• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENDORONG WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (2)

Sebagaimana diketahui bahwa wakaf sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa sebagai instrument untuk pemberdayaan masyarakat. Luas tanah wakaf, yang secara matematis empat kali luas Negara Singapura, sebenarnya bisa menjadi sumber peningkatan kualitas kehidupan umat Islam.

Sebagaimana biasanya, tulisan ini juga akan membahas tiga hal yang saya anggap sangat urgen untuk dibahas di dalam kesempatan diskusi atau pertemuan-pertemuan baik di BWI maupun kemenag. Ada tiga hal yang akan saya bahas di dalam tulisan ini, yaitu:

Pertama, Memang harus diakui bahwa masalah perwakafan bukanlah masalah yang sederhana, sebab misalnya dalam masalah tanah wakaf, seringkali antara wakif dan keluarganya tidak lagi seirama. Jika status wakaf tersebut belumlah clear dan clean, maka dalam banyak terjadi kasus gugatan dari pihak keluarga wakif. Maka problem utama mengenai wakaf tanah adalah pada dokumentasi yang belum jelas. Dengan demikian, BWI dan pemerintah mestilah menjalankan fungsinya untuk bekerja sama di dalam penanganan terhadap masalah wakaf ini.

Kedua, sumber daya manusia yang memiliki concern terhadap perwakafan juga belumlah memadai. Masih sangat banyak anggota masyarakat kita yang belum memiliki pemahaman mengenai besarnya fungsi wakaf untuk mengembangkan potensi ekonomi, pendidikan, agama di kalangan masyarakat. Makanya, secara empiris banyak tanah wakaf yang idle atau bahkan tidak diurus status wakafnya, tidak didayagunakan untuk pengembangan masyarakat dan yang lebih parah adalah dibiarkan tanpa ada yang perduli.

Terkait dengan SDM ini, maka ada usulan menarik di dalam forum Rakor wakaf, agar Kemenag bisa mendayagunakan para pejabat fungsional di setiap KUA untuk menjadi tenaga yang secara khusus menangani perwakafan. Usulan ini patut dipikirkan terkait dengan banyaknya pejabat fungsional di KUA, khususnya di KUA DKI. Jika di sebuah KUA terdapat pejabat lebih di dalam menangani fungsi tertentu, dikhawatirkan akan terjadi double fungsi di kalangan mereka.

Melalui refungsionalisasi menuju kepada pejabat fungsional tertentu ini, misalnya jabatan fungsional perwakafan dan zakat, maka akan didapati satu unit khusus yang menangani kegiatan dimaksud. Refungsionalisasi para pejabat fungsional di KUA menjadi Pejabat Fungsional tertentu tersebut akan bisa mengurangi beban KUA di dalam fungsionalisasi para pejabatnya.

Saya secara khusus sudah meminta kepada Kepala Biro Organisasi dan Tata Kelola (Ortala) Kemenang untuk menyiapkan satu naskah akademis untuk dijadikan sebagai landasan melakukan refungsionalisasi. Untuk melakukan penambahan jabatan di dalam struktur organisasi dan tata kelola Kementerian/lembaga memang haruslah direkomendasi oleh Kemenpan-RB dan baru dirumuskan PMA.

Sesungguhnya dibutuhkan analisis dan pemetaan jabatan untuk menentukan apakah jabatan fungsional tertentu –perwakafan dan zakat—ini diperlukan secara mendesak atau tidak. Namun demikian, kalau diharapkan percepatan untuk melakukan pemberdayaan wakaf dan zakat, maka kiranya memang sungguh urgen untuk membahas dan kemudian merumuskan struktur jabatan baru ini.

Saya kira, restrukturisasi dan refungsionalisasi ini mutlak diperlukan sebagai jalan keluar untuk melakukan reposisi terhadap para pejabat fungsional umum yang bertebaran di kantor-kantor urusan agama. Saya kira melakukan reposisi kewilayahan bukanlah masalah yang sederhana, sebab menyangkut banyak variabel yang harus dipertimbangkan. Misalnya, rumah, keluarga, pendidikan anak, lingkungan dan sebagainya. Namun melalui implementasi reposisi berbasis pada profesi lain yang urgent tentu masih sangat mungkin untuk dilakukan.

