• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

Pertumbuhan perekonomian  Indonesia memang mengalami perlambatan dibanding dengan perkiraan sebelumnya. Pada tahun 2015 diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6 persen lebih, mengingat optimisme pasar pasca pemilu dan keterpilihan pemimpin baru nasional yang terjadi dengan sangat demokratis.

Namun demikian, badai perkonomian dunia yang terjadi di awal tahun 2015 harus memaksa pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah angka 6 persen. Tepatnya dipatok 5,2 persen, meskipun secara riil, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada angka 4,8 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini tentu disebabkan oleh banyak factor dan di antara yang sangat krusial adalah perkembangan nilai dollar Amerika yang bergerak tidak terkendali, sehingga menyebabkan dunia perdagangan internasional mengalami perlambatan. Hal ini disebabkan banyak pembayaran hutang yang harus dilakukan dalam bentuk dollar Amerika, sehingga nilai pembayarannya lebih mahal.

RAPBN yang tertuang di dalam Pagu Sementara memang dipatok berdasarkan prakiraan pendapatan nasional yang tinggi, sehingga berimplikasi terhadap rencana anggarannya. Kementerian Agama di dalam Pagu Sementara APBN tahun 2016 sebesar Rp61,3 T. Akan tetapi ternyata hanya menerima APBN di dalam Pagu Definitif sebesar Rp57,1 T. Tentang pagu definitive yang semakin menurun ini juga berimplikasi terhadap semakin berkurangnya kuantitas dan kualitas program yang seharusnya dilakukan percepatan.

Di tengah pemotongan anggaran pendidikan Rp3,49 T., maka juga dilakukan penundaan program non kependidikan. Artinya ada program fungsi pelayanan umum dan fungsi keagamaan yang harus ditunda pelaksanaannya pada tahun 2016. Jumlahnya pun cukup banyak yaitu Rp3,6 T. Sebuah angka yang cukup besar bagi Kemenag yang memiliki satker terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 4.484 satker. Jika dibandingkan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang satker pendidikannya sudah diotonomikan, maka jumlah anggaran Kemenag tentu tidaklah berimbang. Di Kemendikbud, selain ada anggaran pusat, juga ada anggaran yang ditransfer ke daerah dalam jumlah yang sangat besar.

Anggaran yang makin cekak ini tentu berakibat terhadap beberapa fungsi keagamaan menjadi tersendat pelaksanaannya. Misalnya, anggaran untuk membayar para penyuluh agama non PNS, yang hanya Rp300.000,- perbulan tentu sangat tidak menghargai karya mereka di dalam penyuluhan beragama. Selain juga tidak mampu lagi untuk mengangkat tenaga penyuluh agama yang memang sangat kurang. Bisa dibayangkan dengan jumlah penganut Islam sebesar 207.176.162  jiwa dan hanya dilayani oleh 5.407 penyuluh agama. Demikian pula dengan penyuluh agama lain.

Yang tidak kalah pentingnya adalah penyelesaian pembangunan kantor Kemenag Kabupaten/Kota dan  KUA di daerah pemekaran yang juga terhalang dengan pengurangan anggaran ini. Sebagaimana diketahui bahwa semenjak Orde Reformasi banyak terjadi penambahan kabupaten/kota dan bahkan provinsi. Yang terakhir adalah Provinsi Kalimantan Utara. Melalui penambahan jumlah provinsi dan kabupaten/kota  tentu juga berimplikasi kurangnya kantor layanan Kemenag.  Padahal keberadaan kantor pelayanan ini menjadi sangat urgen di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas layanan Kemenag pada masyarakat.

Kemenag sudah memprogramkan bahwa seluruh KUA dan Kantor Kemenag Kab/kota harus selesai tahun 2019, sehingga dengan pengurangan anggaran ini akan dipastikan bahwa penyelesaian pembangunan KUA dan Kankemenag akan mengalami perlambatan.

