• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (2)

PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (2)

Saya merasakan bahwa selama empat tahun saya berkiprah di Kementerian Agama sebagai Pejabat Eselon I, maka baru kali ini sebuah PMA diuji dengan berbagai kerumitan. Ada puluhan PMA yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, akan tetapi selama ini tentu tidak menjadi persoalan yang krusial.

PMA 68 Tahun 2015 tentu dirumuskan juga dengan sangat hati-hati. Bahkan sekian banyak pertemuan dilakukan untuk membahas RPMA ini. Tidak hanya antara Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Dirdiktis) dengan Biro Hukum dan KLN Kemenag, akan tetapi juga melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan para akademisi dan intelektual dan juga antar pejabat Eselon I dan bahkan dengan Pak Menteri Agama RI. Sungguh PMA ini sangat seksi di tengah upaya untuk menata regulasi terkait dengan pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

Sesungguhnya PMA ini lahir sebagai respon atas situasi kampus di bawah Kemenag. PTKIN diharapkan bisa menjadi motor bagi pengembangan akademis yang unggul atau memiliki distingsi dan ekselensi. Selain itu juga tuntutan untuk mengembangkan kompetensi dan kompetisi. Ada tiga pertimbangan yang mengemuka terkait dengan situasi PTKIN kita.

Pertama, latar sosial untuk pengembangan PTKIN. Perguruan tinggi kita didirikan untuk menjawab akan kebutuhan umat mengenai Islam yang damai, yang memberi rahmat. Dari PTKIN diharapkan agar muncul agen-agen Islam dengan karakter seperti ini. Namun kenyataannya, bahwa ada banyak problem yang dihadapi oleh PTKIN terkait dengan pemilihan rektor. Ada sejumlah konflik yang terus menguat keberadaannya. Bahkan tidak jarang berakhir di pengadilan. Situasi yang tidak kondusif ini akan memicu terus munculnya perluasan area konflik dan tentu akan berakibat pimpinan PTKIN tidak bisa focus mengurus pendidikan tinggi.

Kedua, latar akademis untuk pengembangan pendidikan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan tinggi mengemban tugas yang sangat besar dalam aspek akademik dan professional. Pendidikan tinggi diharapkan menjadi ladang bagi penumbuhan etos akademik dan kesiapan menghadapi perubahan sosial dan budaya yang sangat cepat. Jika pendidikan tinggi tidak menyiapkan mahasiswa dengan bekal yang memadai untuk menghadapi tantangan kehidupan yang makin kompleks berarti pendidikan tinggi tersebut gagal untuk menyiapkan generasi mendatang.

Di dalam Higher Education Long Term Strategy, maka misi utama pendidikan tinggi adalah menyiapkan anak bangsa yang kompetitif atau nation’s competitiveness. Oleh karena itu tugas besar institusi pendidikan tinggi adalah untuk menyiapkan agen-agen masa depan yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang memadai, sehingga ke depan akan mampu berkompetisi dengan bangsa lain.

Ketiga, latar politis. Pemilihan rektor hakikatnya adalah peristiwa politik. Bagaimanapun juga harus dipahami bahwa pemilihan rektor adalah peristiwa politik praktis di dunia akademik. Makanya, di dalam pemilihan rektor selalu terdapat gerakan-gerakan politik yang di dalamnya sarat dengan strategi politik untuk memenangkan pilihan rektor. Dengan demikian aksi dukung mendukung dalam politik praktis pun mengedepan di institusi pendidikan tinggi ini. Upaya untuk memenangkan calon pilihan pun sebagaimana pilkada atau pilpres. Saling mendukung, saling mengungkapkan kelemahan dan kekuatan calon rektor pun menjadi perbincangan yang memanas. Dan yang juga tidak bisa dihindarkan adalah character assassination. Oleh karena itu, pilrek adalah kawasan politik praktis sebagaimana pesta demokrasi di masyarakat. Di antara kelompok yang bersaing juga melibatkan mahasiswa untuk saling mendukung dan menolak. Demonstrasi mahasiswa untuk pilrek juga tidak terhindarkan. Jadi, pilrek merupakan representasi politik praktis di dalam kampus.

