• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MANAJEMEN KINERJA PADA KEMENTERIAN AGAMA (1)

MANAJEMEN KINERJA PADA KEMENTERIAN AGAMA (1)

Dalam beberapa kesempatan memberikan pengarahan di Kantor Wilayah Kementerian Agama maupun di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri, maka saya selalu sampaikan tentang implementasi manajemen kinerja atau yang juga disebut sebagai manajemen performa atau Performance Management.

Semenjak digulirkan reformasi birokrasi sampai kemudian di periode kepemimpinan Presiden SBY, maka gerakan reformasi birokrasi menjadi tema-tema utama di dalam berbagai kesempatan untuk dibicarakan. Tema reformasi birokrasi menjadi visi ke depan perbaikan dunia birokrasi yang terus digulirkan.

Melalui Kementerian PAN dan RB, maka gema reformasi birokrasi terus dikumandangkan di dalam kerangka menjawab tuntutan reformasi birokrasi, agar pelayanan birokrasi kita makin baik dan melayani. Makanya, di setiap kementrian dan lembaga juga dicanangkan gerakan reformasi birokrasi sebagai keharusan yang tidak lagi boleh ditawar.

Melalui program ini, maka dikembangkan program evaluasi atas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan juga penghargaan atas kinerja PNS atau ASN dengan pemberian tunjangan kinerja (tukin) sesuai dengan tingkatan prosentasi kinerjanya. LAKIP menjadi ukuran penting untuk menilai apakah sebuah kementerian sudah melakukan reformasi atau belum secara terukur.

Di dalam perjalanan perumusan LAKIP di Kemenag, kita tentu bersyukur bahwa kita telah masuk di dalam peringkat B dengan total nilai 62,01 berdasarkan atas penilian perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja dan capaian kinerja Kemenag.

Dari sebanyak 77 K/L yang dinilai, dapat diketahui bahwa yang memperoleh nilai A sebanyak 4 Kementerian, yang mendapatkan nilai BB sebanyak 21 Kementerian/L, yang memperoleh nilai B sebanyak 36 K/L dan yang memperoleh nilai CC sebanyak 16 K/L. Jadi Kemenag berhasil masuk dalam 36 K/L yang memperoleh penilaian B.

Selama empat tahun terakhir, kita selalu mendapatkan nilai CC, dan baru tahun 2015 memperoleh penilain positif. Batas terendah untuk memperoleh nilai B adalah 60, maka angka 62,01 tentu sudah melampaui nilai terendah kategori B. Ke depan harus diancangkan bahwa andaikan nilai LAKIP kita tetap B, akan tetapi perolehan nilai kuantitatifnya mestilah harus di atas angka 70.

LAKIP tentu saja hanya sebagian dari totalitas penilaian yang dilakukan oleh factor eksternal. Akan tetapi yang juga sangat penting adalah evaluasi kinerja yang dilakukan secara internal. Di Inspektorat Jenderal telah dilaksanakan Evaluasi Kinerja dengan menggunakan metode Balance Scored Card. Sementara itu juga dilakukan evaluasi kinerja secara bertahap, yaitu evaluasi kinerja oleh Menteri terhadap kinerja Pejabat Eselon I, dan juga evaluasi kinerja oleh eselon II (Kakanwil) atas eselon III (Kakankemenag Kabu/kota), dan juga evaluasi Kinerja oleh Rektor/Ketua PTKN terhadap jajaran pejabat setingkat lebih bawah.

Model evaluasi yang dilakukan inilah yang kemudian menegaskan tentang implementasi manajemen kinerja atau manajemen performa. Di dalam manajemen performa ini, maka setiap awal tahun dilakukan penandatangan perjanjian kinerja, lalu dilakukan berbagai program dan kegiatan sesuai dengan target kinerja yang sudah diancangkan, lalu dilakukan evaluasi baik pada tengah tahun maupun akhir tahun. Dari proses evaluasi ini akhirnya diketahui bagaimana pencapaian kinerja dalam bentuk out put atau outcome-nya.

