MENDAYAGUNAKAN WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (1)
Beberapa hari yang lalu saya menghadiri acara yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam acara Rapat Koordinasi Badan Wakaf Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Park Jakarta. Acara ini dimaksudkan sebagai konsolidasi akhir tahun menjelang pergantian tahun. Acara ini tentu menarik untuk dicermati sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah untuk menjadikan wakaf sebagai instrument bagi pembangunan bangsa.
Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan BWI, maka tentu saja saya menyampaikan beberapa hal yang saya anggap penting untuk menjadi bahan diskusi di dalam rapat ini. Ada tiga hal yang saya sampaikan dalam sessi diskusi dengan setelah acara pembukaan yang dibuka oleh Ketua BWI, Dr. Mohammad Maftuh Basuni, Mantan Menteri Agama RI.
Pertama, tentang peran Negara dalam gerakan Wakaf Nasional. Pemerintah di dalam konteks perwakafan adalah sebagai regulator dan fasilitator bagi penyelenggaraan dan pengelolaan harta wakaf. Maka, pemerintah dengan seganap aparatnya adalah pemberi kepastian regulasi perwakafan. Regulasi yang dimaksud adalah untuk menghasilkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama terkait dengan perwakafan. Selain itu juga regulasi-regulasi teknis seperti mengenai Keputusan Menteri Agama, pedoman penyelenggaran perwakafan dan sebagainya.
Selain itu juga fasilitator untuk operasional penyelenggaraan perwakafan dan kebersamaan dalam menentukan tindakan-tindakan yang terkait dengan perwakafan. Di dalam konteks ini misalnya adalah penentuan keputusan-keputusan terkait dengan status benda wakaf, di mana Menteri Agama yang menentukan status pengalihan atau status harta wakaf yang diganti dan sebagainya.
Yang tidak kalah menarik adalah peran public services. Hal ini tentu terkait dengan peran Negara sebagai pelayan masyarakat, sehingga apapun yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah tentunya adalah mengenai bagaimana Negara memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan perwakafan. Ternyata bahwa problema perwakafan tidak sedikit. Dengan jumlah tanah wakaf yang sangat gigantic, maka problem perwakafan juga sangat banyak, misalnya tentang dokumen wakaf yang tidak didapati, gugatan hukum ahli waris, kelambatan pengurusan wakaf, pengalihan fungsi wakaf, di atas tanah wakaf didirikan bangunan pemerintah, dan sebagainya.
Makanya, kerjasama antara BWI dengan Kementerian Agama (baca Direktorat Wakaf) menjadi sangat penting. Sebagaimana dipahami bahwa ruang kosong untuk kerjasama ini harus diisi oleh kedua belah pihak. Jika Kemenag sebagai regulatornya, maka oeperatornya adalah BWI. Oleh karena itu, pembahasan demi pembahasan mengenai problem-problem ini sangatlah mendasar untuk dibicarakan.
Kedua, BWI memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengembang pengembangan harta wakaf terutama terkait dengan pengembangan ekonomi berbasis wakaf, pengembangan kesehatan masyarakat berbasis wakaf, pengembangan agama dan pendidikan berbasis wakaf. Semua ini dilakukan sebagai akibat dari fungsi operator yang dimiliki oleh BWI. Selain fungsi ini, maka BWI juga berwenang untuk memfasiltasi administrasi persetujuan wakaf, pertukaran harta wakaf, dan juga pergantian fungsi harta wakaf. BWI memiliki peran administrative dan kebijakan terkait dengan pengembangan fungsi harta wakaf, persetujuan pemindahan atau pengalihan fungsi harta wakaf. Sebagai contoh adalah pengalihan tanah wakaf pondok pesantren di tangah kota Jakarta menjadi di wilayah pinggiran Jakarta dengan nilai yang menguntungkan pondok pesantren. Dilihat dari sisi prospek harta wakaf tentu saja asset wakaf di Jakarta akan lebih cepat berkembang, akan tetapi bahwa pondok pesantren tidak bisa berkembang secara lebih optimal sebab luasan tanah wakafnya terbatas.
Ketiga, ada fungsi yang bisa diemban bersama antara Kemenag dengan BWI, yaitu fungsi perumusan kebijakan bersama, pembinaan terhadap pengelola wakaf dan melakukan komunikasi serta koordinasi di dalam kerangka memecahkan problem perwakafan.
Pemerintah sebagai pemeran public services, dan BWI sebagai badan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan perwakafan sesungguhnya memiliki kejelasan kewenangannya. Jika kemenag berperan sebagai regulator dan BWI sebagai operator, maka di antara keduanya tentu bisa menyelenggarakan sinergi program untuk pengembangan perwakafan. Jika peran ini dapat dilakukan secara maksimal, tentu akan banyak peran signifikan di dalam pengembangan perwakafan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Bukankah Universitas Al Azhar menjadi hebat dalam ratusan tahun dengan membiayai mahasiswa dari berbagai Negara disebabkan oleh perwakafan produktif.
Perwakafan adalah raksasa tidur yang menunggu untuk dibangunkan. Ibarat Kesatria Kumbakarna yang bertapa tidur maka membutuhkan untuk dibangunkan untuk berperang melawan musuh negara. Di dalam konteks ini Kumbakarna bukan membela kakaknya, Raja Rahwana, akan tetapi Kumbakarna justru membela agar negaranya tidak dikalahkan dan dijajah oleh negara lain.
Dengan menggunakan logika cerita Ramayana ini, maka saya ingin menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya dunia wakaf di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi dahsyat untuk digerakkan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dan bangsa.
Jadi, Kemenag dan BWI yang sesungguhnya memiliki peluang untuk membangunkannya dengan kerja keras dan ikhlas untuk kepentingan pemberdayaan umat Islam. Wakaf adalah kekayaan umat Islam yang ke depan akan dapat menjadi kekuatan bagi pembangunan umat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.