Yang tidak kalah serius juga tentang pembayaran tunjangan profesi non-PNS yang seharusnya dibayarkan tahun depan. Sebagaimana diketahui bahwa Kemenag memiliki tanggungan hutang TPG non-PNS sebesar kira-kira Rp2,3 T., yang tahun ini baru akan dibayarkan sejumlah kira-kira Rp700 Milyar. Dengan pengurangan ini, maka peluang untuk membayar TPG non-PNS juga akan menjadi sulit untuk dipenuhi.

Kemudian juga peningkatan kualitas aparatur pemerintah. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN, bahwa kualitas PNS harus ditingkatkan secara kualitatif dan kuantitatif. Kemenag memiliki PNS baru sebesar 16.000 orang yang tentu diperlukan pelatihan-pelatihan terstruktur agar mereka menjadi Aparat Sipil Negara yang professional. Selain itu juga diperlukan peningkatan kualitas ASN lama yang memang diperlukan pendidikan dan palatihan yang memadai. Problem PNS kita yang distribusinya kurang bagus tentu diperlukan upaya untuk redistribusi yang memadai. Salah satu di antaranya adalah dengan merotasi mereka ke dalam jabatan lain melalui assessment yang memadai.

Dan yang sangat serius terkendala adalah program penguatan pendidikan tinggi agama. Dengan jumlah PTKIN sebanyak 56 buah dan PTKIS sebanyak 630 buah, maka Kemenag hanya menganggarkan pengembangan sarpras pendidikan sebesar kurang dari Rp600 Milyar. Bandingkan dengan Kemenristekdikti dengan anggaran sebesar Rp40,6 T. tentu tidak seimbang dalam konteks pengembangan kualitas sarpras dan mutu pendidikan tinggi. Di sisi lain, ada sejumlah STAIN berubah ke IAIN dan IAIN berubah ke UIN. Pastilah mereka membutuhkan tambahan sarpras untuk ruang kuliah sebagai akibat semakin banyaknya mahasiswa baru yang masuk ke dalamnya.

Masih banyak hal yang bisa diuraikan tentang pengurangan anggaran ini, tetapi satu kata kunci yang diperlukan terkait dengan politik anggaran adalah bagaimana menyeimbangkan anggaran pendidikan ke depan. Mungkinkah di tengah hadirnya UU No 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah masih menyisakan ruang agar lembaga pendidikan Islam swasta (Madrasah Swasta)  yang selama ini hanya menggantungkan asanya kepada Kemenag bisa dibantu oleh Pemda dalam konteks yang dibantu adalah fungsi pendidikannya dan bukan fungsi agamanya.

Bagi saya, yang didesentralisasi adalah fungsi agama sebab memang tidak elok dan tidak rasional jika fungsi agama didaerahkan. Akan tetapi fungsi pendidikan tentu bukan agama, sehingga fungsi pendidikan bisa dimasukkan ke dalam konteks dibantu pendanaannya oleh pemerintah daerah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA 2016 (1)

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA 2016 (1)

Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU-APBN) 2016 sudah disahkan menjadi Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU-APBN) oleh Pemerintah bersama DPR RI. Tahun 2016, total APBN sebesar Rp2.095,7 Trilyun dengan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp784,1 Trilyun.

Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan mengenai RUU-APBN ini dilakukan dalam waktu yang relatif panjang sebab memang ada beberapa perbedaan pendapat tentang APBN tahun 2016 tersebut. Seluruh Fraksi di DPR menerima dengan catatan tentang UU-APBN 2016. Anggaran Kemenag untuk tahun 2016 sebesar Rp57.120.500.963.000,- atau turun dibanding dengan Anggaran Kemenag tahun 2015 sebenar Rp60,1 T.