Untuk merealisasikan gagasan ini, maka yang diperlukan adalah bagaimana koordinasi antara biro kepegawaian, biro organisasi dan tata kelola, dan perencanaan untuk menyiapkan hal-hal yang terkait dengan perubahan nomenklatur ini. Saya kira bukan merupakan pekerjaan sulit yang tidak terjangkau.

Ketiga, membangun budaya administrasi perwakafan yang memadai. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu problem mendasar mengenai perwakafan adalah terkait dengan kelengkapan dokumentasi. Oleh karena itu, tentu diperlukan tim administrator yang kuat agar pendokumentasian wakaf dapat dilakukan secara memadai. Itulah sebabnya Kemenag baik di pusat maupun di daerah harus memiliki concern tentang perwakafan ini. Demikian pula BWI baik di pusat maupun di daerah juga harus memiliki kepedulian yang kuat tentang pengadministrasian perwakafan.

Dengan demikian, SDM yang memiliki kesadaran tentang pentingnya administrasi, lalu pentingnya pendataan wakaf dan pengembangan potensi wakaf untuk kesejahteraan umat dirasakan sebagai hal urgen yang ke depan menjadi tugas dan tanggung jawab untuk dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDAYAGUNAKAN WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (1)

Beberapa hari yang lalu saya menghadiri acara yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam acara Rapat Koordinasi Badan Wakaf Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Park Jakarta. Acara ini dimaksudkan sebagai konsolidasi akhir tahun menjelang pergantian tahun. Acara ini tentu menarik untuk dicermati sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah untuk menjadikan wakaf sebagai instrument bagi pembangunan bangsa.

Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan BWI, maka tentu saja saya menyampaikan beberapa hal yang saya anggap penting untuk menjadi bahan diskusi di dalam rapat ini. Ada tiga hal yang saya sampaikan dalam sessi diskusi dengan setelah acara pembukaan yang dibuka oleh Ketua BWI, Dr. Mohammad Maftuh Basuni, Mantan Menteri Agama RI.

Pertama, tentang peran Negara dalam gerakan Wakaf Nasional. Pemerintah di dalam konteks perwakafan adalah sebagai regulator dan fasilitator bagi penyelenggaraan dan pengelolaan harta wakaf. Maka, pemerintah dengan seganap aparatnya adalah pemberi kepastian regulasi perwakafan. Regulasi yang dimaksud adalah untuk menghasilkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama terkait dengan perwakafan. Selain itu juga regulasi-regulasi teknis seperti mengenai Keputusan Menteri Agama, pedoman penyelenggaran perwakafan dan sebagainya.

Selain itu juga fasilitator untuk operasional penyelenggaraan perwakafan dan kebersamaan dalam menentukan tindakan-tindakan yang terkait dengan perwakafan. Di dalam konteks ini misalnya adalah penentuan keputusan-keputusan terkait dengan status benda wakaf, di mana Menteri Agama yang menentukan status pengalihan atau status harta wakaf yang diganti dan sebagainya.

Yang tidak kalah menarik adalah peran public services. Hal ini tentu terkait dengan peran Negara sebagai pelayan masyarakat, sehingga apapun yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah tentunya adalah mengenai bagaimana Negara memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan perwakafan. Ternyata bahwa problema perwakafan tidak sedikit. Dengan jumlah tanah wakaf yang sangat gigantic, maka problem perwakafan juga sangat banyak, misalnya tentang dokumen wakaf yang tidak didapati, gugatan hukum ahli waris, kelambatan pengurusan wakaf, pengalihan fungsi wakaf, di atas tanah wakaf didirikan bangunan pemerintah, dan sebagainya.

Makanya, kerjasama antara BWI dengan Kementerian Agama (baca Direktorat Wakaf) menjadi sangat penting. Sebagaimana dipahami bahwa ruang kosong untuk kerjasama ini harus diisi oleh kedua belah pihak. Jika Kemenag sebagai regulatornya, maka oeperatornya adalah BWI. Oleh karena itu, pembahasan demi pembahasan mengenai problem-problem ini sangatlah mendasar untuk dibicarakan.

Kedua, BWI memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengembang pengembangan harta wakaf terutama terkait dengan pengembangan ekonomi berbasis wakaf, pengembangan kesehatan masyarakat berbasis wakaf, pengembangan agama dan pendidikan berbasis wakaf. Semua ini dilakukan sebagai akibat dari fungsi operator yang dimiliki oleh BWI. Selain fungsi ini, maka BWI juga berwenang untuk memfasiltasi administrasi persetujuan wakaf, pertukaran harta wakaf, dan juga pergantian fungsi harta wakaf. BWI memiliki peran administrative dan kebijakan terkait dengan pengembangan fungsi harta wakaf, persetujuan pemindahan atau pengalihan fungsi harta wakaf. Sebagai contoh adalah pengalihan tanah wakaf pondok pesantren di tangah kota Jakarta menjadi di wilayah pinggiran Jakarta dengan nilai yang menguntungkan pondok pesantren. Dilihat dari sisi prospek harta wakaf tentu saja asset wakaf di Jakarta akan lebih cepat berkembang, akan tetapi bahwa pondok pesantren tidak bisa berkembang secara lebih optimal sebab luasan tanah wakafnya terbatas.

Ketiga, ada fungsi yang bisa diemban bersama antara Kemenag dengan BWI, yaitu fungsi perumusan kebijakan bersama, pembinaan terhadap pengelola wakaf dan melakukan komunikasi serta koordinasi di dalam kerangka memecahkan problem perwakafan.

Pemerintah sebagai pemeran public services, dan BWI sebagai badan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan perwakafan sesungguhnya memiliki kejelasan kewenangannya. Jika kemenag berperan sebagai regulator dan BWI sebagai operator, maka di antara keduanya tentu bisa menyelenggarakan sinergi program untuk pengembangan perwakafan. Jika peran ini dapat dilakukan secara maksimal, tentu akan banyak peran signifikan di dalam pengembangan perwakafan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Bukankah Universitas Al Azhar menjadi hebat dalam ratusan tahun dengan membiayai mahasiswa dari berbagai Negara disebabkan oleh perwakafan produktif.

Perwakafan adalah raksasa tidur yang menunggu untuk dibangunkan. Ibarat Kesatria Kumbakarna yang bertapa tidur maka membutuhkan untuk dibangunkan untuk berperang melawan musuh negara. Di dalam konteks ini Kumbakarna bukan membela kakaknya, Raja Rahwana, akan tetapi Kumbakarna justru membela agar negaranya tidak dikalahkan dan dijajah oleh negara lain.

Dengan menggunakan logika cerita Ramayana ini, maka saya ingin menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya dunia wakaf di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi dahsyat untuk digerakkan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dan bangsa.

Jadi, Kemenag dan BWI yang sesungguhnya memiliki peluang untuk membangunkannya dengan kerja keras dan ikhlas untuk kepentingan pemberdayaan umat Islam. Wakaf adalah kekayaan umat Islam yang ke depan akan dapat menjadi kekuatan bagi pembangunan umat Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

RENUNGAN AWAL TAHUN PERLUNYA MEMPERKECIL GAP KESEJAHTERAAN (2)

Saya tidak ingin menyatakan bahwa kita terlambat untuk mengantisipasi dampak trickle down effect yang gagal memberikan jaminan penguatan ekonomi masyarakat secara lebih luas. Akan tetapi memang harus diakui bahwa program penguatan ekonomi masyarakat secara umum memang belumlah mencapai target atau memenuhi keinginan kita semua.

Hal ini tentu dapat dilihat dari masih banyaknya jumlah masyarakat miskin Indonesia dewasa ini. Masih terdapat sebanyak 16 persen rakyat Indonesia yang miskin, baik dalam kategori benar-benar miskin atau yang menjadi miskin karena perkembangan ekonomi yang tidak memihak pada mereka.

