• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

MENCERMATI ANGGARAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

Pertumbuhan perekonomian  Indonesia memang mengalami perlambatan dibanding dengan perkiraan sebelumnya. Pada tahun 2015 diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6 persen lebih, mengingat optimisme pasar pasca pemilu dan keterpilihan pemimpin baru nasional yang terjadi dengan sangat demokratis.

Namun demikian, badai perkonomian dunia yang terjadi di awal tahun 2015 harus memaksa pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah angka 6 persen. Tepatnya dipatok 5,2 persen, meskipun secara riil, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada angka 4,8 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini tentu disebabkan oleh banyak factor dan di antara yang sangat krusial adalah perkembangan nilai dollar Amerika yang bergerak tidak terkendali, sehingga menyebabkan dunia perdagangan internasional mengalami perlambatan. Hal ini disebabkan banyak pembayaran hutang yang harus dilakukan dalam bentuk dollar Amerika, sehingga nilai pembayarannya lebih mahal.

RAPBN yang tertuang di dalam Pagu Sementara memang dipatok berdasarkan prakiraan pendapatan nasional yang tinggi, sehingga berimplikasi terhadap rencana anggarannya. Kementerian Agama di dalam Pagu Sementara APBN tahun 2016 sebesar Rp61,3 T. Akan tetapi ternyata hanya menerima APBN di dalam Pagu Definitif sebesar Rp57,1 T. Tentang pagu definitive yang semakin menurun ini juga berimplikasi terhadap semakin berkurangnya kuantitas dan kualitas program yang seharusnya dilakukan percepatan.

Di tengah pemotongan anggaran pendidikan Rp3,49 T., maka juga dilakukan penundaan program non kependidikan. Artinya ada program fungsi pelayanan umum dan fungsi keagamaan yang harus ditunda pelaksanaannya pada tahun 2016. Jumlahnya pun cukup banyak yaitu Rp3,6 T. Sebuah angka yang cukup besar bagi Kemenag yang memiliki satker terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 4.484 satker. Jika dibandingkan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang satker pendidikannya sudah diotonomikan, maka jumlah anggaran Kemenag tentu tidaklah berimbang. Di Kemendikbud, selain ada anggaran pusat, juga ada anggaran yang ditransfer ke daerah dalam jumlah yang sangat besar.

Anggaran yang makin cekak ini tentu berakibat terhadap beberapa fungsi keagamaan menjadi tersendat pelaksanaannya. Misalnya, anggaran untuk membayar para penyuluh agama non PNS, yang hanya Rp300.000,- perbulan tentu sangat tidak menghargai karya mereka di dalam penyuluhan beragama. Selain juga tidak mampu lagi untuk mengangkat tenaga penyuluh agama yang memang sangat kurang. Bisa dibayangkan dengan jumlah penganut Islam sebesar 207.176.162  jiwa dan hanya dilayani oleh 5.407 penyuluh agama. Demikian pula dengan penyuluh agama lain.

Yang tidak kalah pentingnya adalah penyelesaian pembangunan kantor Kemenag Kabupaten/Kota dan  KUA di daerah pemekaran yang juga terhalang dengan pengurangan anggaran ini. Sebagaimana diketahui bahwa semenjak Orde Reformasi banyak terjadi penambahan kabupaten/kota dan bahkan provinsi. Yang terakhir adalah Provinsi Kalimantan Utara. Melalui penambahan jumlah provinsi dan kabupaten/kota  tentu juga berimplikasi kurangnya kantor layanan Kemenag.  Padahal keberadaan kantor pelayanan ini menjadi sangat urgen di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas layanan Kemenag pada masyarakat.

Kemenag sudah memprogramkan bahwa seluruh KUA dan Kantor Kemenag Kab/kota harus selesai tahun 2019, sehingga dengan pengurangan anggaran ini akan dipastikan bahwa penyelesaian pembangunan KUA dan Kankemenag akan mengalami perlambatan.

Yang tidak kalah serius juga tentang pembayaran tunjangan profesi non-PNS yang seharusnya dibayarkan tahun depan. Sebagaimana diketahui bahwa Kemenag memiliki tanggungan hutang TPG non-PNS sebesar kira-kira Rp2,3 T., yang tahun ini baru akan dibayarkan sejumlah kira-kira Rp700 Milyar. Dengan pengurangan ini, maka peluang untuk membayar TPG non-PNS juga akan menjadi sulit untuk dipenuhi.

Kemudian juga peningkatan kualitas aparatur pemerintah. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN, bahwa kualitas PNS harus ditingkatkan secara kualitatif dan kuantitatif. Kemenag memiliki PNS baru sebesar 16.000 orang yang tentu diperlukan pelatihan-pelatihan terstruktur agar mereka menjadi Aparat Sipil Negara yang professional. Selain itu juga diperlukan peningkatan kualitas ASN lama yang memang diperlukan pendidikan dan palatihan yang memadai. Problem PNS kita yang distribusinya kurang bagus tentu diperlukan upaya untuk redistribusi yang memadai. Salah satu di antaranya adalah dengan merotasi mereka ke dalam jabatan lain melalui assessment yang memadai.

Dan yang sangat serius terkendala adalah program penguatan pendidikan tinggi agama. Dengan jumlah PTKIN sebanyak 56 buah dan PTKIS sebanyak 630 buah, maka Kemenag hanya menganggarkan pengembangan sarpras pendidikan sebesar kurang dari Rp600 Milyar. Bandingkan dengan Kemenristekdikti dengan anggaran sebesar Rp40,6 T. tentu tidak seimbang dalam konteks pengembangan kualitas sarpras dan mutu pendidikan tinggi. Di sisi lain, ada sejumlah STAIN berubah ke IAIN dan IAIN berubah ke UIN. Pastilah mereka membutuhkan tambahan sarpras untuk ruang kuliah sebagai akibat semakin banyaknya mahasiswa baru yang masuk ke dalamnya.

Masih banyak hal yang bisa diuraikan tentang pengurangan anggaran ini, tetapi satu kata kunci yang diperlukan terkait dengan politik anggaran adalah bagaimana menyeimbangkan anggaran pendidikan ke depan. Mungkinkah di tengah hadirnya UU No 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah masih menyisakan ruang agar lembaga pendidikan Islam swasta (Madrasah Swasta)  yang selama ini hanya menggantungkan asanya kepada Kemenag bisa dibantu oleh Pemda dalam konteks yang dibantu adalah fungsi pendidikannya dan bukan fungsi agamanya.

Bagi saya, yang didesentralisasi adalah fungsi agama sebab memang tidak elok dan tidak rasional jika fungsi agama didaerahkan. Akan tetapi fungsi pendidikan tentu bukan agama, sehingga fungsi pendidikan bisa dimasukkan ke dalam konteks dibantu pendanaannya oleh pemerintah daerah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini