IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (2)
IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (2)
Ketertarikan saya untuk tetap menulis mengenai Idul Adha diinspirasikan oleh kenyataan bagaimana umat Islam begitu bersemangat untuk mencontoh tradisi ritual yang sudah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan diteruskan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh ibadah haji adalah contoh perjalanan ritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan juga Hajar isteri Nabi Ibrahim. Teladan ritual inilah yang kemudian memperoleh pengabsahan melalui Nabi Muhammad saw dan terus dilakukan oleh umat Islam sampai kini dan juga yang akan datang.
Yang tidak kalah penting juga teladan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan putranya Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim adalah nenek moyang agama-agama Semitis: Yahudi, Nasrani dan Islam. Ketiganya adalah agama monoteis yang bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim as. Itulah sebabnya, ketiga agama ini memiliki ajaran-ajaran universal yang menjadi pilarnya.
Di dalam perkembangannya, memang terjadi perbedaan yang sangat mendasar, terutama dalam bidang teologis dan ritual. Namun demikian, sesungguhnya yang terkait dengan ajaran kemanusiaan tentulah terdapat titik temunya. Misalnya tentang ajaran kasih sayang. Terjadinya perbedaan yang sangat mendasar dalam bidang teologi tentu disebabkan oleh adanya penafsiran dan rentang waktu dari para pelaku agama tersebut. Makanya, sering dinyatakan bahwa agama yang datang terakhir adalah sebagai rekonstruksi dan penemuan kembali kebenaran yang datangnya dari Tuhan.
Idul Adha sesungguhnya merupakan momentum untuk mengingat dan menemukan kembali ajaran Ibrahim –yang diyakini oleh ketiga agama Semitis ini—yaitu peristiwa bagaimana Nabi Ibrahim berkorban untuk keyakinannya. Nabi Ibrahim mengorbankan putranya untuk dipersembahkan kepada Allah swt dan untuk menandai kepatuhan dan kesetiaannya pada Tuhannya. Pengorbanan Nabi Ibrahim inilah yang kemudian ditradisikan sebagai Idul Adha di kalangan umat Islam, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Kata kunci penting di dalam memperingati peristiwa Idul Adha adalah “pengorbanan”. Jika orang ingat tentang Idul Adha, maka yang diingatnya adalah “mengorbankan hewan yang halal sesuai dengan takaran” untuk menandai kepatuhannya pada ajaran agamanya. Unta, sapi, kerbau, kambing adalah lambang hak milik yang bisa dikurbankan untuk pengabdian pada Allah.
Untuk bisa melakukan pengorbanan, dalam banyak aspek kehidupan, maka Prof. Dr. Amin Abdullah, Khotib Shalat Idul Adha (2015) menyarankan tiga hal, yaitu kedisiplinan, etos kerja dan pengabdian. Sebagaimana pengorbanan untuk dimensi ritual, maka pengorbanan untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat juga membutuhkan kediplinan, artinya dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan yang didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas hanya untuk kepentingan kemanusiaan.
Kedisiplinan tidak akan memiliki makna apapun jika tidak didasari oleh etos kerja yang kuat. Etos kerja adalah panggilan dari dalam diri manusia untuk terus menerus dan berkelanjutan di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah fil ardh. Jika tugas untuk memakmurkan kemanusiaan itu adalah tugas kemanusiaan, maka kedisiplinan dan etos kerja harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan sistemik. Jika masyarakat Islam memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang kuat, maka peluang untuk memakmurkan umat Islam akan menjadi besar.
Kedisiplinan dan etos kerja yang berhasil tentu akan memberikan peluang kemakmuran, akan tetapi hal itu juga tidak ada maknanya jika tidak dibarengi dengan semangat pengabdian kepada kemanusiaan. Semangat pengabdian akan mengajarkan kepada manusia tentang kesediaan berbagi kepada yang lain. Dengan semangat berbagi, maka tidak akan terjadi akumulasi kekuatan dan kemakmuran hanya pada sekelompok orang, akan tetapi akan dibagi-bagi dengan lainnya. Disinilah makna “taqsimul arzaq” yang kiranya menjadi kata kunci untuk share kemakmuran.
Idul Adha atau Idul Kurban juga akan memiliki makna jika kita menghayati akan teladan Ibrahim dan keluarganya untuk berbagi kepada yang lain. Daging kurban, air zamzam, keramaian kota Makkah dalam musim haji dan bulan lainnya adalah buah dari doa dan teladan ritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Maka jika kita meneladani keluarga ini, maka yang harus dilakukan adalah mencontoh bagaimana mereka itu memiliki semangat dan jiwa berkurban di dalam kehidupannya.
Namun, ketika saya menulis paragraph demi paragraph di dalam tulisan saya ini, nuansa hati kita menjadi makin tidak menentu. Musibah demi musibah di dalam pelaksanaan haji terus berlangsung. Kita yang awam ini lalu suka bertanya, ada apa dibalik kejadian demi kejadian ini. Pasti Tuhan bukan marah kepada kita. Namun tentu kita juga harus melakukan introspeksi tentang banyak hal yang harus kita lakukan terkait dengan penyelenggaraan haji.
Wallahu a’lam bi al shawab.