Sebagaimana diketahui bahwa jumlah rakyat miskin kita menjadi meningkat seirama dengan kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat dan juga peningkatan harga beli komoditas dalam berbagai macamnya. Bukankah dengan peningkatan nilai tukar dolar, maka semua jenis produk baik dari dalam mapun dari luar negeri menjadi meningkat. Dan sebagai akibatnya adalah daya beli masyarakat menjadi makin menurun. Ada sebuah gambaran bahwa dewasa ini yang terpenting adalah bisa memenuhi kebutuhan konsumsi bagi keluarga.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya rata-rata 4,9 persen sampai akhir Desember 2015 tentu menjadi sinyal bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di dalam kenyataan yang kurang menguntungkan. Seharusnya dengan meningkatnya nilai kurs dolar, maka perdagangan luar negeri akan menjadi untung, namun disebabkan kelesuan perdagangan internasional juga menjadi menyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu perdagangan impor tentu juga mengalami kendala yang sangat signifikan sebab melonjaknya barang-barang komoditas dari luar negeri dan lemahnya perdagangan di dalam negeri.

Di dalam konteks ini, rasanya negara belumlah hadir secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Memang sudah ada beberapa paket kebijakan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah, akan tetapi dampak langsungnya tentu belumlah bisa dirasakan. Paket kebijakan ekonomi baru sampai tahapan untuk menggairahkan dunia usaha, akan tetapi bagaimana dunia usaha tersebut memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat tentu masih bisa dipertanyakan.

Salah satu di antara instrument yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk memberikan kepastian mengenai keterlibatan para pengusaha kepada rakyat miskin atau para pengusaha kecil adalah mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) atau Gerakan Bina Lingkungan Sosial yang seharusnya menjadi andalan bagi para pengusaha agar terlibat di dalam konteks pengembangan ekonomi kerakyatan.

Di Indonesia sudah dirumuskan beberapa tahun lalu mengenai regulasi ini. Di dalam Undang-Undang CSR tentu sudah dirumuskan mengenai bagaimana seharusnya para pengusaha dapat menyisihkan sebagian kecil dari keuntungannya untuk didayagunakan bagi pengembangan ekonomi kerakyatan dimaksud.

Instrument undang-undang ini semestinya bisa menjadi kekuatan negara untuk melakukan tindakan yang tegas agar para pengusaha melakukan yang terbaik bagi negara ini. Bukankah mereka menjadi besar karena peran negara yang menjamin usahanya dapat tumbuh berkembang di Indonesia dan kemudian juga peran masyarakat yang membeli komoditas yang diproduksi oleh para pengusaha. Melalui pendayagunaan CSR atau Bina Lingkungan Sosial, maka akan terjadi simbiosis mutualisme antara perusahaan, negara dan masyarakat.

Secara ideal, bahwa konsep CSR atau Bina Lingkungan Sosial tentu sangat baik. Konsep ini diadopsi dari model social market yang memang memberikan peluang bagi dunia usaha untuk memberikan sedekahnya bagi perkembangan ekonomi rakyat. Dengan demikian, maka akan terjadi pola saling memberikan perlindungan dan pengembangan bagi kedua belah pihak. Model pengembangan ekonomi yang diadopsi dari konsep campuran antara sistem kapitalisme dengan sistem sosialisme ini sebenarnya bisa menjadi salah satu instrument yang andal bagi program trickle down effect.

Ada banyak instrument untuk melakukan pemihakan secara ekonomi terhadap percepatan program ekonomi kerakyatan ini selain penerapan CSR yang ketat, yaitu melalui pajak perusahaan. Pajak tentu bisa menjadi salah satu sarana bagi pemerintah untuk melakukan pembiayaan pembangunan khususnya mengentas ekonomi rakyat. Hanya sayangnya bahwa pendapatan pajak juga belum maksimal yang disebabkan oleh salah satunya adalah ketaatan membayar pajak bagi para pengusaha. Dengan memaksimalkan pendapatan pajak dari pengusaha, maka akan bisa didayagunakan untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas.

Di era pemerintahan sekarang, terdapat konsep yang sangat baik, misalnya dengan membangun masyarakat dari pinggiran melalui implementasi pemberian dana desa dengan nilai sebesar satu milyar rupiah. Jika dana ini dapat dialokasikan dengan baik dan tepat sasaran bukan tidak mungkin akan terjadi perubahan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap dana desa lalu menjadi urgen untuk dilakukan.

Jika sinergi antara anggaran negara melalui APBN dan kemudian dipadukan dengan dana CSR atau Bina Lingkungan Sosial untuk kepentingan membangun ekonomi masyarakat pinggiran, maka ke depan diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan bagi perbaikan ekonomi rakyat.

Jadi, negara sebenarnya telah memiliki instrument untuk melakukan percepatan bagi program trickle down effect tersebut melalui perangkat regulasi yang perlu diperkuat di dalam implementasinya. Hanya saja bahwa regulasi, sinergi dan implementasinya memang harus dilakukan secara lebih utuh dan mendasar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

RENUNGAN AWAL TAHUN PERLUNYA MEMPERKECIL GAP KESEJAHTERAAN (1)

Salah satu rilis terakhir mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan penguasaan ekonomi oleh sekelompok orang di Indonesia ternyata sungguh belum menggembirakan.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia disebutkan bahwa 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen seluruh kekayaan di negeri ini. Dibandingkan dengan Negara lain, penguasaan oleh 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia masih kalah dengan ketimpangan yang terjadi di Rusia dan Thailand. Rusia dengan angka 66,2 persen, sementara Thailand dengan 50,5 persen.

Negara-negara Asia dapat digambarkan, bahwa yang terbaik adalah Jepang dengan kompisisi 1 persen menguasai 17,9 persen, Singapura 28,6 persen, Taiwan 32,7 persen, Tiongkok 37,2 persen, Korea Selatan 40,1 persen, India 49,0 persen. Dengan demikian, Jepang adalah negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia.

Gambaran lain yang didapatkan adalah banyaknya negara-negara Eropa dengan tingkat penguasaan 1 persen orang kayanya terhadap kekayaan negara yang lebih baik. Hal ini menandakan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi di negara-negara Eropa Barat jauh lebih baik dibandingkan di Asia, Amerika Utara maupun Selatan atau lainnya. Di sisi lain, tetangga kita, Australia dan Selandia Baru juga sangat baik komposisi penguasaan kekayaan negara oleh keluarga terkaya di sana. Australia dengan komposisi 21,1 persen dan Selandia baru 23,9 persen.

Malaysia tidak tercantum di dalam data ini, akan tetapi yang jelas, rasanya Malaysia akan lebih baik kondisi penguasaan 1 persen keluarga terkaya atas kekayaan negara dibanding Indonesia. Hal ini tentu berkat kebijakan yang disebut sebagai New Economic Polecy (NEP) pada zaman Perdana Menteri Mahathir Muhammad.

Sebagaimana dipahami bahwa kesenjangan ekonomi yang terjadi di beberapa negara mantan jajahan memang memprihatinkan. Negara-negara Eropa yang menjadi penjajah atau tidak menjadi penjajah tidak terkena problem ekonomi karena kekayaannya yang diambil secara paksa. Akan tetapi negara-negara dunia ketiga, yang kebanyakan mengalami penjajahan, maka sumber ekonominya nyaris ambruk. Indonesia, misalnya selama kurang lebih 350 tahun hanya melakukan peperangan demi peperangan untuk mempertahankan kebebasannya sebagai negara.

Indonesia memang menerapkan strategi ekonomi pertumbuhan. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terfokus pada sebagian kecil para pengusaha. Melalui strategi ini, maka ekonomi dipacu secara kuat agar terjadi pertumbuhan yang tinggi. Dengan harapan bahwa ke depan akan terjadi trickle down effect atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi pemicu bagi perluasan dampak ekonomi bagi masyarakat lebih luas.

Memang melalui strategi ini, terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi pada beberapa pengusaha besar yang memang memperoleh privilege di dalam pengembangan perusahaannya. Mereka yang dahulu memperoleh “kemudahan” di dalam pengembangan usaha itulah yang sekarang menguasai asset negara sebagaimana data di atas.

Upaya untuk membangun strategi trickle down effect akhirnya kandas sebab ternyata tidak terjadi penetesan dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia lainnya akan tetapi akumulasi modal usaha justru hanya berkembang di seputar para pengusaha dimaksud. Dampaknya tentu adalah semakin tingginya jurang pemisah antara si kaya yang terdiri dari beberapa gelintir orang dengan masyarakat Indonesia lainnya. Bisa dibayangkan bahwa 1 persen keluarga sangat kaya menguasai 50,3 persen kekayaan negara dan 99 persen masyarakat Indonesia lainnya hanya menguasai sebesar 50,7 persen kekayaan negara.

Dari sebanyak 1 persen keluarga kaya inilah yang kemudian menguasai terhadap semua unit usaha, mulai property, bahan tambang, perhotelan, supermarket, perkapalan, perkebunan, makanan dan minuman dan sebagainya. Mereka adalah pemilik perusahaan-perusahaan besar yang menguasai sejumlah perusahaan raksasa baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka memiliki jaringan-jaringan pengembangan usaha di berbagai negara dan lintas benua.

Sebagai anak strategi kapitalisme, strategi pertumbuhan memang mujarab untuk pengembangan dan percepatan pertumbuhan ekonomi, asalkan target untuk penguatan trickle down effect bisa dikontrol oleh negara. Sayangnya bahwa negara tidak mampu untuk mengerem laju pertumbuhan ekonomi yang hanya terakumulasi di sejulah elit ekonomi yang jumlahnya sebanyak 1 persen tersebut. Akibat yang terjadi adalah akumulasi modal yang hanya berputar pada 1 persen keluarga kaya tersebut. Dan penetesan hasil pertumbuhan ekonomi tidak terjadi pada masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, pembangunan masyarakat yang secara implikatif berjalan puluhan tahun akhirnya tidak menghasilkan kesejahteraan masyarakat secara umum dan hanya menghasilkan akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Jika menggunakan perkiraan besaran jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta, maka yang sungguh-sungguh secara nyata menikmati kue pembangunan hanyalah sebanyak 23.000 orang saja.

Jika mengamati terhadap kenyataan ini, maka peran negara untuk menyejahterakan masyarakat sebagaimana tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 belumlah bisa dilakukan secara maksimal.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

KALEIDOSKOP KEMENTERIAN AGAMA 2015 (3)

Saya perlu untuk menambah tulisan mengenai kaleidoskop Kementerin Agama khusus berbicara mengenai pendidikan agama dan keagamaan. Hal ini saya lakukan mengingat bahwa di dalam penayangan acara Ensikla (Ensiklopedia dan Klasika) saya tidak cukup waktu untuk mengeksplorasi tentang aspek penting, pendidikan agama dan keagamaan ini.

Sebagaimana dipahami bahwa Kementerian Agama (Kemenag) memiliki fungsi penting yaitu mengemban tugas untuk melaksanakan amanat pendidikan agama dan keagamaan. Yaitu pendidikan agama dan keagamaan Islam yang berada dibawah Ditjen Pendidikan Islam, sementara pendidikan agama dan keagamaan Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu berada di dalam program Ditjen agama-agama yang terkait.

Saya ingin melihat ulang tentang pendidikan agama dan keagamaan (khususnya pendidikan Islam), sebab programnya menjadi roh dari Kemenag. Dilihat dari banyaknya program dan anggaran yang didayagunakan oleh Ditjen Pendis mencapai angka 80 persen lebih dari anggaran Kemenag. Hal ini menandakan bahwa selain core pengembangan kehidupan beragama, maka pendidikan Islam juga menjadi core penting bagi kemenag.

Jika dilakukan flashback, maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 merupakan tahun peningkatan kualitas pendidikan Islam. Jika pada tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun peletakan dasar pendidikan Islam berkualitas, misalnya dengan pencanangan Program Madrasah Riset Nasional (Pro-Madrina), pencanangan program pesantren dan pemberdayaan masyarakat, pencanangan MAN Insan Cendekia (MAN IC), penguatan slogan “Madrasah Lebih Baik dan lebih Baik Madrasah” serta perubahan status pendidikan tinggi Islam, penguatan program distingsi dan ekselensi Pendidikan Tinggi Islam, maka tahun 2015 menjadi saksi tentang bagaimana program pendidikan Islam ditingkatkan kualitasnya.