Yang justru menjadi masalah adalah problem dampak ikutannya. Melalui pilrek yang bercorak demokrasi liberal, one man one vote, maka perseteruan ternyata terus berlangsung sampai akhir masa jabatan yang bersangkutan. Saya menjadi teringat ada salah seorang rektor PTKIN yang selama empat tahun hanya terlibat menyelesaikan konflik di kampusnya. Sungguh ironis sebab institusi pendidikan tinggi semestinya menjadi lahan penyemaian akademik yang unggul tetapi yang terjadi justru kesebalikannya, yaitu menjadi ladang politik praktis.

Berdasarkan atas analisis empiris tersebut, maka diteribitkan PMA Nomor 68 Tahun 2015 tentang Tatacara Pemilihah Rektor PTKN. Di dalam PMA ini memang dilakukan perubahan yang sangat mendasar, terutama tentang tatacara pemilihan rektor. Jika di dalam PMA sebelumnya tatacara pemilihan rektor menggunakan system one man one vote oleh Senat PTKN, maka di dalam PMA yang baru ini berubah sangat mendasar. Senat tidak melakukan pemungutan suara di dalam pemberian pertimbangan calon rektor. Mereka hanya memberikan pertimbangan kualitatif melalui pengisian borang pilrek, yang terdiri dari integritas, pengalaman, karya akademik, kerja sama dan sebagainya. Sebelum diberikan pertimbangan secara kualitatif oleh anggota senat, maka calon rektor harus memaparkan visi dan misi pengembangan PTKIN di hadapan senat dan civitas akademika. Hasil pertimbangan oleh senat lalu dikirim ke Menteri Agama via Dirjen Pendidikan Islam untuk dilakukan fit and proper test oleh Komisi Seleksi yang terdiri dari akademisi, birokrat, professional dan tokoh masyarakat.

Dengan demikian, yang dikembangkan adalah proses seleksi dan bukan elektasi. Bukan demokrasi liberal akan tetapi demokrasi berbasis musyawarah. Yaitu musyawarah oleh seluruh anggota senat untuk memberikan pertimbangan mana dan siapa calon rektor yang visioner. Dan melalui fit and proper test oleh komisi seleksi yang independen, maka dipastikan akan dihasilkan rektor yang memenuhi kebutuhan pengembangan institusi pendidikan.

Jadi, rasanya terlalu dini jika kemudian dinyatakan bahwa di dalam proses ini ada unsur politisasi oleh Menteri Agama dan jajarannya untuk memutuskan siapa rektor yang terpilih.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (1)

PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (1)

Saya sudah beberapa kali hadir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kali terakhir tatkala terdapat pertemuan para dosen dan pimpinan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam serta Program Studi Ekonomi Syariah, setahun yang lalu. Waktu itu Prof. Minhaji yang menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya ingat betul sebab waktu kedatangan saya itu bersamaan dengan pengukuhan Pak Fachir, Kini Wakil Menteri Luar Negeri, dinobatkan menjadi doctor pada program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta.

Kemarin saya hadir pada acara pembukaan Rapat Kerja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Hotel Alana Solo dan yang menjadi Pgs. Rektornya adalah Prof. Machasin. Beliau diangkat oleh Pak Menteri Agama untuk menjadi Pgs. Rektor karena Prof. Minhaji berhalangan tetap. Prof. Machasin ditugaskan Pak Menteri untuk mengawal proses keterpilihan rektor pengganti Prof. Minhaji untuk periode berikutnya. Sebagaimana diketahui jika rektor definitive berhalangan tetap dalam waktu yang cukup lama –tiga tahun lebih—maka dipastikan akan dipilih rektor baru, namun jika waktunya kurang dari setahun, maka Pgs. Rektor akan menjabat sampai selesai periode itu dan baru kemudian dilakukan pemilihan rektor baru.

Saya tentu menjadi senang, sebab seluruh jajaran rektorat, dekanat dan juga kepala-kepala lembaga menghadiri acara raker ini. Saya merasakan jika ke UIN Jogja, maka semuanya seperti sahabat saya. Ada Prof. Sutrisno, Dr. Ibnu Qizam, Dr. Jarot Wahyudi,  yang pernah bersama-sama “ngangsu kawruh” di Mc Gill University untuk pembelajaran Manajemen Pendidikan Tinggi, tahun 2007. Selain itu juga ada Pak Rajasa Mu’tashim yang juga bersama-sama saat belajar metodologi penelitian Etnografi di Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) di Balitbang Kemenag tahun 1990 di bawah asuan Prof. Parsudi Suparlan. Ada juga Kepala Biro UIN Yogyakarta, Pak Handarlin dan Pak Masykul Haji, yang kedua-duanya adalah mantan Kepala Kanwil Kemenag Provinsi.

