• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEJUTA RUMAH UNTUK KARYAWAN

SEJUTA RUMAH UNTUK KARYAWAN

Salah satu di antara program “kerakyatan” Presiden Jokowi adalah membangun sejuta rumah untuk karyawan dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Program ini digulirkan untuk melengkapi program “kerakyatan” lainnya, yaitu pendidikan yang murah, merata tetapi bermutu dan program kesejahteraan untuk seluruh warga masyarakat Indonesia.

Memang harus diakui bahwa salah satu problem  bagi warga masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan. Hampir di seluruh wilayah perkotaan akan selalu didapati “slum area” yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari problema bagi kota-kota di seluruh dunia.

Kebutuhan akan perumahan bagi warga menjadi issu yang sangat mendasar. Sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan dasar bagi warga masyarakat. Perumahan merupakan kebutuhan vital sebagaimana kebutuhan akan makanan dan pakaian.

Di dalam falsafah Jawa, bahwa ada tiga kebutuhan mendasar manusia yang harus dipenuhi yaitu: sandang, pangan dan papan. Setiap individu membutuhkan pakaian, makan dan rumah. Kebutuhan akan sandang merupakan yang sangat vital. Tubuh kita harus tertutup dengan pakaian. Kalau tidak tertutup, maka bisa saja kita dianggap sebagai orang “gila”. Hanya orang gila saja yang tidak menutup dirinya dengan pakaian. Tentu terkecuali bagi area dengan tradisi pakaian yang khusus.

Pakaian adalah sarana untuk menutup malu. Orang dianggap beradab jika tubuhnya tertutup oleh pakaian. Makanya, di dalam Petuah Para Wali diungkapkan “paringono klambi marang wong kang mudo”, artinya berikan pakaian kepada orang yang telanjang.

Lalu kebutuhan pangan. Makan adalah kebutuhan biologis untuk mempertahankan kehidupan. Seseorang akan bisa bertahan hidup jika yang bersangkutan bisa makan makanan yang bergizi. Oleh karena itu, kebutuhan makan merupakan kebutuhan fisikal yang sangat mendasar. Makanya, di dalam tradisi Jawa sebagaimana diungkapkan oleh para Wali, adalah “wenehono mangan marang wong kang keluwen” atau berikan makan kepada orang yang kelaparan.

Kemudian, kebutuhan tempat tinggal atau papan. Rumah adalah tempat berteduh, tempat untuk bertempat tinggal. Rumah merupakan kebutuhan untuk beristirahat dari kesibukan bekerja yang tiada henti. Dengan demikian rumah merupakan sarana yang sangat penting untuk kelanjutan kehidupan. Di kota-kota besar banyak kita jumpai kaum gelandangan yang “kabur kanginan” atau orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka ini adalah orang yang tidak beruntung di dalam pergulatan kehidupannya. Untuk kepentingan ini, maka pemerintah memprogramkan “Gerakan Sejuta Rumah” untuk masyarakat.

Di dalam mendukung terhadap gerakan perumahan untuk rakyat ini, maka Kementerian Agama telah melakukan kerjasama dengan Bank BTN. Kerjasama ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitasi rumah bagi karyawan berpenghasilan rendah untuk bisa mengakses kepemilikan rumah. MoU dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Nur Syam, MSI.,  dengan Direktur BTN,  Onny Ferbriyarto. Hadir pada acara penandatangan MoU ini adalah seluruh pejabat eselon II Kemenag dan juga pimpinan cabang BTN di Jakarta. Acara dilakukan di Kantor Kemenag. RI.,  Jalan Lapangan Banteng, 3-4 Jakarta, pada tanggal 04 Nopember 2015. Acara penandatanganan PKS ini merupakan hasil inisiatif Biro Keuangan dan BMN Kementerian Agama.

Di dalam kesempatan ini, saya memberikan beberapa masukan terkait dengan program ini, yaitu: pertama, kemudahan akses bagi pelanggan. Bagi kaum berpendapatan rendah,  maka berurusan dengan Bank tentu memiliki kendala tertentu. Misalnya adalah kendala jaminan pinjaman. Jika memang BTN ingin menggaet mereka sebagai nasabah untuk program perumahan rakyat, maka harus ada upaya agar mereka dengan mudah mengakses perbankan ini.

