyarakat kita. Disadari oleh kelompok semacam ini, bahwa pintu masuk untuk membuat tujuan mereka tercapai adalah melalui keterpecahbelahan masyarakat, khususnya masyarakat beragama.
Melalui momentum Idul Adha, yang dimaknai sebagai pengorbanan, maka selayaknya semuanya melakukan introspeksi secara khusus, apakah kita akan terus berada di dalam nuansa ketidakmenentuan hubungan antar umat beragama yang damai dan tenteram. Pesan agama Islam tentu sangat jelas, bahwa kita harus menjaga ukhuwah kebangsaan. Yaitu dengan selalu menyambungkan tali persaudaraan antar warga bangsa.
Melalui ukhuwah kebangsaan, maka sekat primordialitas agama, suku, etnis dan sebagainya akan dapat dimanej dengan baik. Meskipun kita berbeda antara satu dengan lainnya dalam banyak hal, akan tetapi yang menjadi rujukan kembali bagi semuanya adalah ikatan persaudaraan kebangsaan yang memang meniscayakan untuk tetap bersatu.
Sekedar contoh, pengorbanan yang besar telah dilakukan oleh Presiden Barack Obama dalam menghadapi pluralitas masyarakat Amerika. Di tengah tekanan internasional tentang relasi Islam dengan negara bangsa di dunia ini, maka Beliau menyatakan bahwa: “Islam is part of America. Muslim woman & girls have freedom to wear hijab anywhere in United State and there who deny will be punished”. Presiden Amerika Serikat memperbolehkan wanita muslimah berjilbab di manapun berada. Siapa yang menolak akan dihukum”.
Dengan demikian, kita mesti melakukan yang terbaik untuk membangun kesepahaman kerukunan beragama dengan melakukan pengorbanan pada dimensi kehidupan yang memang memerlukan kerukunan.
Wallahu a’lam bi al shawab.