Jadi, kalau saya datang ke UIN Yogyakarta, maka rasanya seperti reuni saja dengan sejumlah sahabat yang pernah bersama-sama tersebut. Saya selalu ingat waktu di Mc Gill University, maka setiap malam hanya makan Supermie, sebab hanya itu makanan yang paling berasa Indonesia. Siang makan nasi goreng di restoran Thailand dan malamnya selalu bermenu tetap Supermie.

Situasi di UIN Yogyakarta sebenarnya “sangat kondusif” meskipun ada beberapa penolakan terkait dengan rencana pilihan rektor untuk periode 2016-2020. Ketidaknyamanan ini dipicu oleh penolakan sebagian anggota senat UIN Yogyakarta untuk menerapkan PMA No 68 Tahun 2015. Bahkan ketua Senat UIN Yogyakarta, Prof. Abdul Munir Mulkan adalah penolak paling aktif dan membuat gerakan-gerakan anti PMA ini ke berbagai saluran politis, misalnya DPR, Presiden dan juga Wakil Presiden.

Bagi yang anti PMA ini menyatakan bahwa PMA ini bertentangan dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia, serta mengebiri terhadap otonomi kampus. Bagi kelompok anti PMA ini, bahwa demokrasi harus diartikan sebagai voting, one man one vote. Sehingga seorang rektor itu harus elected. Dipilih berdasarkan prinsip demokrasi liberal, lalu hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk disahkan siapa yang menang.

Bagi mereka yang anti PMA, maka senat universitas memiliki otoritas yang tidak terbantahkan sebagai pemilik demokrasi. Tidak ada tafsir lain, bahwa demokrasi haruslah dipahami sebagai pilihan langsung terhadap calon rektor yang dikehendaki. Harus dengan voting sebagai instrument terbaik untuk menerapkan demokrasi. Musyawarah bukanlah demokrasi.

Disebabkan oleh gerakan anti PMA yang demikian kuat suaranya –meskipun hanya diikuti oleh sebagian kecil—akan tetapi mereka melakukannya dengan totalitas. Makanya, Pak Menag pun harus diundang oleh Komisi VIII DPR RI untuk Raker dengan agenda khusus PMA 68 tahun 2015. Saking kuatnya dorongan dari kelompok anti PMA ini, maka Komisi VIII DPR RI pun melakukan kunjungan ke PTKIN dalam kerangka untuk melakukan hearing dengan anggota-anggota Senat universitas.

Namun demikian, di tengah gelegak penolakan terhadap PMA ini, maka satu sikap yang diambil Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, adalah tetap mempertahankan PMA ini disebabkan oleh analisis sosial dan yuridis yang sangat kuat. Dan untuk kepentingan menjelaskan PMA ini, maka Pak Menteri pun menyempatkan hadir dalam acara dialog dengan anggota Senat UIN Jogya agar akan terjadi pemahaman yang sama mengenai visi dan misi PMA tersebut.

Kejadian semalam, di mana seluruh pejabat UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta hadir pada acara raker, bagi saya tetap memberikan harapan bahwa kebersamaan akan bisa dihadirkan. Jadi, meskipun ada pro-kontra terkait dengan model pilihan rector versi PMA 68/2015, tetapi saya yakin bahwa masih ada sebagian besar lainnya yang menerima sebagai sebuah kenyataan.

Saya selalu berharap bahwa tiga UIN yang sudah terlebih dahulu “mentas” (UIN Jakarta, UIN Malang dan UIN Yogyakarta) sebagai perguruan tinggi berkualitas melalui akreditasi A yang didapatkannya tentu akan tetap menjadi barometer bagi perkembangan PTKIN di bawah Kemenag.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BUDHIS CENTER SEBAGAI PUSAT BELAJAR AGAMA

BUDHIS CENTER SEBAGAI PUSAT BELAJAR AGAMA

Saya diminta oleh Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, untuk mewakili Beliau dalam acara yang sangat penting, yaitu: Pembukaan Rapat Koordinasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Peresmian Budhis Center dan juga Peresmian Kampus II IAIN Samarinda, Kalimantan Timur. Beliau tidak bisa hadir sebab harus mendampingi Presiden Joko Widodo dalam acara KTT Luar Biasa Organisasi Kerjasama Negara-Negara Islam (OKI) di Jakarta.