Kedua, keterjangkauan masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, maka keterjangkuan anggaran atau dana menjadi sangat urgen. Mereka tentu tidak memiliki sejumlah uang untuk menjadi uang muka atau down payment. Mereka tentu bisa diberikan kemudahan untuk membayar uang muka kredit tersebut. Termasuk keterjangkauan  tempat perumahan tersebut. Keterjangkauan tidak dimaksudkan harus dekat dengan kantor,  akan tetapi adalah kedekatan perumahan dengan sarana transportasi menuju ke kantor. Sebagai contoh, orang yang tinggal di Citayem Bogor akan lebih mudah aksesnya ke kantor dibanding mereka yang tinggal di Ciputat, sebab ketersediaan transportasi kereta api dari Bogor Ke Jakarta. Oleh karena itu, Bank BTN di dalam membangun perumahan juga mesti mempertimbangkan aspek keterjangkauan anggaran dan tempat ini.

Ketiga, kenyamanan dan keamanan. Rumah merupakan tempat tinggal, sehingga rumah harus memenuhi persyarakatan kenyamanan dan keamanan. Kenyamanan rumah tidak ada kaitannya dengan ukuran rumah itu. Bisa saja terjadi ukuran rumah kecil lebih nyaman ditempati dibanding dengan rumah yang besar. Ukurannya sangat relatif. Yang penting bahwa mereka memiliki rumah dengan ukuran yang relevan dengan kemampuan finansial yang dimilikinya.

Bagi kita bahwa kepemilikan rumah dapat menjadi variabel pengungkit peningkatan kinerja. Dengan memiliki rumah,  maka tidak lagi seorang karyawan terus menerus memikirkan kapan pindah dan kapan memiliki rumah sendiri.

Melalui Penjanjian Kerjasama (PKS) antara Kementerian Agama dengan Bank BTN diharapkan akan dapat membantu para karyawan di dalam kerangka mewujudkan mimpinya memiliki rumah sebagai tempat tinggal permanen. Jika hal ini bisa dilakukan, maka saya yakin bahwa ke depan akan terjadi lompatan performance kinerja yang akan lebih baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PERCEPATAN PENGADAAN DAN PENGUATAN EKONOMI RIIL

PERCEPATAN PENGADAAN DAN PENGUATAN EKONOMI RIIL

Salah satu problem pemerintah yang terus dirasakan semenjak Pemerintahan Presiden SBY sampai Presiden Jokowi adalah mengenai rendahnya serapan anggaran pembangunan. Kita tidak tahu pasti penyebabnya, akan tetapi di antara yang mengemuka adalah tentang rendahnya serapan anggaran untuk pengadaan barang dan jasa.

Itulah sebabnya Presiden Jokowi lalu mengeluarkan berbagai paket percepatan serapan anggaran pembangunan melalui paket kebijakan ekonomi, misalnya tidak diperbolehkannya untuk melakukan kriminalisasi terhadap pembuatan kebijakan, serta berbagai kemudahan regulasi dan percepatan untuk pengeluaran pembiayaan pembangunan.

Menyadari akan lemahnya regulasi mengenai percepatan pengadaan barang dan jasa, maka Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2015 dan perubahan Perpres No 54 tahun 2010 menjadi Perpres No. 4 tahun 2015. Yang intinya adalah untuk percepatan serapan anggaran pembangunan. Kemudian untuk menindaklanjuti kemudahan-kemudahan itu, maka Menteri Keuangan juga mengeluarkan PMK No. 168 Tahun 2015 untuk mempercepat bantuan pemerintah sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi sebagai pengganti bantuan sosial yang rumit di dalam tatacara penyalurannya.