Pertama, harus ditetapkan sasaran kinerjanya. Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) ini menjadi sangat penting di dalam manajemen kinerja. Melalui SKP akan diketahui dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pejabat. SKP adalah sasaran kerja pegawai yang ada dalam salah satu unsur di dalam penilaian prestasi kinerja PNS yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011. Misalnya, Sasaran Kinerja Pegawai yang dirumuskan adalah apa yang akan dilakukan dalam setahun ke depan. Apa yang menjadi program atau kegiatannya, apa kepentingan program tersebut bagi pelanggan kita, baik pelanggan internal maupun eksternal, dan mengapa program atau kegiatan tersebut dilakukan. Sasaran kinerja merupakan aspek kualitatif dari apa dan mengapa hal tersebut dilakukan.

Kedua, indicator kinerja merupakan uraian yang mendasar mengenai apa saja yang dilakukan. Jadi indicator kinerja merupakan rincian atas sasaran kinerja. Ia mencakup apa saja yang akan dilakukan secara rinci, dan bagaimana cara melakukannya. Indicator kinerja merupakan aspek kuantitatif dari sasaran kinerja, yang biasanya diterjemahkan ke dalam uraian kuantitatif dan memungkinkan pengukuran dilakukan. Misalnya, berapa jumlah dokumen pegawai yang dapat dilayani untuk pengurusan administrasi kepangkatannya, berapa dokumen aturan dalam bentuk PMA, KMA atau regulasi lainnya yang bisa dihasilkan, berapa dokumen perencanaan program setiap unit eselon I yang dapat diselesaikan, berapa dokumen anggaran yang bisa dihasilkan dan sebagainya.

Ketiga, capaian kinerja merupakan pengungkapan kuantitatif yang memungkinkan dilakukan pengukuran dengan rumus tertentu. Misalnya diungkapkan berapa persen capaian kinerja tersebut akan dapat dilakukan. Jadi, capaian kinerja merupakan harapan atas ketercapaian sasaran dan indicator kinerja. Bisa diungkapkan misalnya 100 persen, 90 persen dan sebagainya. Melalui matriks ini, maka pada akhirnya di akhir tahun akan dapat diungkapan berapa persen secara keseluruhan program tersebut dapat dilaksanakan.

Melalui mekanisme manajemen kinerja atau manajemen performa ini, maka pimpinan akan dapat mengetahui apa yang bisa dilakukan, bagaimana melakukannya dan bagaimana hasilnya.

Dengan demikian, maka akan dapat diketahui tingkat keberhasilan atau kegagalan seorang pejabat di dalam mengemban tugasnya untuk melayani masyarakat, baik secara umum maupun khusus. Jadi, akan bisa diketahui mana yang professional dan mana yang tidak professional.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KEMENTERIAN AGAMA BERINTEGRITAS (2)

KEMENTERIAN AGAMA BERINTEGRITAS (2)

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Menteri, bahwa aparat Kemenag haruslah memiliki jiwa yang tangguh, tidak mudah putus asa, harus professional dan yang juga penting harus memiliki integritas yang sangat baik. Kita telah memiliki modal dasar ikhlas beramal, sehingga kita juga harus bekerja keras untuk mencapai tujuan atau misi Kemenag.

Di dalam kerangka membangun integritas, maka telah dicanangkan lima nilai budaya kerja yang tentunya harus diimplementasikan di masa sekarang dan akan datang. Lima nilai budaya kerja tersebut bukan untuk dipancang di kantor-kantor atau untuk dihafalkan, akan tetapi yang lebih penting adalah untuk dilakukan di dalam kehidupan birokrasi sehari-hari.

Kemenag telah mengalami pasang surut di dalam perjalanannya. Pernah juga mengalami masa-masa yang paling sulit yaitu rendahnya public trust yang disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan kita di masa lalu. Tindakan koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan yang pernah terjadi menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap kementerian ini nyaris berada dititik nol.

Makanya, di kala kenyataan kemenag seperti itu, yang terbersit di setiap jajaran birokrasi kemenag adalah bagaimana caranya untuk membangun kembali marwah kemenag yang sempat down. Oleh sebab itu yang sangat diperlukan adalah bagaimana membangun kembali integritas yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan reformasi birokrasi.

