IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (3)
IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (3)
Saya baru saja datang dari ziarah Makam Ayah saya, kala Jurnalis INews TV, Mas Dani menelepon saya terkait dengan berita terjadinya musibah Mina, yaitu berita tewasnya sebanyak 220 orang. Maksud Mas Dani adalah ingin memperoleh klarifikasi tentang berita tersebut.
Lalu saya sampaikan kepadanya bahwa saya sedang di tempat kelahiran saya, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur untuk acara khusus. Saya meminta kepadanya untuk menghubungi tim humas haji yang tentu saja siap memberikan klarifikasi.
Saya merasakan betapa pelaksanaan haji tahun ini penuh dengan masalah dan musibah. Belum lepas dari ingatan kita tentang masalah robohnya crane yang juga menewaskan jamaah haji, termasuk jamaah haji Indonesia, dan sekarang juga terjadi musibah sebagai akibat mereka berdesakan untuk melempar jumrah. Dan akhirnya diketahui bahwa jumlahnya juga sangat banyak, 717 orang. Sungguh ini merupakan bagian dari Idul Adha yang kelabu bagi umat Islam (Republika, 26/09/2015).
Tragedi di dalam melaksanakan ibadah haji tentu bukan barang baru, sebab memang pernah terjadi beberapa kali dengan korban jamaah haji dalam jumlah yang bevariasi. Akan tetapi musibah yang terjadi tahun ini terasa sangat mendalam, sebab terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan. Saya tentu tidak akan lagi bertanya dalam corak pertanyaan spiritual, akan tetapi saya hanya akan menyatakan bahwa tentu harus diberlakukan manajemen baru secara sangat mendasar terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji dengan jumlah jamaah yang mencapai jutaan orang.
Saya tentu yakin bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ketentuan Tuhan, Allah swt. Akan tetapi Pemerintah Saudi sebagai Khadimul Haramain dan pemilik otoritas untuk menyelenggarakan ibadah haji, tentunya harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, negara pengirim jamaah haji juga harus memberikan bimbingan yang memadai tentang tatacara dan perhitungan waktu yang cermat mengenai pelaksanaan ritual-ritual dimaksud. Masing-masing negara pengirim jamaah haji juga harus menerapkan manajemen resiko untuk kepentingan ini.
Perubahan ini dirasakan sangat penting. Ibadah haji akan tetap menjadi bagian penting di dalam sistem peribadahan Islam. Meskipun terdapat sejumlah resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji, namun hal itu tentu tidak akan menyurutkan calon jamaah haji untuk mengurungkan niatnya. Bahkan yang usianya sangat beresiko sekalipun juga akan tetap melaksanakan ibadah haji jika peluang ibadah haji tersebut didapatkannya.
Memang harus diakui bahwa ibadah haji memiliki potensi resiko yang cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah jamaah haji yang dalam waktu yang nyaris bersamaan harus melakukan ritual wajib. Yang paling potensial adalah perjalanan untuk melempar jumrah, baik Jumratul Ula, Wustha maupun Aqabah. Potensi yang paling berpotensi rawan adalah perjalanan menuju lokasi melempar jumrah tersebut. Bisa dibayangkan manusia dalam jumlah ratusan ribu bahkan jutaan bergerak bersama untuk melakukan ritual ini.
Rombongan pejalan kaki yang mencapai ratusan ribu orang bahkan jutaan orang tersebut sangat rawan musibah. Jika yang bagian depan menghentikan langkahnya, sementara yang ditengah dan belakang tidak mengetahuinya tentu akan terjadi suasana berjubel dan hal ini sangat rawan terjadinya prosesi berdesakan yang luar biasa. Bisa dibayangkan bahwa mereka hanya membayangkan satu titik yang sama dan akan melakukan tindakan yang sama. Makanya, potensi kerawanan akan sangat besar. Kita tentu ingat ketika pejalan kaki di Haratul Lisan saling berhimpitan dan kemudian menyebabkan korban tewas yang tidak sedikit.