APBN tahun 2016 memang mengalami beberapa kali perubahan. Ada yang dipotong dan ada juga yang ditunda. Pemotongan terhadap APBN didasarkan atas kenyataan bahwa pendapatan negara tahun 2016 diperkirakan tidak akan dapat dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh ketidaktercapaian pendapatan dari sektor pajak. Pemerintah memang mematok pendapatan pajak sangat tinggi, akan tetapi seirama dengan adanya keinginan untuk kemudahan iklim investasi dan juga program pengampunan bagi penunggak  pajak, maka terdapat kecenderungan ketidaktercapaian pendapatan negara dari sector pajak ini.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga neraca perdagangan dengan luar negeri belum menguntungkan dan menambah devisa negara. Surplus hasil ekspor belum menjadi penyumbang signifikan bagi pendapatan negara. Selain itu juga krisis ekonomi yang menjadi penyebab lemahnya ekspor Indonesia ke negara lain. Akibat krisis ekonomi dunia juga menyebabkan terjadinya devaluasi nilai mata uang China yang ternyata juga berpengaruh terhadap ekonomi global.

Di dalam konteks ini, maka pagu sementara yang sudah ditetapkan oleh pemerintah lalu mengalami pengurangan. Pemotongan anggaran pemerintah kira-kira sebanyak Rp90 trilyun. Lalu beban pemotongan terhadap pendidikan sebesar kira-kira Rp23 Trilyun.  Dari pemotongan anggaran pendidikan ini, maka dampaknya adalah anggaran fungsi pendidikan di Kemenag terpotong sebesar Rp3,933 Trilyun.

Dari berbagai pembicaraan di Kemenko Perekonomian, maka akhirnya dicarikan peluang anggaran transfer daerah yang bisa untuk dikembalikan ke pusat. Akhirnya ditemukan anggaran sebesar Rp1,1 Trilyun. Angka ini lalu dibagi Rp500 Milyar untuk penambahan anggaran fungsi pendidikan di Kemenag dan Rp600 Milyar untuk penambahan anggaran fungsi pendidikan di Kemendikbud. Dengan demikian, pemotongan anggaran fungsi pendidikan di Kemenang sebesar Rp3,433 Trilyun.

Pemotongan anggaran fungsi pendidikan sebesar ini tentu sangat mengagetkan. Hal ini bertentangan dengan semangat untuk memberikan layanan yang baik bagi madrasah dan pendidikan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas madrasah memang harus ditingkatkan. Dan mengingat bahwa mayoritas madrasah tersebut adalah madrasah swasta, maka ketergantungan terhadap pemberian bantuan dari Kemenag tentu sangat tinggi. Melalui pemotongan sebesar ini, maka praksis bahwa RKP untuk rehabilitasi lembaga pendidikan dan penambahan ruang/kelas baru dan peningkatan sarana prasarana pendidikan madrasah pastilah tidak akan tercapai.

Yang sangat menyesal dengan pemotongan anggaran fungsi pendidikan sebesar ini adalah lembaga pendidikan tinggi. Bisa dibayangkan bahwa anggaran pengembangan sarana dan prasarana pendidikan tinggi di Kemenag hanya tersisa sebenar Rp600 Milyar. Tahun sebelumnya masih menyisakan angka Rp.800 Milyar. Pengembangan sarana dan prasarana ini mendapatkan pinjaman dari SBSN sebesar Rp400 Milyar.  Bandingkan dengan Pendidikan Tinggi di bawah Kemenristekdikti, yang anggarannya mencapai Rp.40,6 Trilyun.

Anggaran pendidikan di Kemenag, sesungguhnya baru mencapai angka 11 persen dari anggaran pendidikan pusat dan transfer daerah. Jumlah anggaran pendidikan keseluruhan adalah Rp420 Trilyun. Sementara anggaran fungsi pendidikan di Kemenag hanya sebesar Rp46,840 Trilyun. Bandingkan juga dengan anggaran pendidikan di Kemendikbud pusat sebesar Rp49,2 Trilyun dan anggaran transfer daerah untuk fungsi pendidikan sebesarRp240 Trilyun. Dengan demikian terjadi ketidakproporsionalitasan anggaran dimaksud.