Di dalam konteks ini, maka di kementerian Agama (Kemenag) dilakukan kegiatan Sosialisasi Inpres No 1 tahun 2015 dan juga Perpres No 4 Tahun 2015 dengan harapan semua pejabat sampai di tingkat daerah akan dapat memahami dengan benar mengenai regulasi yang memberikan solusi dan kemudahan ini. Acara yang dilakukan pada 02/11/2015 ini,  dinisiasai oleh Kepala Biro Umum ini tentu sangat penting untuk dijadikan sebagai wahana mendiskusikan dengan para pakar di bidang pengadaan barang dan jasa, misalnya LKPP, yang memang memiliki otoritas untuk memberikan penjelasan di seputar masalah yang sering dihadapi oleh pejabat pengadaan barang dan jasa.

Sebagai pejabat yang memiliki keterkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, maka saya memberikan empat hal yang saya anggap penting untuk disampaikan kepada para audiences terkait dengan acara ini, yaitu:

Pertama, mengapa pemerintah harus mengeluarkan kebijakan percepatan serapan anggaran pembanguna? Harus dipahami bahwa dewasa ini sedang terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diprediksi akan mencapai angka 6 persen lebih ternyata anjlok sampai batas rendah, yaitu sekitar 4,8 persen. Hal ini dipicu oleh ketidaktercapaian pembayaran pajak, rendahnya ekspor, menguatnya dolar terhadap rupiah dan devaluasi mata uang asing yang mempengaruhi terhadap perekonomian dunia.

Percepatan penyerapan anggaran pembangunan tentu diharapkan akan dapat menghidupkan kembali ekonomi riil di masyarakat kita yang disebabkan rendahnya daya beli masyarakat terkait dengan problem penguatan harga berbagai komoditas di Indonesia. Barang-barang hasil pabrikan menjadi lesu di pasaran. Orang lebih mementingkan dapurnya ngebul daripada melakukan renovasi atau membangun gedung. Makanya, penyerapan anggaran khususnya untuk pengadaan barang dan jasa akan kembali menggairahkan pasar yang lemah tersebut.

Kedua, memberikan pemahaman yang sama dan komprehensif. Setiap regulasi yang hadir di tengah-tengah masyarakat selalu memperoleh tafsir yang aneka ragam. Misalnya di dalam pengadaan barang dan jasa, maka masing-masing klasifikasi besaran anggaran akan menentukan bagaimana teknis pertanggungjawabannya. Tidak bisa disamakan. Makanya, persyaratan pertanggungjawabannya juga sesuai dengan regulasi yang ada. Hanya saja terkadang  pengawas atau pemeriksa  tidak memiliki bahasa yang sama atas regulasi dimaksud. Di dalam konteks ini, maka akan menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku pekerjaan.

Makanya, kapan kuintansi digunakan, kapan kontrak kerja diberlakukan dan kapan Kerangka Acuan Kerja dipersyaratkan haruslah menjadi pedoman bersama antara auditor dan auditi, sehingga ketenangan dan kenyamanan kerja akan dapat dirasakan oleh para eksekutor pekerjaan.  Ketiadaan pemahaman yang sama di antara mereka akan dapat menyebabkan masalah dan terkadang harus berujung di pengadilan.

Ketiga, perlunya membangun jaringan antara kelembagaan di dalam pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa selalu melibatkan anggaran yang cukup besar terutama untuk anggaran konstruksi atau gedung. Nilai kontraknya bisa mencapai angka ratusan milyar. Oleh karena itu, di dalam pelelangan dirasa perlunya melibatkan kepolisian atau kejaksanaan sebagai tim pengawas pengadaan barang dan jasa. Keterlibatan mereka didasari oleh kepentingan agar pelaksanaan pelelangan akan berjalan secara fairness. Bisa dilibatkan di dalam unwizing, atau pembukaan pelelangan. Saya kira ada porsi yang akan dapat diambil oleh para penegak hukum di dalam membantu proses pelelangan agar tercapai pelelangan yang akuntabel dan transparan.

Keempat, lakukan pelelangan melalui LPSE agar transparansi dan fairness akan dapat dilakukan secara memadai. Harus diingat bahwa era sekarang ini adalah era orang tidak puas dan kehilangan kepercayaan. Yang kalah selalu merasa dikalahkan, sehingga mereka mencari upaya agar dapat mementahkan kemenangan orang lain, dan di sisi lain juga selalu berpikir bahwa segala sesuatu merupakan hasil rekayasa. Kemenangan tim lain adalah rekayasa dan kekalahan dia juga merupakan hasil rekayasa. Dua penyakit inilah yang menyebabkan ketidakpastian di dalam mengelola anggaran dan terkadang berujung di meja pengadilan.