Lokasi yang juga sering menjadi tempat berpotensi masalah adalah titik tempat melempar jumrah. Lokasi ini memang sudah dibangun bertingkat, akan tetapi tetap saja berpotensi untuk terjadinya tumpukan massa dan bisa menyebabkan terjadinya musibah. Banyak kejadian di titik lokasi melempar jumrah dan bahkan juga sudah pernah terjadi musibah yang menewaskan banyak jamaah haji.
Oleh karena itu, kiranya diperlukan manajemen resiko untuk mengatasi masalah demi masalah yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Meskipun musibah adalah kepastian Tuhan, akan tetapi manusia tetap harus berusaha untuk melayani keselamatan jamaah haji. Haji yang merupakan salah satu rukun Islam penting dan menjadi idaman umat Islam untuk melaksanakannya tentu tidak boleh dijadikan sebagai bahan olok-olokan bahwa ibadah haji sebagai ladang musibah. Bukankah banyak kaum Islamphobia yang selalu mengumandangkan rasa hasudnya terhadap Islam dan umat Islam.
Berdasarkan pemetaan terhadap tempat-tempat potensial musibah, maka berikutnya akan bisa diterapkan manajemen resiko yang dapat digunakan sebagai instrument untuk meminimalisir potensi rawan musibah. Untuk kepentingan ini, maka dapat dipertimbangkan beberapa strategi manajemen resiko, yaitu:
Pertama, memetakan secara cermat pergerakan jamaah di tempat yang rawan masalah. Pemetaan dilakukan melalui sistem satelit, seperti Geographic Security System (GSS) yang akan dapat memonitor secara cermat terhadap penumpukan massa. Melalui sistem ini, maka petugas yang sudah disiapkan secara terlatih akan dapat mengerem laju jamaah, jika dirasakan tumpukan massa sudah mengkhawatirkan atau mengarahkan ke jalur lain yang berpeluang aman.
Kedua, mengalokasikan tim internasional yang terdiri dari berbagai negara peserta haji sebagai tim yang melakukan penjagaan secara bersama di wilayah-wilayah yang rawan dan potensial musibah. Melalui tim internasional yang sesungguhnya mengetahui banyak rute-rute jamaahnya, maka akan didapatkan kesepahaman kapan harus melakukan ritual dan kapan harus berhenti.
Ketiga, melakukan antisipasi waktu yang ketat terhadap pelaksanaan ibadah atau ritual. Misalnya dengan pembagian waktu yang cermat kapan jamaah Indonesia harus melakukan ritual, dan kapan jamaah Negara lainnya. Cara ini memang tidak popular, sebab ada banyak keyakinan untuk mengejar waktu afdhal beribadah. Jamaah haji yang ingin mengejar waktu afdhal inilah yang terkadang sangat sulit dikendalikan oleh petugas dan biasanya melakukannya tanpa koordinasi.
Keempat, memperkuat tim pemandu haji dengan pengetahuan mengenai manajemen resiko. Satu hal yang sangat penting untuk diketahui oleh petugas haji adalah mengenai resiko atau potensi musibah. Oleh karena itu, setiap petugas harus memahami bahwa tugasnya mengandung resiko untuk menyelamatkan jamaah haji. Makanya, sebagai petugas mereka harus memahami apa yang harus dilakukan jika akan terjadi peluang resiko musibah. Melalui panduan GSS yang ada di tangannya, maka mereka akan bisa berkomunikasi dengan tim-tim pemandu jamaah haji untuk melakukan penyelamatan jamaah haji.
Kelima, koordinasi dan kerjasama internasional. Meskipun penyelenggaraan haji adalah otoritas Pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga harus terbuka untuk membangun jejaring kerjasama di dalam pelaksanaan manajemen resiko ini. Oleh karena itu, harus ada Badan Internasional dibawah koordinasi Pemerintah Arab Saudi yang memiliki tugas untuk mengembangkan implementasi manajemen resiko di dalam kerangka penyelenggaraan ibadah haji.
Saya kira sudah saatnya untuk memikirkan apa yang terbaik bagi keselamatan jamaah haji, meskipun kita tahu bahwa semua yang terjadi hakikatnya adalah kehendak Allah swt. Kita harus tetap berusaha untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi tamu-tamu Allah yang merindukan beribadah dengan kekhusyuan dan keselamatan.
Wallahu a’lam bi al shawab.