Sebenarnya di dalam banyak kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI, bahwa anggaran fungsi pendidikan pada Kemenag ini sungguh tidak mencerminkan asas proporsionalitas anggaran. Seharusnya angka persentase anggaran fungsi pendidikan untuk Kemenag adalah sekurang-kurangnya 15 persen, sehingga pengembangan sarana prasarana pendidikan yang selama ini dikeluhkan sangat rendah akan bisa diselesaikan. Sayangnya bahwa hasil RDP tentang membangun proporsi penganggaran fungsi pendidikan tersebut kurang greget dan gaungnya.

Kita sesungguhnya sama-sama dituntut untuk meningkatkan pelayanan pendidikan melalui program perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Kita juga dituntut untuk meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan. Akan tetapi perlakuan anggaran kita yang sungguh belum berkeadilan akan menyebabkan keterlambatan peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan.

Jika proporsi anggaran fungsi pendidikan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi keadilan dan pemerataan sasaran, maka saya percaya bahwa peningkatan kualitas pendidikan kita akan makin baik.

Jadi, sesungguhnya yang tidak berpihak kepada kualitas pendidikan itu adalah kita semua yang tidak kunjung memiliki kesadaran tentang bagaimana meningkatkan anggaran pendidikan berbasis pada sasaran program pendidikan kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (3)

MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (3)

Sesungguhnya keinginan untuk menyelesaikan persoalan Syiah di Sampang ini sudah menjadi tekad semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jawa Timur juga sudah sangat maksimal. Berbagai macam pertemuan dan forum sudah dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalah ini.

Pada tahun 2013, Kementerian Agama bekerjasama dengan Pemda Jawa Timur dan Kemenpera sudah pernah mencoba penyelesaian masalah Syiah ini. Di antara solusi yang dijadikan sebagai dasar adalah merelokasi para Jamaah Syiah dari Rusun Jemundo ke Asrama Haji Sukolilo. Mereka akan dikembalikan ke lokasi, setelah melalui proses pendadaran akidah melalui kyai-kyai yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pada tahap awal, kesepakatan ini tampaknya akan menemui pintu keluar. Pemerintah menfasilitasi pemulangannya, kementerian Agama menguspayakan perubahan akidahnya dan Kemenpera menyediakan rumah bagi yang rumahnya rusah atau terbakar. Berdasarkan kesepakatan, tanggal 10 Nopember 2013 itu, maka jamaah Syiah akan dipindahkan ke Asrama Haji. Transportasi sudah disiapkan, tim pemindahan juga sudah tidak ada masalah. Pagi hari, rasanya pemindahan itu akan bisa terlaksana.

Namun demikian, pada siang harinya, para jamaah Syiah menolak untuk pindah lokasi jika tidak semuanya dipindahkan. Akhirnya, pemindahan pun tidak bisa dilakukan karena mereka tidak mau untuk direlokasi ke tempat yang baru kecuali seluruhnya dipindahkan. Gagallah rencana yang sebenarnya sudah sangat matang tersebut.

Semenjak saat itu, maka keinginan untuk merelokasi selalu menemui jalan buntu. Para jamaah Syiah berprinsip bahwa kalau mereka dipulangkan maka harus langsung ke rumahnya masing-masing tanpa syarat apapun. Tidak ada syarat taubat atau apapun. Jika satu pulang,  maka semua harus dipulangkan.

Negosiasi pun terus dilakukan untuk membuka jalan rekonsiliasi. Akan tetapi, tidak satupun jalan yang memperoleh kesepahaman. Akhirnya, pemerintah pun mengupayakan agar mereka diberikan pelatihan kerja bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) di Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan pemerintah daerah juga bekerjasama dengan perusahan-perusahaan di Jawa Timur agar menrima kaum Syiah untuk bekerja di perusahaannya pasca pelatihan di BLK. Kegiatan ini pun tidak direspon dengan memadai.