Saya sebenarnya juga mendapatkan undangan untuk mengikuti acara di KTT OKI, akan tetapi datang ke Samarinda di dalam kerangka tiga acara yang penting ini tentu tidak bisa diabaikan. Makanya, saya harus mewakili Beliau di dalam acara yang sangat monumental ini. Bayangkan bahwa seluruh acara tersebut sudah didesain dengan sangat baik, sehingga jika tidak ada yang mewakili Beliau, maka tentu seluruh acara tersebut menjadi kurang bermakna.

Saya tentu sangat bergembira mendapatkan penugasan dari Pak Menteri untuk meresmikan Budhis Center, meresmikan penggunaan Kampus II IAIN Samarinda dan juga memberikan pengarahan pada acara Rapat Koordinasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Selain saya bisa bertemu dengan Kakanwil Kemenag Kalimantan Timur, Pak Saifi, yang sering memberikan joke-joke baru, juga bertemu dengan Pak Gubernur, H. Awang Faruq Ishaq, yang semangatnya tentu dapat diteladani, serta Pak Arif Harsono, Ketua Walubi yang menggantikan Bu Hartati Murdaya.

Acara dimulai dengan pengguntingan pita sejumlah orang, di antaranya ialah Sekjen Kemenag mewakili Menteri Agama, Gubernur Kaltim, Pangdam VI Mulawarman, Kapolda Kaltim, Pendeta Wang Tsu Guang dari Budhis Maitreya Internasional, Ketua Walubi, Pak Arif Harsono, Dirjen Bimas Budha, Pak Dasikin, Mantan Dirjen Bimas Budha, Pak Budi Setiawan dan sejumlah tokoh lainnya. Pasca pengguntingan pita, maka dilanjutkan dengan upacara peresmian Budhis Center. Pada acara ini ada beberapa sambutan, misalnya dari Panitia Pelaksana, Ketua Walubi, Pendeta Maitreya Internasional, Gubernur Kaltim dan Sekjen Kemenag. Selain itu juga terdapat beberapa tarian, yang menggambarkan keterpaduan antara tradisi Dayak dan modernitas, dan Paduan Suara yang menyanyikan tentang kehebatan Pulau Kalimantan. Satu lagu yang bertajuk “The Heart of Borneo” dapat dinyanyikan dengan sangat indah.

Saya secara khusus akan membahas mengenai acara Peresmian Budhis Center. Peresmian ini saya kira sangat special, sebab Budhis Center di Samarinda ini menjadi satu-satunya bangunan Budhis Center di seluruh Indonesia. Provinsi Kaltim memang memiliki keunikan tersendiri sebab hanya di Provinsi ini yang pusat keagamaannya lengkap. Ada Islamic Center, ada Hindu Center, ada Budhis Center dan akan diusahakan untuk membangun Christian Center. Sungguh visi Pak Gubernur, Dr. Awang Faruq Ishaq, sangat luar biasa.

Acara ini juga dihadiri oleh Maha Guru Budha Maitreya, Bhiksu Wang Tsu Guang, yang merupakan pimpinan tertinggi Budhis Maitreya Internasional. Sesuai dengan tema peresmian Gedung Budhis Center ini, “Dunia Satu Keluarga”, maka Beliau juga memberikan sambutan dalam kaitannya, bagaimana membangun dunia sebagai sebuah keluarga besar. Meskipun dunia ini terdiri dari berbagai suku, agama dan kebangsaan, akan tetapi sebenarnya bahwa mereka semua adalah kita.

Di dalam kesempatan ini, saya ingin mengulang apa yang menjadi keinginan Menteri Agama di dalam membangun kerukunan umat Beragama. Ada tiga hal yang penting, yaitu: pertama, di tengah semakin kuatnya tarikan globalisasi, maka diharapkan bahwa umat beragama harus menjaga kerukunan atau harmoni yang selama ini sudah terbangun sedemikian rupa. Umat Budha harus menunjukkan kemauan yang keras untuk mewujudkan pesan Budha, bahwa “dunia satu keluarga”. Tema ini bukan sekedar sebuah basa-basi, akan tetapi harus bisa menjadi kenyataan. Oleh karena itu, umat Budha harus selalu berada di dalam kerangka menjalankan dharma untuk kerukunan dan kebaikan dunia.