Untuk kepentingan tersebut, maka pencanangan lima nilai budaya kerja oleh Pak Menag menjadi titik balik di dalam upaya untuk mendongkrak semangat kerja dan kepercayaan diri para aparat kemenag baik di pusat maupun di daerah. Perlahan tetapi pasti bahwa citra kemenag menjadi makin baik. Upaya Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menag, dengan berbagai event wawancara dengan berbagai media, ternyata secara pasti membawa arah baru bagi pencitraan berbasis realitas di kemenag.

Dan kita semua aparat Kemenag patut bersyukur sebab pada tahun 2015, meskipun tertatih-tatih dalam seraan anggaran yang disebabkan oleh perubahan akun 57 ke 52, akan tetapi serapan anggaran kita masih sama dengan tahun sebelumnya. Yaitu sebesar 89,23 persen. Memang target di dalam Rencana Strategis Kemenag sebesar 93 persen tidak tercapai. Namun dengan serapan anggaran yang sama dengan tahun lalu saja sudah cukup menggembirakan. Jadi, dengan tingkatan serapan yang hanya 89,23 persen tentu memberikan gambaran bahwa ada banyak program yang belum bisa direalisasikan.

Di antara program yang tidak bisa direalisasi secara maksimal antara lain ialah program bantuan pemerintah, yang dulu disebut sebagai bantuan sosial, pengalihan perjalanan dinas, pembangunan infrastruktur kerukunan umat beragama, pembangunan kantor KUA, pembanguna kantor pemerintah dan sebagainya. Program ini terkendala oleh perubahan regulasi yang terjadi di masa-masa akhir tahun 2015, sehingga mengalami kesulitan untuk mengeksekusinya.

Namun demikian, dengan kerja keras akhirnya pencapaian target terendah sebagaimana tahun lalu bisa dilakukan. Kita tentu berharap bahwa serapan anggaran pada tahun 2016 akan jauh lebih baik. Untuk menyongsong serapan anggaran yang lebih baik, maka seluruh jajaran kemenag harus melakukan perubahan strategi serapan anggaran. Makanya pada awal tahun harus dilakukan berbagai pertemuan untuk membahas strategi yang mendasar bagaimana pembagian serapan anggaran pada setiap triwulan bisa dilakukan.

Sebagaimana setiap tahun, bahwa kita sudah memiliki rencana serapan anggaran pertriwulan. Sebagai contoh pada triwulan pertama diproyeksikan serapan itu adalah 20 persen, lalu triwulan kedua 25 persen, triwulan ketiga 30 persen dan triwulan ke empat 25 persen. Namun demikian, dalam pengalaman selama ini, maka serapan anggaran itu menumpuk di akhir tahun.

Di dalam kerangka ini, maka perencanaan serapan tersebut harus dibenanhi dengan membuat perencanaan yang lebih implementatif. Pertemuan untuk membahas serapan anggaran dengan unit eselon satu dan seluruh kanwil untuk merumuskan perencanaan serapan. Oleh karena itu maka perlu dirumuskan tentang di mana saja anggaran yang jumlahnya trilyunan rupiah tersebut tidak terserap, pada jenis program dan kegiatan apa saja, serta apa hambatan dan problem yang dihadapi untuk penyerapannya.

Mariks seperti ini diperlukan untuk menjadi acuan di dalam upaya untuk merumuskan jalan keluar menghadapi hambatan serapan anggaran ini. Dengan demikian, yang diharapkan ke depan adalah bagaimana agar serapan anggaran akan lebih baik, sehingga pencapaian renstra kemenag dengan besaran serapan anggaran akan bisa dilampaui. Dengan demikian seluruh aparat kementerian agama haruslah bekerja keras untuk memastikan bahwa pada akhir tahun serapan anggaran kita akan makin baik.

Serapan anggaran yang besar saja tentu tidak cukup sebab yang menjadi fondasinya adalah bagaimana menegakkan integritas di dalam serapan anggaran tersebut. Kemenag berintegirtas memang menjadi tuntutan masyarakat.

