MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (1)
MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (1)
Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan meskipun tidak terang-terangan, tentang bagaimana memanej takdir Tuhan, Allah swt. Musibah tersebut pasti akan terjadi dan tidak bisa diundurkan atau dimajukan kejadiannya. Begitulah orang memaknai takdir itu.
Sebagaimana yang sering saya tulis, bahwa perkara takdir adalah persoalan keyakinan, dan biasanya digunakan sebagai penjelasan terhadap suatu kejadian yang tidak diprediksi oleh kemampuan akal manusia. Makanya, Allah mengajarkan kepada kita jika terjadi musibah hendaknya kita menyatakan: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, yang atinya kurang lebih adalah “Sesungguhnya semua milik Allah dan sesungguhnya semua akan kembali kepadanya”.
Kalimat itulah yang dinyatakan oleh umat Islam dalam kaitannya dengan musibah demi musibah yang terjadi sekarang ini. Semenjak tragedi crane sampai tragedi Mina, maka seluruh umat Islam menyatakan kalimat yang sama. Basis keyakinanlah yang mengantarkan kita semua menerima terhadap kenyataan takdir ini.
Namun demikian, saya kira tetaplah harus dipikirkan tentang penerapan manajemen resiko di dalam pelayanan haji, khususnya di Arab Saudi. Menajemen resiko ditetapkan penggunaannya, sebab memang penyelenggaraan haji memiliki potensi masalah yang tidak sedikit. Dan bahkan berdasarkan kenyataan empiris bahwa penyelenggaraan ibadah haji juga terus menuai musibah.
Agar penyelenggaraan ibadah haji dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, maka diperlukan suatu manajeman yang terkait dengan kejadian atau peristiwa yang tidak mengenakkan atau kerugian. Inilah yang kemudian disebut sebagai manajemen resiko, yaitu proses untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengontrol resiko (apa saja: bisa finansial, asset bahkan jiwa seseorang) agar didapatkan penyelenggaraan suatu even akan lebih menyelamatkan dari pada merugikan.
Dasar digunakannya menajemen resiko di dalam penyelenggaraan haji adalah untuk mengantisipasi masalah atau musibah. Pertama, banyaknya jamaah haji. Jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun makin bertambah. Jumlah mereka berkisar antara dua sampai tiga juta umat. Mereka berada di dalam tujuan yang sama, yaitu melaksanakan ibadah haji.
Kedua, terjadinya penumpukan massa di dalam satu titik yang sama. Di dalam ritual haji, maka dipastikan bahwa jamaah haji akan menumpuk di sekitar ka’bah untuk thawaf dan kemudian di dalam masjid untuk sa’I dan salat jamaah. Lalu, di jalan menuju Arafah, Muzdalifah dan Mina. Dan yang paling bermasalah adalah jalan menuju titik tempat pelemparan jamarat serta pelaksanaan melempar jamarat. Bisa dibayangkan orang dalam jumlah besar bergerak bersama menuju satu titik ritual, sehingga peluang terjadinya musibah sebenarnya bisa diprediksi.
Ketiga, semangat beribadah dan ketercapaian ibadah secara individual akan menyebabkan seseorang melupakan dimensi keselamatan diri. Apalagi jika dipandu oleh semangat untuk mengejar waktu afdhal dan pahala yang lebih besar.
Penerapan manajemen resiko, sesungguhnya diinspirasikan oleh keinginan untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta keselamatan bagi jamaah haji. Sebagai tamu Allah, maka mereka haruslah memperoleh jaminan akan keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, penerapan menajemen dimaksudkan sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah atau musibah di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Saya tentu juga berkeyakinan bahwa otoritas Arab Saudi sudah melakukan banyak hal terkait dengan jaminan keamanan dan keselamatan ini, meskipun juga harus tetap diperhitungkan resiko-resiko fisik atau kejiwaan bagi para jamaah haji.
Di dalam pelaksanaannya, maka manajemen resiko dapat menggunakan tiga tahapan yang secara umum sering digunakan. Yaitu: pertama, mengidentifikasi resiko. Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa medan resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji sudah teridentifikasi. Bahkan kejadian-kejadian musibah selama ini juga sudah diidentifikasi secara memadai. Bukankah kejadian-kejadian musibah tersebut sudah sering terjadi di saat penyelenggaraan ibadah haji. Misalnya, tempat pelemparan jamarat, jalan menuju jamarat, seputar ka’bah dan sebagainya. Jika terjadi kasus berulang-ulang, maka sesungguhnya terdapat kesamaan medan musibah atau masalah. Dengan demikian, peta masalah atau gambaran musibah itu sudah bisa diduga tempat dan waktunya.
Kedua, melakukan evaluasi resiko. Salah satu yang sangat penting untuk dimanej dengan baik adalah bagaimana menyelamatkan ratusan jamaah haji yang dalam suatu waktu melakukan ritual-ritual haji. Mungkin agak berbeda dengan manajemen resiko perusahaan yang lebih banyak kaitannya dengan evaluasi resiko finansial dan asset, maka di dalam manajemen resiko penyelenggaraan ibadah haji adalah mengevaluasi keselamatan jamaah haji. Nyawa mereka menjadi taruhannya, jika manajemen resiko gagal beroperasi. Evaluasi terhadap titik-titik resiko penyelenggaraan ibadah haji harus terus menerus dilakukan.
Ketiga, mengendalikan resiko. Di antara tujuan mendasar dari manejeman resiko adalah bagaimana penyelenggara even: badan, pemerintahan, perusahaan dan sebagainya agar dapat mengendalikan masalah atau resiko. Dengan demikian, pengendalian resiko tentu menjadi sangat penting di saat krisis yang membutuhkan penyelamatan. Mengamati terhadap penyelenggaraan ibadah haji yang selalu terdapat potensi musibah –sebagaimana yang sering terjadi—maka tidak ayal lagi bahwa diperlukan adanya pengendalian resiko ini. Apalagi resiko yang berpotensi itu tidak hanya terkait dengan finansial atau asset, akan tetapi nyawa seseorang.
Tulisan ini tentunya bukan dimaksudkan dan bahkan bukan untuk meragukan otoritas Arab Saudi di dalam penyelenggaraan ibadah haji, apalagi mendegradasikan kewenangannya, namun sebagai bahan renungan bahwa sudah saatnya untuk melakukan yang lebih baik terkait dengan layanan haji.
Pemerintah Arab Saudi sudah melakukan segalanya untuk kepentingan kenyamanan jamaah haji, pemasangan CCTV, perbaikan Masjidil Haram, perluasan tempat pemondokan dan sebagainya. Makanya, yang kiranya diperlukan adalah bagaimana melakukan antisipasi terhadap kejadian musibah yang memang menghantui penyelenggaraan ibadah haji.
Saya kira perbaikan manajemen SDM, manajeman operasional dan manajemen resiko tetaplah dipentingkan. Kiranya memang perlu evaluasi yang mendasar mengenai penyelenggaraan ibadah haji ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.