Dari sisi ekonomi, kaum pengungsi ini telah menikmati kehidupan yang sukup memadai. Melalui skema jaminan hidup (jadup) sebesar Rp709.000,- perbulan per jiwa, maka mereka telah dapat hidup dengan layak. Mereka juga memiliki tempat hidup yang memadai di Rusun. Artinya, bahwa dibanding dengan kehidupan sebelumnya di Sampang tentu jauh berbeda. Mereka juga sudah memiliki sepeda motor dan alat-alat komunikasi yang memadai. Jika sebelumnya tidak ada di antara mereka yang menggunakan gadget, maka sekarang hal itu bukanlah hal baru. Problem kenyamanan dan perlindungan inilah yang kiranya juga membuat mereka makin menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah.

Berdasarkan rapat di Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah Kerukunan Umat Beragama (02/11/2015) ini, maka ada beberapa hal yang kiranya dapat dipertimbangkan, yaitu: pertama,  perlunya kesamaan langkah antara Pemerintah pusat dan daerah di dalam menyelesaikan masalah Syiah ini. Kesan yang dapat ditangkap hingga akhir-akhir ini bawa pemerintah pusat dan daerah saling bekerja sendiri-sendiri. Setiap kementerian/lembaga memiliki agendanya sendiri sehingga menyulitkan proses penyelesaian masalahnya.

Berdasarkan usulan Kepala Bakesbang Sampang, bahwa perlu koordinasi antara pusat dan daerah di dalam kerngka penyelesaian masalah Syiah ini. Pemerintah daerah sudah melakukan semuanya untuk penyelesaian ini. Upaya sudah dilakukan dengan menggunakan pendekatan lokalitas, kearifan local, memahami tradisi mereka dan sebagainya, akan tetapi hingga hari ini belum menghasilkan perubahan yang signifikan.

Kedua, menyatukan langkah kongkrit untuk menyelesaikan masalahnya. Sudah terlalu banyak kunjungan, temu wicara, meeting dan sebagainya, namun demikian hanya menghasilkan rumusan-rumusan yang kurang jitu untuk penyelesaian problem utamanya.

Oleh karena itu, kunjungan-kunjungan pejabat pusat ke daerah ini kiranya sudah tidak signifikan lagi untuk menjadi solusi bagi penyelesaian masalah. Yang diperlukan adalah langkah kongkrit dalam bentuk kebersamaan apa yang bisa dilakukan.

Jadi, memang harus ada koordinasi yang memadai untuk menyelesaikan masalah kerukunan intern umat beragama ini. Masih perlu waktu yang cukup untuk menguji alternative pemecahan masalah yang diperlukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (2)

MENYELESAIKAN MASALAH  UMAT BERAGAMA (2)

Pasca kerusuhan antara penganut Syiah dengan masyarakat Islam di Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang dan Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, maka pada tanggal 26 Agustus 2012, mereka diungsikan di GOR Sampang. Kondisi mereka di pengungsian tentu sangatlah tidak layak, sebab mereka ditempatkan dalam satu ruang besar, sehingga tidak ada lagi pembatas antara lelaki dan perempuan, serta anak-anak. Mereka bertempat di GOR Sampang selama Sembilan bulan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa GOR tentu adalah ruang terbuka yang biasa digunakan untuk kepentingan olahraga, sehingga didesain sebagai tempat yang terbuka luas. Karena tuntutan ketidaklayakan GOR sebagai tempat tinggal, maka Pemda Jawa Timur akhirnya menempatkan kaum pengungsi ini di Rumah Susun Jemundo Bungurasih Sidoarjo. Rusun ini semula akan disewakan untuk para pedagang di Pasar Grosir Jemundo. Mereka pindah ke Rusun Jemundo tanggal 20 Juni 2013.