Kedua, Budhis Center harus menjadi wahana untuk mempelajari agama Budha. Tempat ini hendaknya menjadi pusat pembelajaran, pendidikan dan pelatihan untuk menjadi pemeluk Budha yang sebenarnya. Diharapkan bahwa dengan keberadaan Budhis Center ini, maka umat Budha akan menjadi baik pemahaman keagamaannya, makin baik pengamalan beragamanya dan tentu kemudian berimbas pada kebaikan dunia sosial kemasyarakatannya.

Ketiga, kita semua berharap bahwa umat Budha akan dapat membangun kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Umat Budha yang terdiri dari berbagai penggolongannya, tentu harus membangun kesepahaman untuk saling memahami dan mentoleransi, sehingga akan terbangun kerukunan intern umat Budha. Dengan sesama pemeluk agama lain juga harus disepahami adanya perbedaan yang tidak mungkin untuk disatukan. Ada teologi dan ritual agama-agama yang memang harus beda. Oleh karena itu, diharapkan bahwa semua pemeluk agama harus rukun dan damai. Tidak mungkin akan tercipta “dunia satu keluarga” jika di antara umat beragama tidak memiliki kesepahaman untuk saling membina kerukunan dan kedamaian.

Umat Budha juga harus mendukung program pemerintah untuk membangun negeri ini. Maka diharapkan agar kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah akan terus dapat dijaga. Umat beragama harus memberikan support yang sangat kuat untuk tujuan bangsa menyejahterakan dan bahkan membahagiakan masyarakatnya.

Hal ini hanya akan bisa dicapai, jika semua umat beragama berpedoman pada “unity in diversity” atau “Bhinneka Tunggal Ika”. Jadi semua tentu kembali kepada umat beragama untuk mewujudkannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

REGULASI BERBASIS KEMANUSIAAN

REGULASI BERBASIS KEMANUSIAAN

Dalam awal tahun ini, saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pembekalan bagi seluruh jajaran Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri dalam paket acara pembekalan untuk rapat kerja di Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri.

Rapat kerja ini tentu diharapkan sebagai sarana untuk membangun kebersamaan di dalam implementasi kegiatan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri di dalam menghadapi percepatan kegiatan pada tahun 2016. Sebagaimana diketahui bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan agar tahun 2016 dapat dijadikan sebagai momentum untuk mempercepat pelaksanaan program dan kegiatan, sehingga ketercapaian target program dan kegiatan akan bisa lebih dimaksimalkan. Tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang pelaksanaan kegiatan selalu menumpuk di akhir tahun.

Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan beberapa tantangan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri terutama di era keinginan untuk bekerja lebih maksimal dan terukur. Tidak terkecuali, kita juga memiliki tantangan yang tidak kecil di era masyarakat global dan khususnya MEA. Di antara tantangan tersebut, yaitu: Pertama, percepatan perumusan dan penyelesaian regulasi. Hampir dipastikan bahwa setiap unit menginginkan proses perumusan dan penyelesaian regulasi dilakukan dalam waktu yang cepat. Jika bisa dilakukan mungkin minggu ini disampaikan ke Biro Hukum dan Kerjama Luar Negeri dan minggu berikutnya sudah bisa diselesaikan.

Padahal sebenarnya ada sangat banyak regulasi yang di dalam waktu bersamaan harus diselesaikan. Dalam contoh sederhana, misalnya tentang Statuta Perguruan Tinggi Keagamaan. Maka akan didapati sejumlah statuta yang harus diselesaikan dengan berbagai prosesnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa untuk menyelesaikan statuta tersebut, maka dibutuhkan waktu yang relative penjang sebabnya harus ada forum perumusan, koordinasi, harmonisasi dan barulah akan memasuki meja pimpinan untuk memproleh persetujuan dan eksekusi. Oleh sebab itu ada banyak statuta yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang tersedian disebabkan oleh mekanisme yang relative berbelit-belit.