Untuk itu maka yang perlu diperkuat adalah kepastian regulasi, keterlibatan pihak-pihak yang berkompeten dan kuatnya transparansi dan akuntablitas saja yang akan memberikan kepada kita jaminan kepastian bahwa program akan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu keberhasilan pembangunan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (2)

MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (2)

Pertemuan di Rumah Dinas Wakil Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla, memang didesain untuk membicarakan tentang bagaimana ke depan akan ada satu Universitas Islam yang akan bisa menjadi ikon bagi pengembangan studi Islam, tidak didirikan untuk mengembangkan program strata satu, akan tetapi untuk mengembangan program strata dua dan tiga.

Jadi, perguruan tinggi ini akan menghasilkan ahli-ahli riset tentang ilmu keislaman, yang mumpuni dan berwawasan kemajuan. Maka yang diusung adalah mengembangkan wawasan Islam Nusantara berkemajuan. Dengan demikian, yang diharapkan dengan lahirnya Graduate University of Islamic Studies (GUIS), bukan pada banyaknya alumni yang dihasilkannya,  akan tetapi pada kualitas alumni yang diproduksinya.

Saya memandang bahwa pengembangan ilmu keislaman (Islamic Studies) di Indonesia sudah mengenal dua pola atau dua arah, yaitu: arah pengembangan studi Islam murni (pure Islamic studies) dan ilmu keislaman integrative (integrative Islamic studies). Pola pertama dikembangkan melalui pendirian Ma’had Ali dengan berbagai variasi keilmuannya, lalu untuk mengembangkan  integrasi ilmu melalui didirikannya berbagai UIN dengan varian program studinya.

Keduanya merupakan bagian tidak terpisahkan di dalam kerangka pengembangan ilmu keislaman yang ke depan diharapkan akan lebih relevan dengan kebutuhan umat beragama di dunia internasional. Seirama dengan perkembangan dunia Islam yang makin cenderung mengeras, maka sesungguhnya dibutuhkan suatu model pengembangan ilmu keislaman yang lebih relevan dengan kebutuhan akan kedamaian dan keselamatan dunia.

Mencermati terhadap dua arah pengembangan ilmu keislaman tersebut, maka yang penting adalah menjelaskan apa yang menjadi distingsi dan ekselensi dari GUIIS ini. Jangan sampai mareke yang alumni GUIS itu justru kualitasnya barada di bawah Ma’had Ali atau PTKIN. Menurut saya, maka yang prlu diperkuat dan menjadi distingsinya adalah kekuatan riset dan bahasa. Dari distingsi ini kemudian diharapkan akan memunculkan ekselensi yang merupakan keunggulannya.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Pak Jusuf Kalla, bahwa dunia internasional sekarang ini lebih tertarik pada Islam Indonesia. Mereka semua heran bagaimana Islam Indonesia bisa rukun dan damai. Sementara di Timur Tengah terjadi konflik yang belum jelas kapan selesainya.

Menurut Beliau, di dalam suatu kesempatan, Mantan Perdana Menteri Inggris, John Major, menyatakan penyesalannya, karena kesalahannya mendorong terjadinya perang di Irak. Dia tidak mempertimbangkan bahwa aspek ideology agama ternyata dapat mendorong untuk berperang luar biasa. Jika seseorang dijanjikan bahwa  mati di dalam peperangan akan memperoleh surga, maka orang akan pergi untuk berperang sampai menghembuskan nafas terakhirnya  di dalam peperangan itu. Surga menjadi  jaminannya.

Sambil seloroh, Pak Wapres menyatakan bahwa orang-orang yang dengan cara biasa tidak bisa masuk surga karena dosa-dosanya, lalu mendapatkan tawaran cara cepat masuk surga melalui jihad, maka bisa jadi orang tersebut sangat bersemangat untuk berjihad. Bahkan agar seseorang memiliki keberanian di dalam berperang, terkadang harus minum khamar dulu, sehingga keberaniannya menjadi berlipat-lipat.

