MENDORONG WAKAF UNTUK KESEJAHTERAAN (3)
Di dalam acara raker akhir tahun, BWI membahas tentang evaluasi kinerja BWI tahun 2015 dan menyambut program tahun 2016. Acara ini dihadiri oleh Dewan Penasehat dan pimpinan Pusat BWI. Hadir pada acara ini adalah Dr. Maftuh M. Basuni dan segenap jajaran pimpinan BWI.
Saya hadir di dalam kapasitas mewakili Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Beliau tidak bisa hadir sebab harus mendampingi Presiden RI, Bapak Joko Widodo, pada acara Natal Bersama tahun 2015 yang dipusatkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan tiga hal mendasar terkait dengan problema mendasar BWI dalam tataran signifikansinya bagi kehidupan umat Islam. Saya mencoba untuk menguraikan secara general tentang hal tersebut.
Pertama, mengenai tantangan BWI di era yang akan datang. BWI memerlukan penguatan organisasi. Sebagai penyelenggara kebijakan di sektor perwakafan, maka secara organisasional BWI haruslah menjadi organisasi yang kuat dan berwibawa. BWI harus menjadi organisasi yang secara program sangat relevan dengan tuntutan mengembangkan kehidupan umat Islam dan dari sisi SDM juga harus kuat berada di era kompetisi yang makin kompleks.
BWI mestilah sejajar dengan organisasi sosial keagamaan lainnya yang sudah terlebih dulu eksis di masyarakat. Organisasi ini (BWI) akan menjadi berwibawa jika para punggawanya memiliki kemampuan manajerial dan komunikasi atau kerja sama yang sangat baik dengan lembaga lainnya di dalam kerangka mengembangkan program-programnya.
Para punggawa BWI di tingkat pusat saya kira sudah dihuni oleh sejumlah personal yang sangat kuat komitmennya pada pemberdayaan masyarakat. Ada sejumlah nama yang saya kira sudah sangat relevan dengan misi BWI ke depan. Namun yang diperlukan adalah bagaimana BWI kemudian bisa menjadi inspirator dan fasilitator bagi berbagai kepentingan perwakafan yang memang harus diselesaikan secara antar kelembagaan. Sehubungan dengan makin banyaknya masalah perwakafan, maka kemampuan manejerial saja saya kira harus juga ditopang dengan kemampuan untuk berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang bertalian dengan masalah-masalah perwakafan.
Problem yang saya kira masih perlu untuk dicari solusinya adalah keterbatasan SDM di daerah dan daya jangkau organisasi untuk menjelajah seluruh masalah yang harus dicarikan solusinya. BWI sebagai kepanjangan tangan pemerintah tentu harus menjadi organisasi yang dapat bersinergi secara utuh, berkomunikasi dan berkoordinasi secara sepadan dengan organisasi lainnya. Lalu juga memiliki kepanjangan tangan untuk menjangkau masyarakat perwakafan yang memang membutuhkan fasilitasi untuk mengembangkan wakaf berbasis pemberdayaan masyarakat.
Kedua, Yang tidak kalah menarik untuk dicermati adalah penguatan peran dan fungsi BWI untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, penguatan sosial dan budaya serta penguatan pendidikan, kesehatan dan keagamaan. BWI adalah lembaga keagamaan yang memiliki multi fungsi di tengah kehidupan masyarakat. Mungkin di dalam waktu dekat, yang perlu didrive dengan kuat adalah mengenai peran ekonomi dan pendidikan BWI.
Wakaf sesungguhnya memiliki dimensi penguatan pendidikan dan ekonomi yang sangat mendasar. Jika kita perhatikan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan Islam mendasarkan pengembangannya pada keberadaan wakaf ini. Artinya bahwa modal dasar untuk pengembangan pendidikan adalah melalui wakaf. Makanya, ke depan saya kira yang terpenting adalah bagaimana mendayagunakan tanah-tanah wakaf untuk kepentingan pendidikan, baik madrasah maupun pesantren.
Pengembangan pendidikan tentu harus disandingkan dengan pengembangan ekonomi dan kesehatan. Melalui pengembangan wakaf untuk pemberdayaan ekonomi dan kesehatan, maka lembaga pendidikan Islam dan juga masyarakat luas akan dapat menikmati manfaat wakaf bagi mereka. Oleh karena itu kiranya diperlukan kerja sama dengan berbagai segmen masyarakat maupun dunia usaha agar tanah-tanah wakaf yang belum termanfaatkan secara maksimal dapat didayagunakan untuk kepentingan ekonomi dimaksud. Bayangkan misalnya di Demak terdapat tanah wakaf seluas 190-an hektar. Maka, tanah wakaf ini tentu bisa didayagunakan untuk pengembangan berbagai hal.
Ketiga, merancang program yang berkesinambungan. Program yang baik adalah manakala program tersebut memiliki kesinambungan dengan program di masa lalu. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan relevansi antara program, implementasi dan evaluasinya. Diperlukan ketepatan program, sasaran dan kebutuhan masyarakat. Issu yang sekarang sedang hangat adalah mengenai pemberdayaan masyarakat dengan berbagai variasinya. Makanya, di dalam penyusunan program mestilah dipertimbangkan dimensi kebutuhan sasaran, ketepatan sasaran dan bagaimana program tersebut dilaksanakan.
Saya berpendapat, bahwa tahun 2016 haruslah menjadi tonggak bagi peletakan dasar pendataan yang baik mengenai perwakafan, penyediaan SDM yang memadai untuk kepentingan agen pemberdayaan masyarakat, penataan organisasi yang kuat dan membuat percontohan tentang pemanfaatan wakaf produktif, serta bagaimana dapat menyelesaikan masalah-masalah perwakafan yang masih banyak.
Peletakan strategi dasar ini merupakan program besar BWI yang dapat dijadikan sebagai tonggak mendasar untuk pengembangan peran BWI di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.