MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (2)
MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (2)
Saya kira, penerapan manajemen resiko untuk penyelenggaraan ibadah haji sudah saatnya untuk didiskusikan. Manajemen resiko ini juga tidak hanya dikhususkan bagi pemegang otoritas penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Suci saja, akan tetapi juga bagi negara-negara lain yang terlibat di dalam pengiriman jamaah haji. Pemerintah Arab Saudi dalam kapasitas sebagai penyelnggara ibadah haji memang memiliki kewenangan untuk menerapkan manajemen resiko, sebab banyaknya masalah yang dihadapi jamaah haji berada di wilayah kekuasaannya. Namun demikian, juga sangat diperlukan dukungan negara-negara lain yang mengirimkan jamaah haji agar program ini dapat mencapai tujuannya.
Bagi pemerintah Indonesia, penerapan manajemen resiko tentu sangat urgen menginat bahwa Indonesia adalah pengirim jamaah haji terbesar di dunia. Dengan jumlah 211.000 sampai 212.000 jamaah haji setiap tahun, maka bisa dibayangkan bagaimana memanej mereka di tengah jutaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Berbeda dengan negara lain, misalnya Malaysia yang hanya mengirimkan jamaah haji sebanyak 23.000 orang atau bahkan Brunei Darussalam yang hanya 400 orang, maka jumlah jamaah haji Indonesia haruslah dimanej dengan sangat hati-hati dan memadai.
Penyelenggaraan ibadah haji tentu melibatkan banyak pihak. Bagi pemerintah Indonesia, misalnya ada lembaga-lembaga non government, misalnya Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, asosiasi-asosiasi penyelenggara ibadah haji, dan juga badan-badan swasta lainnya yang selama ini terkait di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Makanya, ketika harus merumuskan penerapan manajemen resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji, maka mereka juga mesti harus terlibat di dalamnya.
Ada beberapa hal yang kiranya bisa didiskusikan terkait dengan penerapan manejemen resiko ini, khususnya bagi Pemerintah Indonesia. Pertama, memperhatikan terhadap SDM penyelenggara ibadah haji. Penyelenggara ibadah haji tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain yang ada di pusat juga ada di daerah-daerah kabupaten/kota. Tentu saja juga dengan kualitas pemahaman dan pemikiran yang sangat variatif. Ada yang sangat care terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan ada pula yang hanya sebagai pelaku atau pelaksana kegiatan.
SDM pendukung penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri dari ASN di Kementerian Agama, petugas yang tergabung pada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji Daerah (TPIHD), Pembimbing Haji dari KBIH, dan sejumlah tim lain yang tergabung di dalam penyelenggaraan ibadah haji (tenaga Musiman). Merekalah yang sesungguhnya menjadi pendamping jamaah haji di dalam prosesi ibadahnya. Mereka adalah tim yang secara langsung terlibat dan menjadi satu kesatuan dengan jamaah haji di Mekkah maupun Madinah. Dengan demikian, mereka memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengarahkan para jamaah haji pada prosesi ibadahnya.
Kedua, pelatihan tim pendamping haji. Sebagaimana diketahui bahwa tugas tim ini adalah menjadi pedamping jamaah haji, terutama terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji (prosesi ibadah maupun administrative dan perbekalan). Kesuksesan penyelenggaraan haji sebenarnya sangat tergantung pada peran mereka. Di dalam konteks ini, maka pelatihan untuk persiapan pendampingan harus melibatkan tim khusus yang memahami tentang manajemen resiko. Mereka tidak hanya dipersiapakan mengenai bimbingan ibadah dan teknis lainnya, akan tetapi harus memahami benar bahwa ada potensi resiko yang menjadi tantangan tim ini untuk dipahami.
Mereka harus mengenal benar tentang tempat, waktu, proses yang sering menjadi masalah di dalam penyepenggaraan haji. Kasus Mina yang selalu menjadi problem utama haji haruslah dikenal dengan baik. Bahkan juga berbagai simulasi untuk melakukan tindakan-tindakan penting yang harus dikuasainya. Dan yang lebih utama adalah kemampuan mengantisipasi terhadap potensi musibah yang berpeluang terjadi di dalam prosesi ibadah.
Ketiga, meninjau ulang terhadap penyelenggaraan pelatihan tim haji, baik di daerah maupun di pusat. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana agar mereka memahami manajemen resiko, sebagai usaha manusia untuk memberikan peringatan dini tentang potensi bahaya (early warning). Kiranya diperlukan seperangkat instrument teknologi yang akan dapat mendeteksi terhadap arah pergerakan dan kecenderungan penumpukan massa jamaah, sehingga akan bisa dideteksi lebih awal mengenai langkah antisipasi terhadap problem tersebut.
Pada tulisan saya terdahulu, saya sebutkan pentingnya Geographic Security System (GSS) yang dapat dijadikan sebagai instrument untuk melakukan deteksi dini (early warning) terhadap kemungkinan terjadinya resiko negative bagi para jamaah haji. Melalui sistem yang terpadu, maka akan dapat diputuskan mana tindakan yang akan diambil untuk kepentingan penyelamatan jamaah haji.
Keempat, mengubah mindset para pendamping haji dari orientasi surplus pahala sentris ke pahala dan keselamatan sentris. Tidak ada artinya tujuan memperoleh pahala yang lebih besar tetapi keselamatan tidak diperhatikan. Makanya, mindset mencari keafdholan (keutamaan) harus diubah menjadi kemaqbulan. Bukankah haji yang mabrur sudah cukup menjadi kendaraan seseorang untuk memasuki surga dan keridlaan Allah.
Sampai saat ini masih banyak tim pendamping haji yang merasa bahwa dirinya paling tahu mengenai medan haji, sehingga dengan pengetahuannya itu dijadikan sebagai justifikasi untuk mengajak para jamaah haji dalam mengejar keutamaan haji. Sebagaimana contoh haji tahun ini (2015) yang menuai masalah bagi jamaah haji Indonesia, sesungguhnya dipicu oleh ajakan-ajakan untuk menunaikan keutamaan haji dimaksud. Padahal Pemerintah Arab Saudi sudah memberikan jadwaj bagi jamaah Asia untuk melempar jumrah pada jam tertentu, akan tetapi ada sekian banyak tim pemandu haji yang melakukan berbeda dengan time schedule dimaksud.
Kelima, merekonstruksi kurikulum pelatihan PPIH, TPIHI, TPIHD dan juga Pimpinan KBIH dan Lembaga lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji. Kurikulum baru tersebut dimaksudkan sebagai kurikulum pelatihan dan pendidikan yang di dalamnya mengedepankan manajemen resiko. Selama ini manajemen yang diajarkan adalah manajemen operasional haji, sehingga cakupannya lebih kepada memahami proses penyelenggaraan haji. Melalui kurikulum baru tersebut, maka seluruh komponen personal yang akan menjadi penyelenggaran haji adalah mereka yang sudah memiliki kepedulian terhadap deteksi dini pada masalah-masalah haji, terutama di Mekkah dan Armina.
Saya berkeyakinan bahwa tidak ada sedikitpun di antara kita yang menghendaki penyelenggaraan ibadah haji bermasalah, baik ketika di negara asal maupun di Tanah Suci. Dengan keyakinan seperti ini, maka menyelenggarakan haji dengan mengedepankan manajemen operasional dan memadukannya dengan manajemen resiko rasanya menjadi keniscayaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.