MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (1)
MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI ISLAM RAHMAT (1)
Ada yang sangat menarik dari perbincangan di Rumah Dinas Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla, Kamis, 29 Oktober 2015. Acara ini digelar di dalam kerangka membicarakan pendirian Universitas Islam Internasional (UII) atau yang juga disebut Graduate University of Islamic Studies (GUIS), dengan sejumlah tokoh dan menteri dari Kabinet Kerja Republik Indonesia.
Hadir di dalam acara ini adalah Wapres RI, Pak Jusuf Kalla, Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Ristekdikti, Pak Muhammad Nasir, Menteri PAN-RB, Pak Yuddi Chrisnandi, Wamenlu, Pak Muhammad Fachir, Seswapres, Mohammad Oemar, Sekjen Kemenag. RI, Prof. Nur Syam, Dirjen Pendis, Prof. Kamaruddin Amin, Deputi SDM Bappenas, Dr. Subandi, lalu sejumpah tokoh dan pakar dari lintas keahlian, seperti Prof. Komaruddin Hidayat (pemrakarsa), Prof. Bachtiar Effendi (UIN Jakarta), Marsudi Syuhud (NU), Imam Addaruquthni (Muhammadiyah), Prof. Quraisy Syihab, Prof. Alwi Syihab, Prof. Jimly Ash Shiddiqi, dan masih banyak nama yang saya tidak bisa sebut satu persatu.
Di akhir pembicaraan, ada hal yang sangat menarik untuk digarisbawahi yaitu usulan untuk mencermati terhadap gerakan Islam radikal yang telah memiliki kekuatan yang sangat memadai di Indonesia. Pembicaraan Prof. Alwi Syihab tersebut, kiranya sangat penting untuk dicamkan dan digaris bawahi, sebab memang sangat mendasar. Ada tiga hal yang beliau sampaikan, yaitu:
Pertama, kita harus belajar pada Mesir yang pernah menyelenggarakan pemilu dengan cara demokratis tetapi harganya sangat mahal bagi Islam moderat. Pemilu di Mesir yang dianggap demokratis memang menghasilkan pimpinan baru, Presiden Mursi yang berlatar belakang sebagai pimpinan Ikhwanul Muslimin. Dia adalah penganut Islam radikal yang selama ini sudah malang melintang untuk melakukan gerakan-gerakan dalam rangka menjadikan Mesir sebagai Negara Islam yang sesuai dengan faham Islam yang radikal.
Sebagai strategi untuk mempercepat perubahan ke arah tujuan Islamisasi dalam paham yang diinginkan Mursi, maka pertama yang dilakukan adalah dengan mengganti terhadap kepemimpinan Universitas Al Azhar. Syaikhul Al Azhar yang pertama dilirik untuk diganti. Mursi paham betul akan pengaruh dan kekuatan Syaikhul Azhar ini. Dengan mengamputasi kekuatan Syaikhul Azhar dan menggantinya dengan orangnya, maka ke depan akan terjadi kemulusan untuk melakukan perubahan besar-besaran.
Menyadari akan hal ini, maka Syaikhul Azhar dan segenap pimpinan Universitas Al Azhar mendukung terhadap gerakan tentara yang tidak menginginkan Mesir menjadi Negara Islam yang didesain untuk menjadi pusat radikalisme Islam. Pilihan untuk mengabaikan terhadap demokrasi ini tentu mendapat kecaman dari dunia. Akan tetapi kaum tentara yang didukung oleh elemen masyarakat yang tidak menghendaki Mesir jatuh ke tangan Islam radikal perlu diapresiasi. Apalah artinya demokrasi, jika kemudian menyebabkan negara dan masyarakat tercabik-cabik akibat gerakan radikal yang sering menjatuhkan klaim kebenaran hanya untuk dirinya dan kelompoknya sendiri.
Saya memang teringat kala terjadi kudeta terhadap kepemimpinan Mursi ini, maka banyak elemen masyarakat, khususnya kaum radikalis yang memberitakan tentang kekejaman atau kekejian tentara di dalam mengambil alih kekuasaan. Waktu saya di Malaysia, maka banyak masjid yang menempelkan pamphlet agar masyarakat Islam mendoakan agar Mursi terus bertahan menjadi presiden. Dan masyarakat Islam mengecam terhadap tindakan kaum tentara yang mengkudeta pemerintah Mesir tersebut.
Kedua, pengaruh Islam radikal di Indonesia sudah luar biasa, bahkan ada seorang pembantu rumah tangga yang sudah berani menyalahkan pengamalan beragama majikannya. Kala majikannya datang (saya lupa namanya) dari bepergian, maka ketika datang disambut dengan ucapan bahwa keberagamaan majikannya tersebut salah semua. Dia menyatakan bahwa yang benar adalah sebagaimana beragama yang diajarkan oleh radio yang terkenal di Indonesia.
Ternyata bahwa media bisa menjadi sarana informasi yang sangat penting di dalam membangun paham Islam yang radikal. Banyaknya radio, televisi dan media-media sosial lain yang mengusung tema “radikalisme agama”, maka tentu akan besar sekali pengaruhnya terhadap islamisasi semacam ini. Jadi, sesungguhnya Indonesia ini sedang di dalam rebutan kelompok-kelompok Islam yang bercorak garis keras. Makanya, tidak salah jika terjadi pengambilalihan masjid dan juga madrasah oleh kelompok Islam radikal, karena didasari oleh strategi Islam yang dilakukan secara rapi.
Ketiga, dirasakan sudah saatnya pemerintah melakukn tindakan untuk melindungi terhadap Islam yang rahmatan lil alamin ini. Hanya Islam yang wasathan, yang moderat, yang tawazun, yang tasamuh dan yang berkah saja yang bisa menjadi pemersatu Indonesia yang sangat plural ini. Jika kita tidak ingin seperti negara-negara Islam sebagaimana terjadi di Timur Tengah yang selalu tercabik-cabik, maka sudah saatnya kita melindungi warga Negara Indonesia secara maksimal.
Dirasakan sangat penting Pak Wapres untuk memberikan penjelasan kepada semua eleman bangsa, baik Islam moderat maupun Islam radikal agar menjaga Indonesia yang berbhinneka ini, sehingga nasibnya tidak akan sebagaimana contoh negara yang terpecah belah karena perbedaan yang terjadi di dalamnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.