Yang sering kali tidak diperhitungkan oleh Negara-Negara Barat adalah mengenai kekuatan ideology keagamaan ini. Dahulu diperkirakan dengan kehancuran  kekuasaan Saddam Hussein, maka para pengikutnya akan bertekuk lutut. Akan  tetapi ternyata bahwa dugaan tersebut salah, sebab hingga hari ini pengikut Saddam Hussein masih berjihad dengan caranya sendiri.

Perlawanan terhadap kaum Syiah di Timur Tengah ternyata dipicu oleh adanya dugaan bahwa Syiah akan menguasai terhadap Mekkah dan Madinah. Madinatul Haramain ini dianggap sebagai pusat bagi kekuatan Islam ahlu Sunnah wal Jamaah dan sekaligus juga pusat ritual ibadah haji. Jika dua kota ini dikuasai oleh Iran, maka akan terjadi kehancuran kaum ahlu sunnah wal jamaah. Disebabkan oleh informasi seperti ini, maka Negara-Negara Islam yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah lalu bersama-sama membentuk barisan anti Syiah.

Di tengah kekisruhan politik di Timur Tengah ini, maka datanglah yang menyebut dirinya sebagai Amir Mu’minin, Abu Bakar Al Baghdadi, yang sebenarnya seorang preman, yang pernah berguru kepada Usamah bin Ladin. Dia datang kembali ke negaranya dan memproklamirkan berdirinya Negara Islam, yang disebutnya sebagai Islamic State (IS) atau Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS) yang ternyata kebanyakan pengikutnya adalah mantan penganut setia Saddam Hussein, yang hingga sekarang masih tetap eksis.

Kekuatan ideology Islam inilah yang menggerakkan sebagian kaum muslimin sebagaimana di Iraq dan Syria untuk terus berperang melawan siapa saja yang dianggap musuhnya. Siapa yang menguasai jargon ideology Islam, maka dia yang akan memiliki pengikut yang banyak. Ketertarikan sebagian kecil masyarakat Indonesia terhadap gerakan ISIS adalah karena kesamaan jargon perjuangan  untuk menegakkan daulah Islamiyah (DI).

Itulah sebabnya, Islam Indonesia harus tampil ke depan untuk memimpin dunia. Islam Indonesia adalah contoh terbaik tentang bagaimana Islam dapat menjadi lokomotif bagi tumbuh kembangnya demokrasi dan kemajuan.

Ke depan, makanya harus ada lembaga pendidikan yang dapat menjawab tantangan zaman yang justru dipertaruhkannya kepada Islam Indonesia. Tidak ada lain yang harus diperbuat dalam waktu secepatnya adalah mendirikan pendidikan tinggi yang iconik dan memiliki jangkauan wawasan yang luas dan keislaman yang mendalam.

Harus dimulai dari sekarang. Mumpung orientasi negara berpihak kepada hal ini.

Wallahu a’lam bi al shawab

MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (1)

MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (1)

Ada yang sangat menarik dari perbincangan di Rumah Dinas Wakil Presiden, Bapak  Jusuf Kalla, Kamis, 29 Oktober 2015. Acara ini digelar di dalam kerangka membicarakan pendirian Universitas Islam Internasional (UII) atau yang juga disebut Graduate University of Islamic Studies (GUIS), dengan sejumlah tokoh dan menteri dari Kabinet Kerja Republik Indonesia.

Hadir di dalam acara ini adalah Wapres RI, Pak Jusuf Kalla, Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Ristekdikti, Pak Muhammad Nasir, Menteri PAN-RB, Pak Yuddi Chrisnandi, Wamenlu, Pak Muhammad Fachir, Seswapres, Mohammad Oemar, Sekjen Kemenag. RI, Prof. Nur Syam, Dirjen Pendis, Prof. Kamaruddin Amin, Deputi  SDM Bappenas, Dr. Subandi, lalu sejumpah tokoh dan pakar dari lintas keahlian, seperti Prof. Komaruddin Hidayat (pemrakarsa), Prof. Bachtiar Effendi (UIN Jakarta), Marsudi Syuhud (NU), Imam Addaruquthni (Muhammadiyah), Prof. Quraisy Syihab, Prof. Alwi Syihab, Prof. Jimly Ash Shiddiqi, dan masih banyak nama yang saya tidak bisa sebut satu persatu.