Oleh karena itu perbaikan system mengenai perencanaan, penyerapan dan evaluasi serapan anggaran tentu menjadi prioritas untuk dikedepankan. Kita semua berkeyakinan bahwa melalui integritas yang makin baik maka public trust akan didapatkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

HUMAN COMPETITIVENESS INDEX INDONESIA

HUMAN COMPETITIVENESS INDEX INDONESIA

Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan wilayah yang sangat luas, tentu berbeda dengan beberapa negara yang jumlah penduduk dan wilayahnya lebih sedikit. Di Asia Tenggara, saya kira luas wilayah Indonesia adalah yang terluas, membentang dari Aceh sampai Papua, sementara jumlah penduduknya hanya kalah dari Cina, India, dan Amerika Serikat.

Sesungguhnya, memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar tentu merupakan keuntungan tersendiri, sebab akan bisa menyediakan sumber tenaga kerja yang murah untuk mendukung terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga perkembangan ekonomi kewilayahan yang sangat memadai. Namun demikian, jika potensi penduduk dan wilayah tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka jumlah dan luas wilayah negara justru menjadi beban.

Dihitung dari tahun kemerdekaan, tentu saja Negara Indonesia kalah jauh dibanding dengan Amerika Serikat atau bahkan negara-negara di Eropa Barat. Akan tetapi tahun kemerdekaan bukan menjadi satu-satunya variabel kemajuan sebuah bangsa. Bisa jadi negara yang baru merdeka akan tetapi memiliki kemajuan yang pesat dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Dalam usianya yang ke 71 tahun, tentu sudah banyak capaian bangsa Indonesia, misalnya adalah masuknya Indonesia dalam G 20 dan juga pertumbuhan ekonomi yang masih signifikan. Dengan rerata pertumbuhan ekonomi 4,9 atau mendekati angka 5 persen tahun 2016, maka hal ini jauh lebih baik dibandingkan beberapa negara lainnya di Asia. Akan tetapi yang masih menjadi masalah adalah penguasaan ekonomi sebagian kecil warga negara terhadap ekonomi nasional dengan komposisi 1 persen keluarga kaya di Indonesia menguasai 50,2 persen kekayaan negara. Artinya, bahwa gap atau kesenjangan antara si kaya dengan si miskin masih cukup mendasar.

Kita tentu tidak bisa menyalahkan bahwa telah terjadi kesalahan strategi pembangunan di masa lalu, akan tetapi yang memang menjadi persoalan mendasarnya adalah mengenai kesenjangan pendidikan, keahlian dan kemampuan untuk mengakses kesejahteraan. Ada sekelompok orang dengan pendidikan, keahlian dan peluang mengakses kesejahteraan yang terbuka lebar, sementara ada sebagian besar lainnya yang tidak memiliki apapun.

Oleh karena itu, maka pembangunan yang berhasil adalah jika kemudian dapat menghasilkan Indeks Kompetisi Bangsa atau Nation’s Competitiveness Index (HCI) yang tinggi dan merata sehingga mereka akan memiliki akses yang baik di bidang kesejahteraan. Kita masih berbicara tentang kesejahteraan dan belum berbicara tentang kebahagiaan.

Dan di dalam posisi inilah Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang sudah maju. Berikut adalah data tentang Human Resource Development (HRD) beberapa negara di dunia (2015).

Singapura peringkat 9

Korea Selatan 15

Jepang 17

Malaysia 62

Thailand 89

Indonesia 108

Filipina 117

Vietnam 121

Sedangkan tentang Human Competitiveness Index (HCI) maka didapatkan data sebagai berikut:

Singapura peringkat 2

Jepang 6

Malaysia 20

Korea Selatan 26

China 28

Thailand 31

Indonesia 34

India 36

Vietnam 68

Filipina 52

Timor Leste 136

Angka di atas memberikan gambaran bahwa posisi Indonesia sebagai negara besar ternyata tidak sehebat Cina dan juga India. Cina dengan jumlah penduduknya yang paling besar di dunia dan juga India yang nomor dua terbesar di dunia, ternyata memiliki rangking yang cukup mengesankan. Bayangkan India dengan 1,5 milyar penduduknya menenpati rangking dua tingkat di bawah dibandingkan dengan Indonesia, sementara Cina menempati rangking ke 28 atau 2 tingkat di atas Indonesia.

