MENDORONG WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (2)
Sebagaimana diketahui bahwa wakaf sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa sebagai instrument untuk pemberdayaan masyarakat. Luas tanah wakaf, yang secara matematis empat kali luas Negara Singapura, sebenarnya bisa menjadi sumber peningkatan kualitas kehidupan umat Islam.
Sebagaimana biasanya, tulisan ini juga akan membahas tiga hal yang saya anggap sangat urgen untuk dibahas di dalam kesempatan diskusi atau pertemuan-pertemuan baik di BWI maupun kemenag. Ada tiga hal yang akan saya bahas di dalam tulisan ini, yaitu:
Pertama, Memang harus diakui bahwa masalah perwakafan bukanlah masalah yang sederhana, sebab misalnya dalam masalah tanah wakaf, seringkali antara wakif dan keluarganya tidak lagi seirama. Jika status wakaf tersebut belumlah clear dan clean, maka dalam banyak terjadi kasus gugatan dari pihak keluarga wakif. Maka problem utama mengenai wakaf tanah adalah pada dokumentasi yang belum jelas. Dengan demikian, BWI dan pemerintah mestilah menjalankan fungsinya untuk bekerja sama di dalam penanganan terhadap masalah wakaf ini.
Kedua, sumber daya manusia yang memiliki concern terhadap perwakafan juga belumlah memadai. Masih sangat banyak anggota masyarakat kita yang belum memiliki pemahaman mengenai besarnya fungsi wakaf untuk mengembangkan potensi ekonomi, pendidikan, agama di kalangan masyarakat. Makanya, secara empiris banyak tanah wakaf yang idle atau bahkan tidak diurus status wakafnya, tidak didayagunakan untuk pengembangan masyarakat dan yang lebih parah adalah dibiarkan tanpa ada yang perduli.
Terkait dengan SDM ini, maka ada usulan menarik di dalam forum Rakor wakaf, agar Kemenag bisa mendayagunakan para pejabat fungsional di setiap KUA untuk menjadi tenaga yang secara khusus menangani perwakafan. Usulan ini patut dipikirkan terkait dengan banyaknya pejabat fungsional di KUA, khususnya di KUA DKI. Jika di sebuah KUA terdapat pejabat lebih di dalam menangani fungsi tertentu, dikhawatirkan akan terjadi double fungsi di kalangan mereka.
Melalui refungsionalisasi menuju kepada pejabat fungsional tertentu ini, misalnya jabatan fungsional perwakafan dan zakat, maka akan didapati satu unit khusus yang menangani kegiatan dimaksud. Refungsionalisasi para pejabat fungsional di KUA menjadi Pejabat Fungsional tertentu tersebut akan bisa mengurangi beban KUA di dalam fungsionalisasi para pejabatnya.
Saya secara khusus sudah meminta kepada Kepala Biro Organisasi dan Tata Kelola (Ortala) Kemenang untuk menyiapkan satu naskah akademis untuk dijadikan sebagai landasan melakukan refungsionalisasi. Untuk melakukan penambahan jabatan di dalam struktur organisasi dan tata kelola Kementerian/lembaga memang haruslah direkomendasi oleh Kemenpan-RB dan baru dirumuskan PMA.
Sesungguhnya dibutuhkan analisis dan pemetaan jabatan untuk menentukan apakah jabatan fungsional tertentu –perwakafan dan zakat—ini diperlukan secara mendesak atau tidak. Namun demikian, kalau diharapkan percepatan untuk melakukan pemberdayaan wakaf dan zakat, maka kiranya memang sungguh urgen untuk membahas dan kemudian merumuskan struktur jabatan baru ini.
Saya kira, restrukturisasi dan refungsionalisasi ini mutlak diperlukan sebagai jalan keluar untuk melakukan reposisi terhadap para pejabat fungsional umum yang bertebaran di kantor-kantor urusan agama. Saya kira melakukan reposisi kewilayahan bukanlah masalah yang sederhana, sebab menyangkut banyak variabel yang harus dipertimbangkan. Misalnya, rumah, keluarga, pendidikan anak, lingkungan dan sebagainya. Namun melalui implementasi reposisi berbasis pada profesi lain yang urgent tentu masih sangat mungkin untuk dilakukan.
Untuk merealisasikan gagasan ini, maka yang diperlukan adalah bagaimana koordinasi antara biro kepegawaian, biro organisasi dan tata kelola, dan perencanaan untuk menyiapkan hal-hal yang terkait dengan perubahan nomenklatur ini. Saya kira bukan merupakan pekerjaan sulit yang tidak terjangkau.
Ketiga, membangun budaya administrasi perwakafan yang memadai. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu problem mendasar mengenai perwakafan adalah terkait dengan kelengkapan dokumentasi. Oleh karena itu, tentu diperlukan tim administrator yang kuat agar pendokumentasian wakaf dapat dilakukan secara memadai. Itulah sebabnya Kemenag baik di pusat maupun di daerah harus memiliki concern tentang perwakafan ini. Demikian pula BWI baik di pusat maupun di daerah juga harus memiliki kepedulian yang kuat tentang pengadministrasian perwakafan.
Dengan demikian, SDM yang memiliki kesadaran tentang pentingnya administrasi, lalu pentingnya pendataan wakaf dan pengembangan potensi wakaf untuk kesejahteraan umat dirasakan sebagai hal urgen yang ke depan menjadi tugas dan tanggung jawab untuk dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.