Di akhir pembicaraan, ada hal yang sangat menarik untuk digarisbawahi yaitu usulan untuk mencermati terhadap gerakan Islam radikal yang telah memiliki kekuatan yang sangat memadai di Indonesia. Pembicaraan Prof. Alwi Syihab tersebut, kiranya sangat penting untuk dicamkan dan digaris bawahi, sebab memang sangat mendasar. Ada tiga  hal yang beliau sampaikan, yaitu:

Pertama, kita harus belajar pada Mesir yang pernah menyelenggarakan pemilu dengan cara demokratis tetapi harganya sangat mahal bagi Islam moderat. Pemilu di Mesir yang dianggap demokratis memang menghasilkan pimpinan baru, Presiden Mursi yang berlatar belakang sebagai pimpinan Ikhwanul Muslimin. Dia adalah penganut Islam radikal yang selama ini sudah malang melintang untuk melakukan gerakan-gerakan dalam rangka  menjadikan Mesir sebagai Negara Islam yang sesuai dengan faham Islam yang radikal.

Sebagai strategi untuk mempercepat perubahan ke arah tujuan Islamisasi dalam paham yang diinginkan Mursi, maka pertama yang dilakukan adalah dengan mengganti terhadap kepemimpinan Universitas Al Azhar. Syaikhul Al Azhar yang pertama dilirik untuk diganti. Mursi paham betul akan pengaruh dan kekuatan Syaikhul Azhar ini. Dengan mengamputasi kekuatan Syaikhul Azhar dan menggantinya dengan orangnya, maka ke depan akan terjadi kemulusan untuk melakukan perubahan besar-besaran.

Menyadari akan hal ini, maka Syaikhul Azhar dan segenap pimpinan Universitas Al Azhar mendukung terhadap gerakan tentara yang tidak menginginkan Mesir menjadi Negara Islam yang didesain untuk menjadi pusat  radikalisme Islam. Pilihan untuk mengabaikan terhadap demokrasi ini tentu mendapat kecaman dari dunia. Akan tetapi kaum tentara yang didukung oleh elemen masyarakat yang tidak menghendaki Mesir jatuh ke tangan Islam radikal perlu diapresiasi. Apalah artinya demokrasi,  jika kemudian menyebabkan negara dan masyarakat tercabik-cabik akibat gerakan radikal yang sering menjatuhkan klaim kebenaran hanya untuk dirinya dan kelompoknya sendiri.

Saya memang teringat kala terjadi kudeta terhadap kepemimpinan Mursi ini, maka banyak elemen masyarakat, khususnya kaum radikalis yang memberitakan tentang kekejaman atau kekejian tentara di dalam mengambil alih kekuasaan. Waktu saya di Malaysia, maka banyak masjid yang menempelkan pamphlet agar masyarakat Islam mendoakan agar Mursi terus bertahan menjadi presiden. Dan masyarakat Islam mengecam terhadap tindakan kaum tentara yang mengkudeta pemerintah Mesir tersebut.

Kedua, pengaruh Islam radikal di Indonesia sudah luar biasa, bahkan ada seorang pembantu rumah tangga yang sudah berani menyalahkan pengamalan beragama majikannya. Kala majikannya datang (saya lupa namanya) dari bepergian, maka ketika datang disambut dengan ucapan bahwa keberagamaan majikannya tersebut salah semua. Dia menyatakan bahwa yang benar adalah sebagaimana beragama yang diajarkan oleh radio yang terkenal di Indonesia.

Ternyata bahwa media bisa menjadi sarana informasi yang sangat penting di dalam membangun paham Islam yang radikal. Banyaknya radio, televisi dan media-media sosial lain yang mengusung tema “radikalisme agama”, maka tentu akan besar sekali pengaruhnya terhadap islamisasi semacam ini. Jadi, sesungguhnya Indonesia ini sedang di dalam rebutan kelompok-kelompok Islam yang bercorak garis keras. Makanya, tidak salah jika terjadi pengambilalihan masjid dan juga madrasah oleh kelompok Islam radikal, karena didasari oleh strategi Islam yang dilakukan secara rapi.