Berdasarkan data ini maka bisa dinyatakan bahwa tugas penting bangsa dan pemerintah Indonesia adalah meningkatkan Human Competitiveness Index sebab dari sanalah sesungguhnya kata “kesejahteraan” dan kemudian “kebahagiaan” itu akan bisa diraih.

Di tengah merebaknya globalisasi, khususnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka yang harus menjadi perhatian adalah agar kualitas kompetisi bangsa kita makin meningkat sehingga masyarakat Indonesia akan menjadi pekerja di negeri sendiri dan juga menjadi pekerja di negara lain dalam pekerjaan yang terhormat.

Kata kuncinya adalah kualitas pendidikan sebagai instrument penting dalam peningkatan HRD dan HCI yang menjadi lebih baik di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

JADIKAN KEMENAG BERINTEGRITAS (1)

Hari ini, 03/01/2016, adalah Hari Ulang Tahun Kementerian Agama ke 70, yang dikenal sebagai Hari Amal Bhakti Kementerian Agama. Jadi usia Kemenag sudah menginjak 70 tahun semenjak Kementerian ini didirikan taanggal 03 Januari 1946 atau lima bulan semenjak Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, tanggal 17 Agustus 1945. Kementerian Agama diusulkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan disetujui oleh Pemerintah Indonesia.

Kelahiran Kementerian Agama adalah hadiah bagi keberagamaan masyarakat Indonesia yang memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat religious. Jadi pemerintah memberikan penghargaan atas peran serta seluruh komponen umat beragama di Indonesia yang memberikan sumbangsihnya bagi kemerdekaan Indonesia.

Kementerian agama telah mengalami pasang surut peran yang dimainkannya. Namun demikian, yang jelas bahwa Kementerian ini telah memberikan sumbangsihnya yang sangat signifikan bagi peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama di Indonesia. Di dalam konteks membangun Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusionalnya dan NKRI sebagai bentuk Negara Indonesia, maka segenap elemen Kemenag telah memberikan sumbangannya yang sangat nyata.

Sebagai institusi negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembinaan kehidupan beragama, maka Kemenag telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan ajaran agama yang damai, toleran dan penuh kerahmatan bagi semua umat beragama. Selama 70 tahun tersebut, maka Kemenag telah menjadi institusi negara yang berperan serta untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang terbebaskan dari berbagai pengaruh isme-isme lain, selain Pancasila.

Kementerian Agama dengan sangat baik menjaga Indonesia bukan sebagai negara agama dan juga bukan negara sekuler, akan tetapi Indonesia adalah negara yang berbasis pada Ketuhanan yang Maha Esa. Melalui prinsip ini, maka Indonesia dapat menjalankan perannya sebagai negara yang memberikan pengayoman kepada seluruh warga masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan amanah UUD 1945, maka warga negara dijamin untuk menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan prinsip tidak saling mengganggu, tidak menimbulkan keributan dan ketidaknyamanan di dalam negara. Negara menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan nomenklatur agama yang hidup di Indonesia. Memang harus diakui bahwa masih ada sebagian warga Indonesia yang belum merasa nyaman dengan kerukunan umat beragama, akan tetapi juga harus dicatat bahwa yang hidup rukun dan merasa nyaman beragama di Indonesia tentu sanngat banyak.

Indonesia memang memilih dan menjadikan agama sebagai urusan public dan bukan urusan privat. Maka kehadiran Kemenag sebagai institusi negara yang berperan sebagai pelayan masyarakat tentu mutlak diperlukan kehadirannya. Dengan demikian, selama 70 tahun pengabdian Kemenag kepada negara dan masyarakat tentu sudahlah sangat banyak. Semua ini dilakukan agar peran dan fungsi Kemenag bisa hadir di tengah kehidupan masyarakat.

