RENUNGAN AWAL TAHUN PERLUNYA MEMPERKECIL GAP KESEJAHTERAAN (1)
Salah satu rilis terakhir mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan penguasaan ekonomi oleh sekelompok orang di Indonesia ternyata sungguh belum menggembirakan.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia disebutkan bahwa 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen seluruh kekayaan di negeri ini. Dibandingkan dengan Negara lain, penguasaan oleh 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia masih kalah dengan ketimpangan yang terjadi di Rusia dan Thailand. Rusia dengan angka 66,2 persen, sementara Thailand dengan 50,5 persen.
Negara-negara Asia dapat digambarkan, bahwa yang terbaik adalah Jepang dengan kompisisi 1 persen menguasai 17,9 persen, Singapura 28,6 persen, Taiwan 32,7 persen, Tiongkok 37,2 persen, Korea Selatan 40,1 persen, India 49,0 persen. Dengan demikian, Jepang adalah negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia.
Gambaran lain yang didapatkan adalah banyaknya negara-negara Eropa dengan tingkat penguasaan 1 persen orang kayanya terhadap kekayaan negara yang lebih baik. Hal ini menandakan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi di negara-negara Eropa Barat jauh lebih baik dibandingkan di Asia, Amerika Utara maupun Selatan atau lainnya. Di sisi lain, tetangga kita, Australia dan Selandia Baru juga sangat baik komposisi penguasaan kekayaan negara oleh keluarga terkaya di sana. Australia dengan komposisi 21,1 persen dan Selandia baru 23,9 persen.
Malaysia tidak tercantum di dalam data ini, akan tetapi yang jelas, rasanya Malaysia akan lebih baik kondisi penguasaan 1 persen keluarga terkaya atas kekayaan negara dibanding Indonesia. Hal ini tentu berkat kebijakan yang disebut sebagai New Economic Polecy (NEP) pada zaman Perdana Menteri Mahathir Muhammad.
Sebagaimana dipahami bahwa kesenjangan ekonomi yang terjadi di beberapa negara mantan jajahan memang memprihatinkan. Negara-negara Eropa yang menjadi penjajah atau tidak menjadi penjajah tidak terkena problem ekonomi karena kekayaannya yang diambil secara paksa. Akan tetapi negara-negara dunia ketiga, yang kebanyakan mengalami penjajahan, maka sumber ekonominya nyaris ambruk. Indonesia, misalnya selama kurang lebih 350 tahun hanya melakukan peperangan demi peperangan untuk mempertahankan kebebasannya sebagai negara.
Indonesia memang menerapkan strategi ekonomi pertumbuhan. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terfokus pada sebagian kecil para pengusaha. Melalui strategi ini, maka ekonomi dipacu secara kuat agar terjadi pertumbuhan yang tinggi. Dengan harapan bahwa ke depan akan terjadi trickle down effect atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi pemicu bagi perluasan dampak ekonomi bagi masyarakat lebih luas.
Memang melalui strategi ini, terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi pada beberapa pengusaha besar yang memang memperoleh privilege di dalam pengembangan perusahaannya. Mereka yang dahulu memperoleh “kemudahan” di dalam pengembangan usaha itulah yang sekarang menguasai asset negara sebagaimana data di atas.
Upaya untuk membangun strategi trickle down effect akhirnya kandas sebab ternyata tidak terjadi penetesan dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia lainnya akan tetapi akumulasi modal usaha justru hanya berkembang di seputar para pengusaha dimaksud. Dampaknya tentu adalah semakin tingginya jurang pemisah antara si kaya yang terdiri dari beberapa gelintir orang dengan masyarakat Indonesia lainnya. Bisa dibayangkan bahwa 1 persen keluarga sangat kaya menguasai 50,3 persen kekayaan negara dan 99 persen masyarakat Indonesia lainnya hanya menguasai sebesar 50,7 persen kekayaan negara.
Dari sebanyak 1 persen keluarga kaya inilah yang kemudian menguasai terhadap semua unit usaha, mulai property, bahan tambang, perhotelan, supermarket, perkapalan, perkebunan, makanan dan minuman dan sebagainya. Mereka adalah pemilik perusahaan-perusahaan besar yang menguasai sejumlah perusahaan raksasa baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka memiliki jaringan-jaringan pengembangan usaha di berbagai negara dan lintas benua.
Sebagai anak strategi kapitalisme, strategi pertumbuhan memang mujarab untuk pengembangan dan percepatan pertumbuhan ekonomi, asalkan target untuk penguatan trickle down effect bisa dikontrol oleh negara. Sayangnya bahwa negara tidak mampu untuk mengerem laju pertumbuhan ekonomi yang hanya terakumulasi di sejulah elit ekonomi yang jumlahnya sebanyak 1 persen tersebut. Akibat yang terjadi adalah akumulasi modal yang hanya berputar pada 1 persen keluarga kaya tersebut. Dan penetesan hasil pertumbuhan ekonomi tidak terjadi pada masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, pembangunan masyarakat yang secara implikatif berjalan puluhan tahun akhirnya tidak menghasilkan kesejahteraan masyarakat secara umum dan hanya menghasilkan akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Jika menggunakan perkiraan besaran jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta, maka yang sungguh-sungguh secara nyata menikmati kue pembangunan hanyalah sebanyak 23.000 orang saja.
Jika mengamati terhadap kenyataan ini, maka peran negara untuk menyejahterakan masyarakat sebagaimana tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 belumlah bisa dilakukan secara maksimal.
Wallahu a’lam bi al shawab.