Program-program ini sudah bisa dilihat hasilnya. Melalui program Riset Madrasah, maka semakin mengokohkan bahwa madrasah ternyata memiliki potensi yang sangat kuat untuk berkompetisi dengan sekolah. Tidak hanya di dalam peringkat nasional, tetapi juga di peringkat internasional. Semakin banyak anak-anak madrasah yang menjadi juara di peringkat internasional dalam olimpiade sains dan sebagainya.

Lalu, dewasa ini kita juga melihat bagaimana respon masyarakat terhadap madrasah kita. Peminat madrasah makin membludak. Madrasah-madrasah negeri telah menjadi pilihan utama dan bukan lagi pilihan alternative. Sebuah prilaku yang tidak terbayangkan selama ini, sebab di masa lalu, madrasah hanya berposisi sebagai lembaga pendidikan alternative. Jika sudah tidak diterima di mana-mana, maka yang terakhir masuk ke madrasah. Gaung MAN Insan Cendekia sudah sedemikian kuat, sehingga banyak provinsi dan kabupaten/kota yang menginginkan didirikannya MAN IC tersebut.

Tahun 2015 juga ditandai dengan perlunya diversifikasi lembaga pendidikan, yaitu penguatan pendidikan madrasah berbasis penguasaan agama yang ditempatkan di pesantren, pendidikan kejuruan yang diintregrasikan dengan potensi wilayah dan pendidikan akademis yang relevan dengan tuntutan untuk studi lanjut. Semuanya didayagunakan di dalam kerangka menjemput perlunya kompetisi bangsa di era yang akan datang.

Dunia pesantren pun telah memasuki era baru, yaitu pesantren untuk mendidik tenaga ahli yang berbasis agama. Pendidikan macam apapun bisa dilakukan atau ditempatkan di pesantren, akan tetapi satu hal mendasar bahwa core pendidikan tersebut harus berbasis agama. Melalui kerja sama dengan perbankan, kerja sama dengan dunia usaha dan kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah maupun swasta, maka santri diharapkan menjadi lokomotif bagi perubahan dunia kerja.

Santri harus memiliki kemampuan kompetitif di era MEA dan pasar global. Makanya, santri harus diajari dengan berbagai keahlian yang relevan dengan kepentingan. Meskipun demikian, ciri santri sebagai ahli di bidang agama tetap akan dilestarikan.

Pesantren akan diarahkan untuk berbasis keunggulan wilayah, misalnya pesantren yang berbasis pertanian, perikanan, perindustrian dan sebagainya, selain juga pesantren harus menjadi lokomotif bagi pengembangan wilayah tiga T, yaitu wilayah terluar, tertinggal dan terbelakang. Sudah ada puluhan pesantren yang khusus dikembangkan di wilayah perbatasan.

Di antara yang menjadi mercusuar pendidikan Islam adalah keberadaan institusi pendidikan tinggi. Di antara yang mengedepan di tahun 2014 dan 2015 adalah perubahan status PTKIN yaitu dari STAIN menjadi IAIN dan dari IAIN menjadi UIN. Perubahan ini harus diikuti dengan perubahan kualitas dosen, maka lalu dicanangkan program 5000 doktor untuk mendukung SDM PTKI. Pada tahun 2015 sudah dikirim sebanyak 100 orang dosen lebih untuk belajar ke luar negeri, baik di Barat maupun Timur dan juga ribuan yang belajar di dalam negeri. Mereka belajar ilmu agama dan juga ilmu “non agama”. Melalui program ini, maka ke depan diharapkan akan semakin memperkokoh kajian Ilmu Keislaman multidispiliner dalam proyek nasional “Integrasi Ilmu”.

Ke depan tentu diharapkan agar PTKIN memiliki distingsi, ekselensi dan destinasi. Ke depan bukan lagi kita bangga mengirimkan mahasiswa ke luar negeri, akan tetapi justru bangga menjadi tempat tujuan mahasiswa luar negeri. Jadi, melalui distingsi, ekselensi dan destinasi yang jelas, maka diharapkan PTKIN akan makin bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain, dan juga alumninya dapat bersaing di era kompetisi bebas dewasa ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.