Tidak sebagaimana Kementerian lain yang urusannya lebih banyak pada dimensi keduniawian (urusan profane), maka Kemenag lebih banyak untuk urusan keukhrawian (urusan sacral). Makanya bisa dibayangkan bahwa Kemenag tentu harus menjadi contoh tentang bagaimana urusan sacral tersebut bisa ditegakkan. Itulah sebabnya Kemenag haruslah menjadi contoh bagi institusi lainnya di dalam kerangka membangun integritas dan keteladanan dimaksud.

Menyimak pidato Pak Menag, bahwa jalan panjang kemenag untuk mewujudkan integritas bukanlah perkara sambil lalu akan tetapi harus diupayakan. Untuk mencapai derajat tertinggi di dalam integritas harus dilalui dengan penuh liku-liku dan jalan terjal. Namun demikian kita tidak boleh menyerah dan berputus asa. Semuanya harus bekerja keras agar keinginan untuk menjadikan Kemenag berintegritas bukan sekedar hiasan dan buah bibir, akan tetapi mewujud di dalam kehidupan sehari-hari Kemenag.

Peringatan HAB ini terasa sangat special, sebab dihadiri oleh seluruh jajaran Kemenag pusat dalam acara upacara yang dilaksanakan di Lapangan Banteng. Hadir seluruh jajaran eselon satu, dua dan tiga serta para ibu-ibu anggota Dharma Wanita. Acara juga berjalan dengan sangat perfect dan menghadirkan nuansa “pengabdian dan pelayanan” kepada masyarakat.

Saya kira, semuanya sependapat bahwa ada kemajuan yang dicapai dalam dua tahun terakhir, yaitu semakin kondusifnya citra Kemenag di mata masyarakat. Jadi, sesungguhnya sudah ada sejumlah kemajuan yang dicapai oleh ASN kemenang. Bukankah Kemenag bisa mempertahankan WTP empat tahun berturut-turut, Naiknya LAKIP Kemenang menjadi B tahun 2015, sebagai pengelola asset terbaik kedua dari seluruh K/L di Indonesia, pendataan E-PUPNS terbaik se Indonesia dan juga pelayanan lainnya yang makin baik.

Semua tentu adalah hasil kerja keras dari seluruh ASN Kemenag yang memang telah mengimplementasikan lima nilai budaya dasar sebagai pedoman dan panduan di dalam melaksanakan tugasnya sebagai ASN Kemenag. Selamat ultah ke 70, semoga Tuhan selalu memberkahi kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDORONG WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (3)

Di dalam acara raker akhir tahun, BWI membahas tentang evaluasi kinerja BWI tahun 2015 dan menyambut program tahun 2016. Acara ini dihadiri oleh Dewan Penasehat dan pimpinan Pusat BWI. Hadir pada acara ini adalah Dr. Maftuh M. Basuni dan segenap jajaran pimpinan BWI.

Saya hadir di dalam kapasitas mewakili Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Beliau tidak bisa hadir sebab harus mendampingi Presiden RI, Bapak Joko Widodo, pada acara Natal Bersama tahun 2015 yang dipusatkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan tiga hal mendasar terkait dengan problema mendasar BWI dalam tataran signifikansinya bagi kehidupan umat Islam. Saya mencoba untuk menguraikan secara general tentang hal tersebut.

Pertama, mengenai tantangan BWI di era yang akan datang. BWI memerlukan penguatan organisasi. Sebagai penyelenggara kebijakan di sektor perwakafan, maka secara organisasional BWI haruslah menjadi organisasi yang kuat dan berwibawa. BWI harus menjadi organisasi yang secara program sangat relevan dengan tuntutan mengembangkan kehidupan umat Islam dan dari sisi SDM juga harus kuat berada di era kompetisi yang makin kompleks.

BWI mestilah sejajar dengan organisasi sosial keagamaan lainnya yang sudah terlebih dulu eksis di masyarakat. Organisasi ini (BWI) akan menjadi berwibawa jika para punggawanya memiliki kemampuan manajerial dan komunikasi atau kerja sama yang sangat baik dengan lembaga lainnya di dalam kerangka mengembangkan program-programnya.

