MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (2)
MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (2)
Pasca kerusuhan antara penganut Syiah dengan masyarakat Islam di Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang dan Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, maka pada tanggal 26 Agustus 2012, mereka diungsikan di GOR Sampang. Kondisi mereka di pengungsian tentu sangatlah tidak layak, sebab mereka ditempatkan dalam satu ruang besar, sehingga tidak ada lagi pembatas antara lelaki dan perempuan, serta anak-anak. Mereka bertempat di GOR Sampang selama Sembilan bulan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa GOR tentu adalah ruang terbuka yang biasa digunakan untuk kepentingan olahraga, sehingga didesain sebagai tempat yang terbuka luas. Karena tuntutan ketidaklayakan GOR sebagai tempat tinggal, maka Pemda Jawa Timur akhirnya menempatkan kaum pengungsi ini di Rumah Susun Jemundo Bungurasih Sidoarjo. Rusun ini semula akan disewakan untuk para pedagang di Pasar Grosir Jemundo. Mereka pindah ke Rusun Jemundo tanggal 20 Juni 2013.
Keadaan di Rusun Jemundo tentu lebih baik. Bangunan yang didirikan atas kerjasama antara Menpera atau PU dengan Pemerintah Jawa Timur ini memang didesaian untuk tempat hunian, sehingga sangat layak untuk tempat tinggal. Jumlah mereka pada tahap awal menempati Rusun Jemundo adalah 234 jiwa dan pada Bulan September 2015 jumlah pengungsi sebanyak 320 Jiwa.
Mereka ini mendapatkan jaminan dan fasilitiasi yang berupa: rusunawa layak huni, jaminan hidup, hak pendidikan anak, hak rekreatif, hak politik dan hak mendapatkan pekerjaan. Jaminan hidup (jadup) berupa santunan kehidupan dari Pemerintah Jawa Timur senilai Rp709.000,- setiap bulan per jiwa. Semula uang ini dipotong dengan biaya makan setiap hari dan sisanya yang diberikan kepadanya. Akan tetapi lama kelamaan mereka meminta seluruh uang tersebut dan akan memasak sendiri sesuai dengan seleranya. Mereka berpikir bahwa dengan memasak sendiri, maka akan lebih irit dan bisa menabung atau untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Jika dikalkulasi, ketika di dalam KK tersebut terdapat sebanyak 10 jiwa, maka bisa setiap bulan mereka akan mendapatkan uang sebesar Rp7.090.000,- Jumlah uang yang cukup besar bagi sebuah keluarga yang semula adalah para petani gurem atau para buruh tani. Keadaan ekonomi mereka tentu semakin membaik dengan uluran tangan pemda ini.
Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan dari LSM yang bergerak di bidang pengungsi. Bahkan juga mendapatkan pengajian-pengajian dan pendampingan dari pimpinan Syiah Jawa Timur. Ada Ahlu Bait Indonesia (ABI) dan juga Ikatan Jemaah Ahlu Bait Indonesia (IJABI). Sejauh ini yang sering datang adalah pimpinan ABI yang berpusat di Bangil.
Kementerian Agama juga menyediakan tim khusus untuk pendampingan keagamaan mereka yang terdiri dari para penyuluh dengan kemampuan Bahasa Madura yang baik. Namun demikian, mereka hanya diperkenankan untuk mengajar baca tulis al Qur’an.
Kehadiran LSM, misalnya Yayasan dan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) yang bergerak di bidang pendampaingan kaum pengungsi juga memberikan penyadaran yang luar biasa terhadap para pengungsi mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akibatnya mereka makin menyadari terhadap posisinya sebagai warga negara yang terus terpinggirkan. Makin besar kesadaran mereka terhadap hak sebagai warga negara, maka makin besar tuntutannya agar mereka segera dikembalikan ke rumah mereka masing-masing.
Menurut pengamatan saya, bahwa semakin lama mereka menghuni Rusun Jemundo, maka akan semakin besar perasaan identitas mereka, sehingga batas otonomi atas keyakinan dan pengamalan beragama dan prilaku sosialnya juga makin menguat. Dengan kata lain, bahwa kesyiahannya menjadi semakin mengental. Jika di masa lalu, ada di antara mereka yang hanya ikut-ikutan saja, sebab ada di antara keluarganya yang menjadi anggota Syiah, maka sekarang semuanya makin merasakan kebersatuan dan kesamaan. Mereka merasa sebagai warga negara yang Islam Syiah dan terpinggirkan dari percaturan kemerdekaan bangsanya.
Sementara itu, warga Sampang juga semakin kental anti Syiahnya. Para Kyai di Sampang yang terusik dengan pidato-pidato Tajul Muluk juga makin antipati terhadap kaum Syiah. Dalam contoh di mana mereka menolak terhadap jenazah warga Syiah yang meinggal di Rusun Jemundo untuk dimakamkan di Sampang adalah contoh riil tentang bagaimana warga Sampang menolak keras terhadap kembalinya warga Syiah ini.
Jika orang yang meninggal saja ditolak untuk dikembalikan ke pangkuan bumi daerahnya apalagi yang masih hidup. Dengan ilustrasi ini tentu menggambarkan bahwa penyelesaian agar mereka dikembalikan ke tanah leluhurnya adalah sesuatu yang mustahil. Jadi memang rumit sekali menyelesaikan masalah relasi intern umat beragama ini, Syiah dan Sunni.
Persyaratan yang dipatok oleh Kaum Sunni Sampang juga sangat tegas. Jika mereka akan kembali ke Sampang, maka mereka harus taubatan nasuha. Artinya, mereka kembali ke dalam pangkuan Islam Sunni sebagaimana ajaran yang diamalkan orang Sampang. Tidak ada tawaran lain. Sementara itu, kaum Syiah di Rusun Jemundo merasakan dirinya tidak kafir, sehingga untuk apa melakukan taubatan nasuha.
Bagi mereka, taubat hanya diperlakukan terhadap orang yang menyalahi ajaran agamanya. Sedangkan menjadi Syiah bukan sebagai kesalahan beragama. Tidak ada kata taubat bagi kaum Syiah yang terusir dari tanah leluhurnya. Mereka meminta supaya bisa kembali tanpa syarat apapun.
Melihat kenyataan ini, maka memang masih membutuhkan waktu untuk saling menyadarkan mereka, baik yang Syiah maupun yang Sunni agar mereka memahami bahwa persoalan mereka tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah terkecuali mereka sendiri juga berupaya untuk menyelesaikan persoalannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.