Ketiga, dirasakan sudah saatnya pemerintah melakukn tindakan untuk melindungi terhadap Islam yang rahmatan lil alamin ini. Hanya Islam yang wasathan, yang moderat, yang tawazun, yang tasamuh dan yang berkah saja yang bisa menjadi pemersatu Indonesia yang sangat plural ini. Jika kita tidak ingin seperti negara-negara  Islam sebagaimana terjadi di Timur Tengah yang selalu tercabik-cabik, maka sudah saatnya kita melindungi warga Negara Indonesia secara maksimal.

Dirasakan sangat penting Pak Wapres untuk memberikan penjelasan kepada semua eleman bangsa, baik Islam moderat maupun Islam radikal agar menjaga Indonesia yang berbhinneka ini, sehingga nasibnya tidak akan sebagaimana contoh negara yang terpecah belah karena perbedaan yang terjadi di dalamnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (7)

AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (7)

Tinggal satu lagi acara yang harus saya tulis terkait dengan kunjungan ke Arab Saudi. Yaitu acara meeting dengan Konjen Jeddah, Bapak Dharma Kirti Syailendra, di Konjen Jeddah. Pertemuan ini dilakukan pada hari Selasa pagi (27/10/2015), jam 09.30-11.00 pagi WAS. Hadir pada acara ini, adalah, saya, Karo Umum, Syafrizal, Karo Ortala, Nur Arifin, Afrizal, Lukman, dan Farid. Kemudian dari Daker Jeddah, Pak Arsyad, Ketua PPIH, Ahmad Dumyati, kemudian dari ditjen PHU.

Pertemuan ini memang dirancang untuk mempertemukan saya dengan Konsuler Jenderal Jeddah dalam kerangka membicarakan hal-hal yang sengat mendasar untuk memperoleh pemahaman bersama. Harus diketahui bahwa penyelenggaraan ibadah haji memang dilakukan secara antar kementerian dan lembaga.

Tugas utama memang menjadi tupoksi Kementerian Agama, akan tetapi banyak kementerian lain yang terlibat, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator PMK, dan sebagainya. Kementerian lain tersebut tugasnya adalah supporting terhadap penyelenggaraan ibadah haji.

Ada tiga hal yang kami bicarakan dengan Pak Konsuler Jeddah. Pertama, adalah penilaian terhadap kerja penyelanggaraan Haji tahun 2015. Dalam pandangan Pak Konsul bahwa penyelenggaraan haji tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir. Berdasarkan pengamatan lapangan bahwa masalah-masalah yang menjadi problem di tahun 2014 nyaris sudah bisa diselesaikan. Catering, pemondokan dan transportasi sudah sangat baik. Nyaris tidak ada keluhan dari jamaah haji. Memang ada masalah sedikit tentang transportasi akan tetapi segera bisa diselesaikan.

Kedua, tentang jabatan-jabatan penyelenggara ibadah haji. Menurut pandangan saya, bahwa jabatan staf teknis penyelenggaraan haji tidak memadai dengan tanggungjwab, resiko dan pengelolaan uang yang besar. Pejabat non eselon, harus menjadi penanggungjawab program penyelenggaran haji, mengelola uang trilyunan rupiah dan juga resiko penyelenggaraan haji yang sangat tinggi. Sementara itu, jabatan staf teknis hanyalah jabatan fungsional yang tidak memiliki kemampuan daya tawar apapun kepada Kementerian Haji di Arab Saudi. Oleh karena itu penting kiranya untuk ditingkatkan staf teknis penyelenggaraan haji tersebut sekurang-kurangnya menjadi pejabat eselon tiga.

