SEJUTA RUMAH UNTUK KARYAWAN
SEJUTA RUMAH UNTUK KARYAWAN
Salah satu di antara program “kerakyatan” Presiden Jokowi adalah membangun sejuta rumah untuk karyawan dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Program ini digulirkan untuk melengkapi program “kerakyatan” lainnya, yaitu pendidikan yang murah, merata tetapi bermutu dan program kesejahteraan untuk seluruh warga masyarakat Indonesia.
Memang harus diakui bahwa salah satu problem bagi warga masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan. Hampir di seluruh wilayah perkotaan akan selalu didapati “slum area” yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari problema bagi kota-kota di seluruh dunia.
Kebutuhan akan perumahan bagi warga menjadi issu yang sangat mendasar. Sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan dasar bagi warga masyarakat. Perumahan merupakan kebutuhan vital sebagaimana kebutuhan akan makanan dan pakaian.
Di dalam falsafah Jawa, bahwa ada tiga kebutuhan mendasar manusia yang harus dipenuhi yaitu: sandang, pangan dan papan. Setiap individu membutuhkan pakaian, makan dan rumah. Kebutuhan akan sandang merupakan yang sangat vital. Tubuh kita harus tertutup dengan pakaian. Kalau tidak tertutup, maka bisa saja kita dianggap sebagai orang “gila”. Hanya orang gila saja yang tidak menutup dirinya dengan pakaian. Tentu terkecuali bagi area dengan tradisi pakaian yang khusus.
Pakaian adalah sarana untuk menutup malu. Orang dianggap beradab jika tubuhnya tertutup oleh pakaian. Makanya, di dalam Petuah Para Wali diungkapkan “paringono klambi marang wong kang mudo”, artinya berikan pakaian kepada orang yang telanjang.
Lalu kebutuhan pangan. Makan adalah kebutuhan biologis untuk mempertahankan kehidupan. Seseorang akan bisa bertahan hidup jika yang bersangkutan bisa makan makanan yang bergizi. Oleh karena itu, kebutuhan makan merupakan kebutuhan fisikal yang sangat mendasar. Makanya, di dalam tradisi Jawa sebagaimana diungkapkan oleh para Wali, adalah “wenehono mangan marang wong kang keluwen” atau berikan makan kepada orang yang kelaparan.
Kemudian, kebutuhan tempat tinggal atau papan. Rumah adalah tempat berteduh, tempat untuk bertempat tinggal. Rumah merupakan kebutuhan untuk beristirahat dari kesibukan bekerja yang tiada henti. Dengan demikian rumah merupakan sarana yang sangat penting untuk kelanjutan kehidupan. Di kota-kota besar banyak kita jumpai kaum gelandangan yang “kabur kanginan” atau orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka ini adalah orang yang tidak beruntung di dalam pergulatan kehidupannya. Untuk kepentingan ini, maka pemerintah memprogramkan “Gerakan Sejuta Rumah” untuk masyarakat.
Di dalam mendukung terhadap gerakan perumahan untuk rakyat ini, maka Kementerian Agama telah melakukan kerjasama dengan Bank BTN. Kerjasama ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitasi rumah bagi karyawan berpenghasilan rendah untuk bisa mengakses kepemilikan rumah. MoU dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Nur Syam, MSI., dengan Direktur BTN, Onny Ferbriyarto. Hadir pada acara penandatangan MoU ini adalah seluruh pejabat eselon II Kemenag dan juga pimpinan cabang BTN di Jakarta. Acara dilakukan di Kantor Kemenag. RI., Jalan Lapangan Banteng, 3-4 Jakarta, pada tanggal 04 Nopember 2015. Acara penandatanganan PKS ini merupakan hasil inisiatif Biro Keuangan dan BMN Kementerian Agama.
Di dalam kesempatan ini, saya memberikan beberapa masukan terkait dengan program ini, yaitu: pertama, kemudahan akses bagi pelanggan. Bagi kaum berpendapatan rendah, maka berurusan dengan Bank tentu memiliki kendala tertentu. Misalnya adalah kendala jaminan pinjaman. Jika memang BTN ingin menggaet mereka sebagai nasabah untuk program perumahan rakyat, maka harus ada upaya agar mereka dengan mudah mengakses perbankan ini.
Kedua, keterjangkauan masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, maka keterjangkuan anggaran atau dana menjadi sangat urgen. Mereka tentu tidak memiliki sejumlah uang untuk menjadi uang muka atau down payment. Mereka tentu bisa diberikan kemudahan untuk membayar uang muka kredit tersebut. Termasuk keterjangkauan tempat perumahan tersebut. Keterjangkauan tidak dimaksudkan harus dekat dengan kantor, akan tetapi adalah kedekatan perumahan dengan sarana transportasi menuju ke kantor. Sebagai contoh, orang yang tinggal di Citayem Bogor akan lebih mudah aksesnya ke kantor dibanding mereka yang tinggal di Ciputat, sebab ketersediaan transportasi kereta api dari Bogor Ke Jakarta. Oleh karena itu, Bank BTN di dalam membangun perumahan juga mesti mempertimbangkan aspek keterjangkauan anggaran dan tempat ini.
Ketiga, kenyamanan dan keamanan. Rumah merupakan tempat tinggal, sehingga rumah harus memenuhi persyarakatan kenyamanan dan keamanan. Kenyamanan rumah tidak ada kaitannya dengan ukuran rumah itu. Bisa saja terjadi ukuran rumah kecil lebih nyaman ditempati dibanding dengan rumah yang besar. Ukurannya sangat relatif. Yang penting bahwa mereka memiliki rumah dengan ukuran yang relevan dengan kemampuan finansial yang dimilikinya.
Bagi kita bahwa kepemilikan rumah dapat menjadi variabel pengungkit peningkatan kinerja. Dengan memiliki rumah, maka tidak lagi seorang karyawan terus menerus memikirkan kapan pindah dan kapan memiliki rumah sendiri.
Melalui Penjanjian Kerjasama (PKS) antara Kementerian Agama dengan Bank BTN diharapkan akan dapat membantu para karyawan di dalam kerangka mewujudkan mimpinya memiliki rumah sebagai tempat tinggal permanen. Jika hal ini bisa dilakukan, maka saya yakin bahwa ke depan akan terjadi lompatan performance kinerja yang akan lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.