MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (1)
MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (1)
Kementerian Agama (Kemenag) telah memiliki sejumlah forum yang terkait dengan pembangunan kerukunan umat beragama. Di antara forum tersebut adalah “Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah-masalah Kerukunan Umat Beragama” dengan keanggotaan lintas kementerian dan lembaga. Di antara keanggotaannya adalah BIN, Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemendagri, Kemendikbud, Kemenkumham, Kemenkominfo, Kejaksaaan, Kehakiman, Kepolisian, Kementerian Agama, BNPT dan sebagainya.
Sudah beberapa kali tim ini melakukan pertemuan, dan dalam dua pertemuan terakhir Forum membicarakan tentang Syiah di Jawa Timur. Pada pertemuan tanggal 16 Oktober 2015, Forum mendatangkan tim Jawa Timur yang terdiri dari Asisten tiga, Pak Shofwan, Bakesbang Jawa Timur, Bakesbang Sampang, Kakanwil Jawa Timur dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya serta anggota Tim lainnya.
Hasil pertemuan dengan Tim Jawa Timur tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan pembicaraan dengan Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah-Masalah Kerukunan Umat Beragama, tanggal 2 Nopember 2015 yang lalu. Pembahasan tentang penyelesaian Syiah ini dirasakan penting mengingat bahwa persoalan ini telah lama berlangsung dan juga menjadi masalah tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional, bahkan internasional.
Bagi sebuah negara dengan masyarakatnya yang plural dan multikultural seperti di Indonesia memang selalu memiliki potensi untuk berkontestasi. Baik yang terkait dengan kontestasi sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA).
Di antara sekian banyak faktor pengungkit, misalnya sosial, budaya, politik dan lainnya, maka faktor agamalah yang paling rumit untuk menyelesaikannya. Meskipun tidak selalu menjadi faktor pengungkit pada tahap awal, akan tetapi sering justru digunakan sebagai penguat terhadap kontestasi tersebut.
Akhir-akhir ini, di Indonesia sering terjadi kontestasi dalam wujud yang lebih keras, yaitu kerusuhan yang dipicu oleh faktor sarana prasarana keagamaan. Kasus Tolikara, baru saja dapat diselesaikan dengan perdamaian di antara warga Kristen dan Islam, lalu kemudian muncul di Singkil Aceh dalam bentuk kerusuhan antara penganut Kristen dan Islam yang dipicu oleh pendirian tempat atau rumah ibadah.
Belum lagi memperoleh penyelesaian yang memadai terkait dengan kasus Singkil, maka juga kemudian di Manokwari muncul serangkaian unjuk rasa menolak pembangunan masjid yang belum memperoleh izin. Masjid ini diminta oleh warga setempat agar tidak diteruskan.
Dinamika konfliktual yang terjadi, sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan masyarakat majemuk yang memiliki perbedaan dalam banyak hal dan masing-masing memiliki egoisme-teologis yang tidak mudah untuk diperdamaikan. Mereka sama-sama beranggapan bahwa pandangannya saja yang benar dan sementara itu pandangan yang lain salah.
Yang tidak kalah kesulitannya adalah menyelesaikan konflik interen umat beragama. Bahkan dalam pandangan saya, jika konflik antar umat beragama itu jelas batas-batasnya, karena ajaran teologi dan ritual serta lainnya yang sungguh sangat berbeda, namun dalam konflik interen umat beragama terkadang batas-batasnya kabur dan tidak jelas. Misalnya tentang Syiah yang dalam arus kesamaan.
Kecuali Syiah yang menyimpang, misalnya Syiah Rafidhah dan lain-lain yang jelas-jelas menyimpang dari prinsip ajaran Islam, maka Syiah Itsna Asya’ariyah atau Syiah Zaidiyah tentu memiliki kesamaan dalam ajaran Islam. Ajaran teologi dan ibadahnya sama, terkecuali cabang-cabang ibadah yang bisa berbeda. Yang membedakan adalah pandangan tentang ajaran imamah atau kepemimpinan di dalam Islam. Mereka hanya mengakui kepemimpinan atau kekhalifahan Sayyidina Ali.
Dari konteks pengakuan imamah hanya kepada Sayyidina Ali inilah sesungguhnya masalah-masalah terus bergulir. Ada yang ekstrim melakukan cacian kepada Sahabat-sahabat Nabi lainnya, yang dianggap melakukan tindakan penyerobotan otoritas imamah yang seharusnya kepada Sayyidina Ali, dan ada yang sekedar menjadikannya sebagai bahan diskusi di ruang-ruang tertutup.
Di antara yang melakukan ekstrimitas anggapan keras dan menyampaikannya di ruang-ruang publik adalah Tajul Muluk, tokoh Syiah di Sampang Madura. Melalui pengajian-pengajian yang dilakukannya dengan pengeras suara, maka dia sampaikan tentang cacian kepada Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang telah merampas kekhalifahan Sayyidina Ali. Dari ruang begini, maka kemudian menyebabkan tindakan antipati dari tokoh-tokoh Islam non Syiah, karena dianggap sebagai penodaan terhadap Sahabat Nabi Muhammad saw. Nama Sayyidina Abubakar, Umar dan Ustman adalah tokoh-tokoh sahabat Nabi Muhammad saw yang dihormati di kalangan kaum Sunni.
Meskipun banyak analisis yang menyatakan bahwa pertikaian ini dimulai dengan pertikaian keluarga, antara Rois dan Tajul Muluk, tetapi tetap saja akhirnya menyeret pada dimensi ajaran Syiah yang dikembangkan oleh Tajul Muluk. Pertikaian yang semula berawal dari masalah perempuan dan warisan kemudian menjadi pertikaian komunal dan agama.
Ketika arus pertikaian tersebut telah memasuki ranah komunal dan agama, maka yang terlibat di dalamnya tentu lebih mendalam. Kala persoalan teologi dan ritual telah memasuki ruang konfliktual, maka konflik itu akan semakin keras. Makanya, penyelesaian masalah Syiah di Sampang juga tidak segera bisa dituntaskan.
Kiranya masih membutuhkan waktu dan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.