Namun demikian, keinginan ini tentu harus dikomunikasikan dengan Kementerian Luar Negeri, sebab ada regulasi yang memang menjadi otoritas Kemenlu untuk menentukan dan mengangkat dalam jabatan untuk kepentingan negara di luar negeri. Oleh karena pejabat baik structural maupun fungsional adalah kewenangan Kemenlu, maka kementerian teknis hanya menjadi pengguna saja bukan penentu. Termasuk di dalamnya juga terkait dengan sistem penggajian. Di Kemenlu, bahwa untuk jabatan yang diperbantukan atau dipekerjakan, maka yang dibayar oleh Kemenlu hanyalah tunjangan kehidupan di luar negeri, sedangkan gaji dan tunjangan lain, misalnya tunjangan kinerja dibayarkan oleh instansi teknis. Jadi kalau ada pejabat Kemenag yang kemudian ditugaskan di Daker atau PPIH, maka yang dibayarkan oleh Kemenlu hanyalah tunjangan kehidupan di luar negeri, sementara gaji dan tunjangannya dibayarkan oleh Kemenag.

Oleh karena itu, jika ingin memperbaiki terhadap struktur penggajian dan tunjangan bagi PNS Kemenag yang ditugaskan atau dipekerjakan di Kemenlu, maka yang harus menentukan adalah kemenang sendiri. Untuk pembiayaan di luar negeri Kemenlu sudah memiliki standart yang sangat baku. Di masa lalu, biaya pendidikan anak-anak masih bisa dibiayai oleh kemenlu, akan tetapi semenjak menjadi temuan BPK, maka pembiayaan anak sudah tidak lagi di tanggung oleh Kemenlu.

Oleh karena itu diperlukan analisis jabatan yang rinci mengenai jabatan-jabatan yang diotoritaskan kepada PNS kemenag agar yang bersangkutan dapat memiliki kesepadanan tanggungjawab, besarnya kewenangan dan anggaran yang mencapai trilyunan rupiah. Kiranya memang diperlukan kebersamaan untuk menggagas tentang problem mendasar ini.

Ketiga, pembahasan tentang lelang khusus di Arab Saudi. Beliau sangat mengapresiasi jika ada Perpres Khusus tentang Pengadaan Barang dan jasa di Arab Saudi untuk kepentingan haji. Berdasarkan pengalamannya bahwa melakukan pengadaan barang dan Jasa di Arab Saudi sangat berbeda dengan di Indonesia. Kita yang membutuhkan barangnya dan bukan mereka yang membutuhkan uang kita. Berbeda dengan pengadaan barang di Indonesia, yang mereka butuh uang kita. Jadi pada berebut.

Di Arab Saudi yang menentukan adalah negosiasi, sehingga kalau negosiasi kita berhasil, maka akan bisa didapatkan rumah, catering atau transportasi yang baik, tetapi jika kita gagal, maka dapat dipastikan kebalikannya. Misalnya penentuan tariff perorang/jamaah untuk pemondokan di Mekkah sudah ditentukan 600 real, padahal harga standart yang terjadi saat lelang/sewa adalah 850 real. Maka dengan angka 600 real pastilah kita akan dapatkan sewa hotel klas melati, bukan bintang tiga atau empat. Jika kemudian tidak dilakukan revisi atau pengalihan dari yang lain untuk kepentingan mengejar angka standart ini, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan pemondokan akan tercoreng.

Tentang standart biaya makan juga sangat problematic. Jika misalnya kita menggunakan angka patokan sekali makan 6 real memang ada. Yaitu makanan orang Timur Tengah, yang terdiri dari ayam dan nasi Arab. Pertanyaannya, apakah orang Indonesia akan diberi makanan berjenis itu terus menerus. Pasti mereka akan complain. Makanan untuk corak makanan orang Indonesia, dengan cita rasa yang variatif hanya akan dipenuhi jika perorang ditentukan sebesar 12 real. Jadi, mesti harus dibaca juga tentang kekhususan corak makanan orang Indonesia. Jadi kalau harga makanan perorang sebesar 12 real, maka hal tersebut bukan mark up, akan tetapi itulah realitas makanan di Arab Saudi.

Pertemuan ini saya rasa penting untuk mendengarkan pengalaman orang yang telah lama menjadi konsuler di Arab Saudi. Dengan sharing pengalaman seperti ini, maka diharapkan bahwa akan terjadi pemahaman yang sama tentang bagaimana memberikan pelayanan yang memuaskan pada jamaah haji kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.