Para punggawa BWI di tingkat pusat saya kira sudah dihuni oleh sejumlah personal yang sangat kuat komitmennya pada pemberdayaan masyarakat. Ada sejumlah nama yang saya kira sudah sangat relevan dengan misi BWI ke depan. Namun yang diperlukan adalah bagaimana BWI kemudian bisa menjadi inspirator dan fasilitator bagi berbagai kepentingan perwakafan yang memang harus diselesaikan secara antar kelembagaan. Sehubungan dengan makin banyaknya masalah perwakafan, maka kemampuan manejerial saja saya kira harus juga ditopang dengan kemampuan untuk berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang bertalian dengan masalah-masalah perwakafan.

Problem yang saya kira masih perlu untuk dicari solusinya adalah keterbatasan SDM di daerah dan daya jangkau organisasi untuk menjelajah seluruh masalah yang harus dicarikan solusinya. BWI sebagai kepanjangan tangan pemerintah tentu harus menjadi organisasi yang dapat bersinergi secara utuh, berkomunikasi dan berkoordinasi secara sepadan dengan organisasi lainnya. Lalu juga memiliki kepanjangan tangan untuk menjangkau masyarakat perwakafan yang memang membutuhkan fasilitasi untuk mengembangkan wakaf berbasis pemberdayaan masyarakat.

Kedua, Yang tidak kalah menarik untuk dicermati adalah penguatan peran dan fungsi BWI untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, penguatan sosial dan budaya serta penguatan pendidikan, kesehatan dan keagamaan. BWI adalah lembaga keagamaan yang memiliki multi fungsi di tengah kehidupan masyarakat. Mungkin di dalam waktu dekat, yang perlu didrive dengan kuat adalah mengenai peran ekonomi dan pendidikan BWI.

Wakaf sesungguhnya memiliki dimensi penguatan pendidikan dan ekonomi yang sangat mendasar. Jika kita perhatikan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan Islam mendasarkan pengembangannya pada keberadaan wakaf ini. Artinya bahwa modal dasar untuk pengembangan pendidikan adalah melalui wakaf. Makanya, ke depan saya kira yang terpenting adalah bagaimana mendayagunakan tanah-tanah wakaf untuk kepentingan pendidikan, baik madrasah maupun pesantren.

Pengembangan pendidikan tentu harus disandingkan dengan pengembangan ekonomi dan kesehatan. Melalui pengembangan wakaf untuk pemberdayaan ekonomi dan kesehatan, maka lembaga pendidikan Islam dan juga masyarakat luas akan dapat menikmati manfaat wakaf bagi mereka. Oleh karena itu kiranya diperlukan kerja sama dengan berbagai segmen masyarakat maupun dunia usaha agar tanah-tanah wakaf yang belum termanfaatkan secara maksimal dapat didayagunakan untuk kepentingan ekonomi dimaksud. Bayangkan misalnya di Demak terdapat tanah wakaf seluas 190-an hektar. Maka, tanah wakaf ini tentu bisa didayagunakan untuk pengembangan berbagai hal.

Ketiga, merancang program yang berkesinambungan. Program yang baik adalah manakala program tersebut memiliki kesinambungan dengan program di masa lalu. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan relevansi antara program, implementasi dan evaluasinya. Diperlukan ketepatan program, sasaran dan kebutuhan masyarakat. Issu yang sekarang sedang hangat adalah mengenai pemberdayaan masyarakat dengan berbagai variasinya. Makanya, di dalam penyusunan program mestilah dipertimbangkan dimensi kebutuhan sasaran, ketepatan sasaran dan bagaimana program tersebut dilaksanakan.

Saya berpendapat, bahwa tahun 2016 haruslah menjadi tonggak bagi peletakan dasar pendataan yang baik mengenai perwakafan, penyediaan SDM yang memadai untuk kepentingan agen pemberdayaan masyarakat, penataan organisasi yang kuat dan membuat percontohan tentang pemanfaatan wakaf produktif, serta bagaimana dapat menyelesaikan masalah-masalah perwakafan yang masih banyak.

Peletakan strategi dasar ini merupakan program besar BWI yang dapat dijadikan sebagai tonggak mendasar untuk pengembangan peran BWI di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.