Kedua, paradoks antara teks hukum dan kemanusiaan. Teks hukum haruslah dibuat atau dirumuskan dengan tegas dan jelas untuk kepentingan dasar hukum di dalam menentukan keputusan. Tidak ada kata yang bersifat ambivalens atau diperkirakan menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Itulah sebabnya norma hokum yang dirumuskan haruslah selalu memiliki makna generic bagi siapa saja yang akan menafsirkannya.

Bagi sebagian orang, teks hukum itu bisa bertentangan dengan kemanusiaan. Misalnya, tentang hukuman mati, hukuman seumur hidup, atau hal-hal lain yang terkait dengan hilangnya kebebasan bagi manusia. Ada sesuatu yang paradoks di dalamnya. Sementara itu teksnya memberi peluang sebesar-besarnya untuk menghukum, sementara manusia tentu menginginkan kebebasan untuk hidup dan memaksimalkan perannya untuk mencapai keinginannya. Di dalam konteks inilah maka terjadi paradoks terkait dengan implementasi hokum.

Bagi saya, maka paradoks hokum dan kemanusiaan harus ditempatkan dalam posisi seperti bandul berayun. Sekali waktu dimensi hokum harus ditegaskan dengan kepastian yang sangat akurat dan tegas, tetapi di sisi lain juga terkadang dimensi kemanusiaan dikedepankan. Mungkin cerita tentang seorang hakim yang memutuskan perkara orang miskin yang dengan keterpaksaannya dan ketidaktahuannya untuk menambil barang di sebuah perkebunan akan bisa menjadi contoh, bagaimana mengayuh relasi hukum dan kemanusiaan tersebut. Hokum harus ditegakkan, sehingga di miskin harus dihukum dengan denda, dan itu kepastian. Tetapi setelah itu si Hakim lalu membalikkan topi hakimnya untuk meminta kepada para hadirin untuk membantu agar si miskin dapat membayar dendanya. Jadi hakim yang baik dan bijaksana ternyata bisa mengambil jalan tengah di antara paradoks hukum dan kemanusiaan ini.

Ketiga, seringkali regulasi tertinggal dengan fakta empiris di lapangan. Perubahan sosial yang sangat cepat terkadang belum bisa diikuti oleh regulasi yang terkait dengan hal tersebut. Di dalam konteks ini maka di satu sisi para regulator harus merumuskan secara tepat dan akurat tentang hokum dan berbagai implikasinya di lapangan sementara itu juga harus merumuskan prediksi-prediksi yang akurat terkait dengan apa dan bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan. Dengan demikian, maka seorang regulator tidak hanya berpikir kekinian akan tetapi juga harus berpikir yang futuristic.

Keempat, problem kerjasama luar negeri juga tidak kalah menarik. Ada sebuah ungkapan yang saya kira memiliki justifikasi kebenaran yang cukup kuat, bahwa “dunia dibangun di atas networking”. Siapa yang memiliki jaringan yang terbanyak, maka dialah yang akan menguasai dunia ini. Biro Hukum dan KLN, saya kira bisa menjadi motor penggerak bagi untuk pengembangan kerjasama antar kelembagaan dengan luar negeri.

Makanya, Biro Hukum dan KLN harus melakukan identifikasi dan juga dokumentasi terhadap naskah-naskah kerjasama kelembagaan dengan luar negeri terutama untuk pengembangan Kemenag. Biro ini tidak hanya merekomendasi siapa-siapa yang akan berkunjung ke luar negeri, akan tetapi juga mendokumentasi hasil kerjasama luar negeri, sehingga akan bisa menjadi bahan data proyeksi bagi pengembangan kemenag di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MANAJEMEN KINERJA KEMENTERIAN AGAMA (2)

MANAJEMEN KINERJA KEMENTERIAN AGAMA (2)

Sebagaimana dipahami bahwa manajemen kinerja sudah menjadi arus utama di dalam dunia birokrasi pemerintahan Indonesia. Semua kementerian dan lembaga (K/L) tidak terkecuali harus menyelenggarakan pemerintahan dengan birokrasi berbasis manajemen kinerja.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan bahwa yang dijadikan ukuran mengenai manajemen kinerja adalah ditetapkannya sasaran kinerja, indicator kinerja dan capaian kinerja. Sasaran kinerja dirumuskan melalui perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan dan kemudian dalam enam bulan atau akhir tahun lalu dilakukan evaluasi kinerja untuk mengetahui seberapa tingkat ketercapaian targetnya.