Keadaan di Rusun Jemundo tentu lebih baik. Bangunan yang didirikan atas  kerjasama antara Menpera atau PU dengan Pemerintah Jawa Timur ini memang didesaian untuk tempat hunian, sehingga sangat layak untuk tempat tinggal. Jumlah mereka pada tahap awal menempati Rusun Jemundo adalah 234 jiwa dan pada Bulan September 2015 jumlah pengungsi sebanyak 320 Jiwa.

Mereka ini mendapatkan jaminan dan fasilitiasi yang berupa: rusunawa layak huni, jaminan hidup, hak pendidikan anak, hak rekreatif, hak politik dan hak mendapatkan pekerjaan. Jaminan hidup (jadup) berupa santunan kehidupan dari Pemerintah Jawa Timur senilai Rp709.000,- setiap bulan per jiwa. Semula uang ini dipotong dengan biaya makan setiap hari dan sisanya yang diberikan kepadanya. Akan tetapi lama kelamaan mereka meminta seluruh uang tersebut dan akan memasak sendiri sesuai dengan seleranya. Mereka berpikir bahwa dengan memasak sendiri,  maka akan lebih irit dan bisa menabung atau untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Jika dikalkulasi,  ketika  di dalam KK tersebut terdapat sebanyak 10 jiwa, maka bisa setiap bulan mereka akan mendapatkan uang sebesar Rp7.090.000,- Jumlah uang yang cukup besar bagi sebuah keluarga yang semula adalah para petani gurem atau para buruh tani. Keadaan ekonomi mereka tentu semakin membaik dengan uluran tangan pemda ini.

Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan dari LSM yang bergerak di bidang pengungsi. Bahkan juga mendapatkan pengajian-pengajian dan pendampingan dari pimpinan Syiah Jawa Timur. Ada Ahlu Bait Indonesia (ABI) dan juga Ikatan Jemaah Ahlu Bait Indonesia (IJABI). Sejauh ini yang sering datang adalah pimpinan ABI yang berpusat di Bangil.

Kementerian Agama juga menyediakan tim khusus untuk pendampingan keagamaan mereka yang terdiri dari para penyuluh dengan kemampuan Bahasa Madura yang baik. Namun demikian, mereka hanya diperkenankan untuk mengajar baca tulis al Qur’an.

Kehadiran LSM, misalnya Yayasan dan Lembaga  Bantuan Hukum Universalia (YLBHU)  yang bergerak di bidang pendampaingan kaum pengungsi juga memberikan penyadaran yang luar biasa terhadap para pengungsi mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akibatnya mereka makin menyadari terhadap posisinya sebagai warga negara yang terus terpinggirkan. Makin besar kesadaran mereka terhadap hak sebagai warga negara, maka makin besar tuntutannya agar mereka segera dikembalikan ke rumah mereka masing-masing.

Menurut pengamatan saya, bahwa semakin lama mereka menghuni Rusun Jemundo, maka akan semakin besar perasaan identitas mereka, sehingga batas otonomi atas keyakinan dan pengamalan beragama dan prilaku sosialnya juga  makin menguat. Dengan kata lain, bahwa kesyiahannya menjadi semakin mengental. Jika di masa lalu, ada  di antara mereka yang hanya ikut-ikutan saja, sebab ada di antara keluarganya yang menjadi anggota Syiah, maka sekarang semuanya makin merasakan kebersatuan dan kesamaan. Mereka merasa sebagai warga negara yang Islam Syiah dan terpinggirkan dari percaturan kemerdekaan bangsanya.

Sementara itu, warga Sampang juga semakin  kental anti Syiahnya. Para Kyai di Sampang yang terusik dengan pidato-pidato Tajul Muluk juga makin antipati terhadap kaum Syiah. Dalam contoh di mana mereka menolak terhadap jenazah warga Syiah yang meinggal di Rusun Jemundo untuk dimakamkan di Sampang adalah contoh riil tentang bagaimana warga Sampang menolak keras terhadap kembalinya warga Syiah ini.

