MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (3)
MENYELESAIKAN MASALAH UMAT BERAGAMA (3)
Sesungguhnya keinginan untuk menyelesaikan persoalan Syiah di Sampang ini sudah menjadi tekad semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jawa Timur juga sudah sangat maksimal. Berbagai macam pertemuan dan forum sudah dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalah ini.
Pada tahun 2013, Kementerian Agama bekerjasama dengan Pemda Jawa Timur dan Kemenpera sudah pernah mencoba penyelesaian masalah Syiah ini. Di antara solusi yang dijadikan sebagai dasar adalah merelokasi para Jamaah Syiah dari Rusun Jemundo ke Asrama Haji Sukolilo. Mereka akan dikembalikan ke lokasi, setelah melalui proses pendadaran akidah melalui kyai-kyai yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pada tahap awal, kesepakatan ini tampaknya akan menemui pintu keluar. Pemerintah menfasilitasi pemulangannya, kementerian Agama menguspayakan perubahan akidahnya dan Kemenpera menyediakan rumah bagi yang rumahnya rusah atau terbakar. Berdasarkan kesepakatan, tanggal 10 Nopember 2013 itu, maka jamaah Syiah akan dipindahkan ke Asrama Haji. Transportasi sudah disiapkan, tim pemindahan juga sudah tidak ada masalah. Pagi hari, rasanya pemindahan itu akan bisa terlaksana.
Namun demikian, pada siang harinya, para jamaah Syiah menolak untuk pindah lokasi jika tidak semuanya dipindahkan. Akhirnya, pemindahan pun tidak bisa dilakukan karena mereka tidak mau untuk direlokasi ke tempat yang baru kecuali seluruhnya dipindahkan. Gagallah rencana yang sebenarnya sudah sangat matang tersebut.
Semenjak saat itu, maka keinginan untuk merelokasi selalu menemui jalan buntu. Para jamaah Syiah berprinsip bahwa kalau mereka dipulangkan maka harus langsung ke rumahnya masing-masing tanpa syarat apapun. Tidak ada syarat taubat atau apapun. Jika satu pulang, maka semua harus dipulangkan.
Negosiasi pun terus dilakukan untuk membuka jalan rekonsiliasi. Akan tetapi, tidak satupun jalan yang memperoleh kesepahaman. Akhirnya, pemerintah pun mengupayakan agar mereka diberikan pelatihan kerja bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) di Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan pemerintah daerah juga bekerjasama dengan perusahan-perusahaan di Jawa Timur agar menrima kaum Syiah untuk bekerja di perusahaannya pasca pelatihan di BLK. Kegiatan ini pun tidak direspon dengan memadai.
Dari sisi ekonomi, kaum pengungsi ini telah menikmati kehidupan yang sukup memadai. Melalui skema jaminan hidup (jadup) sebesar Rp709.000,- perbulan per jiwa, maka mereka telah dapat hidup dengan layak. Mereka juga memiliki tempat hidup yang memadai di Rusun. Artinya, bahwa dibanding dengan kehidupan sebelumnya di Sampang tentu jauh berbeda. Mereka juga sudah memiliki sepeda motor dan alat-alat komunikasi yang memadai. Jika sebelumnya tidak ada di antara mereka yang menggunakan gadget, maka sekarang hal itu bukanlah hal baru. Problem kenyamanan dan perlindungan inilah yang kiranya juga membuat mereka makin menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah.
Berdasarkan rapat di Forum Koordinasi Penyelesaian Masalah Kerukunan Umat Beragama (02/11/2015) ini, maka ada beberapa hal yang kiranya dapat dipertimbangkan, yaitu: pertama, perlunya kesamaan langkah antara Pemerintah pusat dan daerah di dalam menyelesaikan masalah Syiah ini. Kesan yang dapat ditangkap hingga akhir-akhir ini bawa pemerintah pusat dan daerah saling bekerja sendiri-sendiri. Setiap kementerian/lembaga memiliki agendanya sendiri sehingga menyulitkan proses penyelesaian masalahnya.
Berdasarkan usulan Kepala Bakesbang Sampang, bahwa perlu koordinasi antara pusat dan daerah di dalam kerngka penyelesaian masalah Syiah ini. Pemerintah daerah sudah melakukan semuanya untuk penyelesaian ini. Upaya sudah dilakukan dengan menggunakan pendekatan lokalitas, kearifan local, memahami tradisi mereka dan sebagainya, akan tetapi hingga hari ini belum menghasilkan perubahan yang signifikan.
Kedua, menyatukan langkah kongkrit untuk menyelesaikan masalahnya. Sudah terlalu banyak kunjungan, temu wicara, meeting dan sebagainya, namun demikian hanya menghasilkan rumusan-rumusan yang kurang jitu untuk penyelesaian problem utamanya.
Oleh karena itu, kunjungan-kunjungan pejabat pusat ke daerah ini kiranya sudah tidak signifikan lagi untuk menjadi solusi bagi penyelesaian masalah. Yang diperlukan adalah langkah kongkrit dalam bentuk kebersamaan apa yang bisa dilakukan.
Jadi, memang harus ada koordinasi yang memadai untuk menyelesaikan masalah kerukunan intern umat beragama ini. Masih perlu waktu yang cukup untuk menguji alternative pemecahan masalah yang diperlukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.