MANAJEMEN KINERJA PADA KEMENTERIAN AGAMA (1)
MANAJEMEN KINERJA PADA KEMENTERIAN AGAMA (1)
Dalam beberapa kesempatan memberikan pengarahan di Kantor Wilayah Kementerian Agama maupun di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri, maka saya selalu sampaikan tentang implementasi manajemen kinerja atau yang juga disebut sebagai manajemen performa atau Performance Management.
Semenjak digulirkan reformasi birokrasi sampai kemudian di periode kepemimpinan Presiden SBY, maka gerakan reformasi birokrasi menjadi tema-tema utama di dalam berbagai kesempatan untuk dibicarakan. Tema reformasi birokrasi menjadi visi ke depan perbaikan dunia birokrasi yang terus digulirkan.
Melalui Kementerian PAN dan RB, maka gema reformasi birokrasi terus dikumandangkan di dalam kerangka menjawab tuntutan reformasi birokrasi, agar pelayanan birokrasi kita makin baik dan melayani. Makanya, di setiap kementrian dan lembaga juga dicanangkan gerakan reformasi birokrasi sebagai keharusan yang tidak lagi boleh ditawar.
Melalui program ini, maka dikembangkan program evaluasi atas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan juga penghargaan atas kinerja PNS atau ASN dengan pemberian tunjangan kinerja (tukin) sesuai dengan tingkatan prosentasi kinerjanya. LAKIP menjadi ukuran penting untuk menilai apakah sebuah kementerian sudah melakukan reformasi atau belum secara terukur.
Di dalam perjalanan perumusan LAKIP di Kemenag, kita tentu bersyukur bahwa kita telah masuk di dalam peringkat B dengan total nilai 62,01 berdasarkan atas penilian perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja dan capaian kinerja Kemenag.
Dari sebanyak 77 K/L yang dinilai, dapat diketahui bahwa yang memperoleh nilai A sebanyak 4 Kementerian, yang mendapatkan nilai BB sebanyak 21 Kementerian/L, yang memperoleh nilai B sebanyak 36 K/L dan yang memperoleh nilai CC sebanyak 16 K/L. Jadi Kemenag berhasil masuk dalam 36 K/L yang memperoleh penilaian B.
Selama empat tahun terakhir, kita selalu mendapatkan nilai CC, dan baru tahun 2015 memperoleh penilain positif. Batas terendah untuk memperoleh nilai B adalah 60, maka angka 62,01 tentu sudah melampaui nilai terendah kategori B. Ke depan harus diancangkan bahwa andaikan nilai LAKIP kita tetap B, akan tetapi perolehan nilai kuantitatifnya mestilah harus di atas angka 70.
LAKIP tentu saja hanya sebagian dari totalitas penilaian yang dilakukan oleh factor eksternal. Akan tetapi yang juga sangat penting adalah evaluasi kinerja yang dilakukan secara internal. Di Inspektorat Jenderal telah dilaksanakan Evaluasi Kinerja dengan menggunakan metode Balance Scored Card. Sementara itu juga dilakukan evaluasi kinerja secara bertahap, yaitu evaluasi kinerja oleh Menteri terhadap kinerja Pejabat Eselon I, dan juga evaluasi kinerja oleh eselon II (Kakanwil) atas eselon III (Kakankemenag Kabu/kota), dan juga evaluasi Kinerja oleh Rektor/Ketua PTKN terhadap jajaran pejabat setingkat lebih bawah.
Model evaluasi yang dilakukan inilah yang kemudian menegaskan tentang implementasi manajemen kinerja atau manajemen performa. Di dalam manajemen performa ini, maka setiap awal tahun dilakukan penandatangan perjanjian kinerja, lalu dilakukan berbagai program dan kegiatan sesuai dengan target kinerja yang sudah diancangkan, lalu dilakukan evaluasi baik pada tengah tahun maupun akhir tahun. Dari proses evaluasi ini akhirnya diketahui bagaimana pencapaian kinerja dalam bentuk out put atau outcome-nya.
Pertama, harus ditetapkan sasaran kinerjanya. Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) ini menjadi sangat penting di dalam manajemen kinerja. Melalui SKP akan diketahui dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pejabat. SKP adalah sasaran kerja pegawai yang ada dalam salah satu unsur di dalam penilaian prestasi kinerja PNS yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011. Misalnya, Sasaran Kinerja Pegawai yang dirumuskan adalah apa yang akan dilakukan dalam setahun ke depan. Apa yang menjadi program atau kegiatannya, apa kepentingan program tersebut bagi pelanggan kita, baik pelanggan internal maupun eksternal, dan mengapa program atau kegiatan tersebut dilakukan. Sasaran kinerja merupakan aspek kualitatif dari apa dan mengapa hal tersebut dilakukan.
Kedua, indicator kinerja merupakan uraian yang mendasar mengenai apa saja yang dilakukan. Jadi indicator kinerja merupakan rincian atas sasaran kinerja. Ia mencakup apa saja yang akan dilakukan secara rinci, dan bagaimana cara melakukannya. Indicator kinerja merupakan aspek kuantitatif dari sasaran kinerja, yang biasanya diterjemahkan ke dalam uraian kuantitatif dan memungkinkan pengukuran dilakukan. Misalnya, berapa jumlah dokumen pegawai yang dapat dilayani untuk pengurusan administrasi kepangkatannya, berapa dokumen aturan dalam bentuk PMA, KMA atau regulasi lainnya yang bisa dihasilkan, berapa dokumen perencanaan program setiap unit eselon I yang dapat diselesaikan, berapa dokumen anggaran yang bisa dihasilkan dan sebagainya.
Ketiga, capaian kinerja merupakan pengungkapan kuantitatif yang memungkinkan dilakukan pengukuran dengan rumus tertentu. Misalnya diungkapkan berapa persen capaian kinerja tersebut akan dapat dilakukan. Jadi, capaian kinerja merupakan harapan atas ketercapaian sasaran dan indicator kinerja. Bisa diungkapkan misalnya 100 persen, 90 persen dan sebagainya. Melalui matriks ini, maka pada akhirnya di akhir tahun akan dapat diungkapan berapa persen secara keseluruhan program tersebut dapat dilaksanakan.
Melalui mekanisme manajemen kinerja atau manajemen performa ini, maka pimpinan akan dapat mengetahui apa yang bisa dilakukan, bagaimana melakukannya dan bagaimana hasilnya.
Dengan demikian, maka akan dapat diketahui tingkat keberhasilan atau kegagalan seorang pejabat di dalam mengemban tugasnya untuk melayani masyarakat, baik secara umum maupun khusus. Jadi, akan bisa diketahui mana yang professional dan mana yang tidak professional.
Wallahu a’lam bi al shawab.