Jika orang yang meninggal saja ditolak untuk dikembalikan ke pangkuan bumi daerahnya apalagi yang masih hidup. Dengan ilustrasi ini tentu menggambarkan bahwa penyelesaian agar mereka dikembalikan ke tanah leluhurnya adalah sesuatu yang mustahil. Jadi memang rumit sekali menyelesaikan masalah relasi intern umat beragama ini, Syiah dan Sunni.

Persyaratan yang dipatok oleh Kaum Sunni Sampang juga sangat tegas. Jika mereka akan kembali ke Sampang,  maka mereka harus taubatan nasuha. Artinya, mereka kembali ke dalam pangkuan Islam Sunni sebagaimana ajaran yang diamalkan orang Sampang. Tidak ada tawaran lain. Sementara itu, kaum Syiah di Rusun Jemundo merasakan dirinya tidak kafir, sehingga untuk apa melakukan taubatan nasuha.

Bagi mereka, taubat hanya diperlakukan terhadap orang yang menyalahi ajaran agamanya. Sedangkan menjadi Syiah bukan sebagai kesalahan beragama. Tidak ada kata taubat bagi kaum Syiah yang terusir dari tanah leluhurnya. Mereka meminta supaya bisa kembali tanpa syarat apapun.

Melihat kenyataan ini, maka memang masih membutuhkan waktu untuk saling menyadarkan mereka, baik yang Syiah maupun yang Sunni agar mereka memahami bahwa persoalan mereka tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah terkecuali mereka sendiri juga berupaya untuk menyelesaikan persoalannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (1)

MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (1)

Kementerian Agama (Kemenag) telah memiliki sejumlah forum yang terkait dengan pembangunan kerukunan umat beragama. Di antara forum tersebut adalah “Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah-masalah Kerukunan Umat Beragama” dengan keanggotaan lintas kementerian dan lembaga. Di antara keanggotaannya adalah BIN, Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemendagri, Kemendikbud, Kemenkumham, Kemenkominfo, Kejaksaaan, Kehakiman, Kepolisian, Kementerian Agama, BNPT dan sebagainya.

Sudah beberapa kali tim ini melakukan pertemuan, dan dalam dua pertemuan terakhir Forum  membicarakan tentang Syiah di Jawa Timur. Pada pertemuan tanggal 16 Oktober 2015, Forum mendatangkan tim Jawa Timur yang terdiri dari Asisten tiga, Pak Shofwan, Bakesbang Jawa Timur, Bakesbang Sampang, Kakanwil Jawa Timur dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya serta anggota Tim lainnya.

Hasil pertemuan dengan Tim Jawa Timur tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan pembicaraan dengan Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah-Masalah Kerukunan Umat Beragama, tanggal 2 Nopember 2015 yang lalu. Pembahasan tentang penyelesaian Syiah ini dirasakan penting mengingat bahwa persoalan ini telah lama berlangsung dan juga menjadi masalah tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional, bahkan internasional.

Bagi sebuah negara dengan masyarakatnya yang plural dan multikultural seperti di Indonesia memang selalu memiliki potensi untuk berkontestasi. Baik yang terkait dengan kontestasi sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA).

Di antara sekian banyak faktor pengungkit, misalnya sosial, budaya, politik dan lainnya, maka faktor agamalah yang paling rumit untuk menyelesaikannya. Meskipun tidak selalu menjadi faktor pengungkit pada tahap awal, akan tetapi sering justru digunakan sebagai penguat terhadap kontestasi tersebut.

Akhir-akhir ini, di Indonesia sering terjadi kontestasi dalam wujud yang lebih keras, yaitu kerusuhan yang dipicu oleh faktor sarana prasarana keagamaan. Kasus Tolikara, baru saja dapat diselesaikan dengan perdamaian di antara warga Kristen dan Islam, lalu kemudian muncul di Singkil Aceh dalam bentuk kerusuhan antara penganut Kristen dan Islam yang dipicu oleh pendirian tempat atau rumah ibadah.