Di dalam banyak hal, bawahan dibiarkan untuk mencapai target kinerjanya. Mereka memamg diberikan keleluasaan di dalam mencapai target kinerjanya bahkan seakan dibiarkan dengan kemampuan dirinya untuk mencapai target kinerjanya itu. Makanya, kesuksesan atau kegagalan untuk mencapai target kinerja tentu sangat tergantung pada apa yang dilakukannya sendiri.

Berbasis pada pengalaman manajemen kinerja yang seperti ini, maka Maybank Indonesia, yang merupakan bank Malaysia yang telah melakukan akuisisi terhadap Bank International Indonesia, lalu melakukan strategi baru yang disebutnya sebagai Manajemen Performa Berkesinambungan. Berdasarkan uraian dari Majalah Swa, yang pernah saya abaca di Garuda dalam perjalanan Jakarta- Surabaya, maka mereka melakukan autokritik terhadap penerapan manajemen performa semacam ini.

Kritik yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan kembali efektivitas manajemen kinerja yang berlebihan memberikan fungsi kepada bawahan untuk menyelesaikan sendiri pekerjaannya tanpa melakukan komunikasi dengan atasannya. Kritik ini ditujukan justru pada kelompok atasan yang abai terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok bawahannya.

Kelompok atasan selalu berpikir bahwa kelompok bawahannya akan bisa menyelesaikan sendiri terhadap problem pekerjaannya. Dianggapnya bahwa profesionalitas bawahannya dipastikan untuk bisa menyelesaikan setiap problem yang dihadapinya. Itulah sebabnya setiap persoalan perusahaan hanya berhenti dilevel kelompok bawahan. Problem teknis selalu menjadi kewenangan bawahan untuk menyelesaikannya.

Melalui manajemen kinerja berkesinambungan, maka seorang bawahan harus merumuskan sasaran kinerja, target kinerja dan capaian kinerjanya dalam bentuk perjanjina kinerja, sama seperti implementasi manajemen kinerja, akan tetapi bedanya bahwa di dalam manajemen performa berkesinambungan, maka ditekankan pada aspek guidance atau pendampingan selama program atau kegiatan dilakukan sepanjang tahun.

Jika di dalam manajemen kinerja bawahan diabaikan di dalam bekerja untuk menyelesiakan targetnya, maka di dalam manajemen kinerja berkesinambungan atasan selalu terkibat di dalam penyelesiakan setiap masalah baik yang bercorak strategis maupun teknis. Ada forum-forum yang didesaian untuk membincang mengenai hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh bawahan.

Bisa jadi dilakukan kegiatan coffee morning atau sejenisnya untuk membahas berbagai hal yang terkait dengan perbincangan tentang tantangan dan hambatan yang duhadapi bersama. Melalui program seperti ini, maka semua yang berada di dalam program akan merasakannya sebagai bagian dari pengembangan lembaga atau unit usaha yang ditekuninya.

Saya kira dewasa ini banyak perkantoran yang menyelenggarakan acara informal, seperti coffee morning, yang didesain untuk membangun kebersamaan di antara pimpinan dan staf Kementerian/Lembaga. Saya kira program ini akan memiliki manfaat yang sangat signifikan untuk membangun kebersamaan. Yang digunakan untuk menyelesaikan masalah bukanlah rapat formal yang tersistem dengan kaku, akan tetapi melalui perbincangan yang satara antara pimpinan dan bawahan.

Rapat formal digunakan untuk menentukan keputusan terstruktur berdasarkan atas presensi dan masukan-masukan yang terstruktur pula. Yang bisa memberikan masukan atau tanggapan hanyalah “orang yang memiliki nomor punggung”, sementara lainnya hanyalah menjadi penggembira dalam meeting tersebut. Rapat formal hanyalah untuk memberi stempel dan untuk mengetuk palu saja.

Yang sesungguhnya menjadi penting adalah perbincangan di dalam pertemuan informal dalam rupa coffee morning atau jamuan makan siang bersama. Dengan demikian, kesepakatan demi kesepakatan sudah didapatkan dan rapat formal hanyalah akan menjadi sarana untuk memformalkan informal meeting dengan kesepakatan yang sudah dirumuskan.

Wallahu a’lam bi al shawab.