RENUNGAN AWAL TAHUN PERLUNYA MEMPERKECIL GAP KESEJAHTERAAN (2)
Saya tidak ingin menyatakan bahwa kita terlambat untuk mengantisipasi dampak trickle down effect yang gagal memberikan jaminan penguatan ekonomi masyarakat secara lebih luas. Akan tetapi memang harus diakui bahwa program penguatan ekonomi masyarakat secara umum memang belumlah mencapai target atau memenuhi keinginan kita semua.
Hal ini tentu dapat dilihat dari masih banyaknya jumlah masyarakat miskin Indonesia dewasa ini. Masih terdapat sebanyak 16 persen rakyat Indonesia yang miskin, baik dalam kategori benar-benar miskin atau yang menjadi miskin karena perkembangan ekonomi yang tidak memihak pada mereka.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah rakyat miskin kita menjadi meningkat seirama dengan kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat dan juga peningkatan harga beli komoditas dalam berbagai macamnya. Bukankah dengan peningkatan nilai tukar dolar, maka semua jenis produk baik dari dalam mapun dari luar negeri menjadi meningkat. Dan sebagai akibatnya adalah daya beli masyarakat menjadi makin menurun. Ada sebuah gambaran bahwa dewasa ini yang terpenting adalah bisa memenuhi kebutuhan konsumsi bagi keluarga.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya rata-rata 4,9 persen sampai akhir Desember 2015 tentu menjadi sinyal bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di dalam kenyataan yang kurang menguntungkan. Seharusnya dengan meningkatnya nilai kurs dolar, maka perdagangan luar negeri akan menjadi untung, namun disebabkan kelesuan perdagangan internasional juga menjadi menyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu perdagangan impor tentu juga mengalami kendala yang sangat signifikan sebab melonjaknya barang-barang komoditas dari luar negeri dan lemahnya perdagangan di dalam negeri.
Di dalam konteks ini, rasanya negara belumlah hadir secara maksimal untuk memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Memang sudah ada beberapa paket kebijakan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah, akan tetapi dampak langsungnya tentu belumlah bisa dirasakan. Paket kebijakan ekonomi baru sampai tahapan untuk menggairahkan dunia usaha, akan tetapi bagaimana dunia usaha tersebut memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat tentu masih bisa dipertanyakan.
Salah satu di antara instrument yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk memberikan kepastian mengenai keterlibatan para pengusaha kepada rakyat miskin atau para pengusaha kecil adalah mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) atau Gerakan Bina Lingkungan Sosial yang seharusnya menjadi andalan bagi para pengusaha agar terlibat di dalam konteks pengembangan ekonomi kerakyatan.
Di Indonesia sudah dirumuskan beberapa tahun lalu mengenai regulasi ini. Di dalam Undang-Undang CSR tentu sudah dirumuskan mengenai bagaimana seharusnya para pengusaha dapat menyisihkan sebagian kecil dari keuntungannya untuk didayagunakan bagi pengembangan ekonomi kerakyatan dimaksud.
Instrument undang-undang ini semestinya bisa menjadi kekuatan negara untuk melakukan tindakan yang tegas agar para pengusaha melakukan yang terbaik bagi negara ini. Bukankah mereka menjadi besar karena peran negara yang menjamin usahanya dapat tumbuh berkembang di Indonesia dan kemudian juga peran masyarakat yang membeli komoditas yang diproduksi oleh para pengusaha. Melalui pendayagunaan CSR atau Bina Lingkungan Sosial, maka akan terjadi simbiosis mutualisme antara perusahaan, negara dan masyarakat.
Secara ideal, bahwa konsep CSR atau Bina Lingkungan Sosial tentu sangat baik. Konsep ini diadopsi dari model social market yang memang memberikan peluang bagi dunia usaha untuk memberikan sedekahnya bagi perkembangan ekonomi rakyat. Dengan demikian, maka akan terjadi pola saling memberikan perlindungan dan pengembangan bagi kedua belah pihak. Model pengembangan ekonomi yang diadopsi dari konsep campuran antara sistem kapitalisme dengan sistem sosialisme ini sebenarnya bisa menjadi salah satu instrument yang andal bagi program trickle down effect.
Ada banyak instrument untuk melakukan pemihakan secara ekonomi terhadap percepatan program ekonomi kerakyatan ini selain penerapan CSR yang ketat, yaitu melalui pajak perusahaan. Pajak tentu bisa menjadi salah satu sarana bagi pemerintah untuk melakukan pembiayaan pembangunan khususnya mengentas ekonomi rakyat. Hanya sayangnya bahwa pendapatan pajak juga belum maksimal yang disebabkan oleh salah satunya adalah ketaatan membayar pajak bagi para pengusaha. Dengan memaksimalkan pendapatan pajak dari pengusaha, maka akan bisa didayagunakan untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas.
Di era pemerintahan sekarang, terdapat konsep yang sangat baik, misalnya dengan membangun masyarakat dari pinggiran melalui implementasi pemberian dana desa dengan nilai sebesar satu milyar rupiah. Jika dana ini dapat dialokasikan dengan baik dan tepat sasaran bukan tidak mungkin akan terjadi perubahan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap dana desa lalu menjadi urgen untuk dilakukan.
Jika sinergi antara anggaran negara melalui APBN dan kemudian dipadukan dengan dana CSR atau Bina Lingkungan Sosial untuk kepentingan membangun ekonomi masyarakat pinggiran, maka ke depan diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan bagi perbaikan ekonomi rakyat.
Jadi, negara sebenarnya telah memiliki instrument untuk melakukan percepatan bagi program trickle down effect tersebut melalui perangkat regulasi yang perlu diperkuat di dalam implementasinya. Hanya saja bahwa regulasi, sinergi dan implementasinya memang harus dilakukan secara lebih utuh dan mendasar.
Wallahu a’lam bi al shawab.