Belum lagi memperoleh penyelesaian yang memadai terkait dengan kasus Singkil, maka juga kemudian di Manokwari muncul serangkaian unjuk rasa menolak pembangunan masjid yang belum memperoleh izin. Masjid ini diminta oleh warga setempat agar tidak diteruskan.

Dinamika konfliktual yang terjadi, sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan masyarakat majemuk yang memiliki perbedaan dalam banyak hal dan masing-masing memiliki egoisme-teologis yang tidak mudah untuk diperdamaikan. Mereka sama-sama beranggapan bahwa pandangannya saja yang benar dan sementara itu pandangan yang lain salah.

Yang tidak kalah kesulitannya adalah menyelesaikan konflik interen umat beragama. Bahkan dalam pandangan saya, jika konflik antar umat beragama itu jelas batas-batasnya, karena ajaran teologi dan ritual serta lainnya yang sungguh sangat berbeda, namun dalam konflik interen umat beragama terkadang batas-batasnya kabur dan tidak jelas. Misalnya tentang Syiah yang dalam arus kesamaan.

Kecuali Syiah yang menyimpang, misalnya Syiah Rafidhah dan lain-lain yang jelas-jelas menyimpang dari prinsip ajaran Islam, maka Syiah Itsna Asya’ariyah atau Syiah Zaidiyah tentu memiliki kesamaan dalam ajaran Islam. Ajaran teologi dan ibadahnya sama, terkecuali cabang-cabang ibadah yang bisa berbeda. Yang membedakan adalah pandangan tentang ajaran imamah atau kepemimpinan di dalam Islam. Mereka hanya mengakui kepemimpinan atau kekhalifahan Sayyidina Ali.

Dari konteks pengakuan imamah hanya kepada Sayyidina Ali inilah sesungguhnya masalah-masalah terus bergulir. Ada yang ekstrim melakukan cacian kepada Sahabat-sahabat Nabi lainnya, yang dianggap melakukan tindakan penyerobotan otoritas imamah yang seharusnya kepada Sayyidina Ali, dan ada yang sekedar menjadikannya sebagai  bahan diskusi di ruang-ruang tertutup.

Di antara yang melakukan ekstrimitas anggapan keras  dan menyampaikannya di ruang-ruang publik adalah Tajul Muluk, tokoh Syiah di Sampang Madura. Melalui pengajian-pengajian yang dilakukannya dengan pengeras suara, maka dia sampaikan tentang cacian kepada Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang telah merampas kekhalifahan Sayyidina Ali. Dari ruang begini, maka kemudian menyebabkan tindakan antipati dari tokoh-tokoh Islam non Syiah, karena dianggap sebagai penodaan terhadap Sahabat Nabi Muhammad saw. Nama Sayyidina Abubakar, Umar dan Ustman adalah tokoh-tokoh sahabat Nabi Muhammad saw yang dihormati di kalangan kaum Sunni.

Meskipun banyak analisis yang menyatakan bahwa pertikaian ini dimulai dengan pertikaian keluarga, antara Rois dan Tajul Muluk, tetapi tetap saja akhirnya menyeret pada dimensi ajaran Syiah yang dikembangkan oleh   Tajul Muluk. Pertikaian yang semula berawal dari masalah perempuan dan warisan kemudian menjadi pertikaian komunal dan agama.

Ketika arus pertikaian tersebut telah memasuki ranah komunal dan agama, maka yang terlibat di dalamnya tentu lebih mendalam. Kala persoalan teologi dan ritual telah memasuki ruang konfliktual, maka konflik itu akan semakin keras. Makanya, penyelesaian masalah Syiah di Sampang juga tidak segera bisa dituntaskan.

Kiranya masih membutuhkan waktu dan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.