REGULASI BERBASIS KEMANUSIAAN
REGULASI BERBASIS KEMANUSIAAN
Dalam awal tahun ini, saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pembekalan bagi seluruh jajaran Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri dalam paket acara pembekalan untuk rapat kerja di Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri.
Rapat kerja ini tentu diharapkan sebagai sarana untuk membangun kebersamaan di dalam implementasi kegiatan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri di dalam menghadapi percepatan kegiatan pada tahun 2016. Sebagaimana diketahui bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan agar tahun 2016 dapat dijadikan sebagai momentum untuk mempercepat pelaksanaan program dan kegiatan, sehingga ketercapaian target program dan kegiatan akan bisa lebih dimaksimalkan. Tidak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang pelaksanaan kegiatan selalu menumpuk di akhir tahun.
Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan beberapa tantangan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri terutama di era keinginan untuk bekerja lebih maksimal dan terukur. Tidak terkecuali, kita juga memiliki tantangan yang tidak kecil di era masyarakat global dan khususnya MEA. Di antara tantangan tersebut, yaitu: Pertama, percepatan perumusan dan penyelesaian regulasi. Hampir dipastikan bahwa setiap unit menginginkan proses perumusan dan penyelesaian regulasi dilakukan dalam waktu yang cepat. Jika bisa dilakukan mungkin minggu ini disampaikan ke Biro Hukum dan Kerjama Luar Negeri dan minggu berikutnya sudah bisa diselesaikan.
Padahal sebenarnya ada sangat banyak regulasi yang di dalam waktu bersamaan harus diselesaikan. Dalam contoh sederhana, misalnya tentang Statuta Perguruan Tinggi Keagamaan. Maka akan didapati sejumlah statuta yang harus diselesaikan dengan berbagai prosesnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa untuk menyelesaikan statuta tersebut, maka dibutuhkan waktu yang relative penjang sebabnya harus ada forum perumusan, koordinasi, harmonisasi dan barulah akan memasuki meja pimpinan untuk memproleh persetujuan dan eksekusi. Oleh sebab itu ada banyak statuta yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang tersedian disebabkan oleh mekanisme yang relative berbelit-belit.
Kedua, paradoks antara teks hukum dan kemanusiaan. Teks hukum haruslah dibuat atau dirumuskan dengan tegas dan jelas untuk kepentingan dasar hukum di dalam menentukan keputusan. Tidak ada kata yang bersifat ambivalens atau diperkirakan menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Itulah sebabnya norma hokum yang dirumuskan haruslah selalu memiliki makna generic bagi siapa saja yang akan menafsirkannya.
Bagi sebagian orang, teks hukum itu bisa bertentangan dengan kemanusiaan. Misalnya, tentang hukuman mati, hukuman seumur hidup, atau hal-hal lain yang terkait dengan hilangnya kebebasan bagi manusia. Ada sesuatu yang paradoks di dalamnya. Sementara itu teksnya memberi peluang sebesar-besarnya untuk menghukum, sementara manusia tentu menginginkan kebebasan untuk hidup dan memaksimalkan perannya untuk mencapai keinginannya. Di dalam konteks inilah maka terjadi paradoks terkait dengan implementasi hokum.
Bagi saya, maka paradoks hokum dan kemanusiaan harus ditempatkan dalam posisi seperti bandul berayun. Sekali waktu dimensi hokum harus ditegaskan dengan kepastian yang sangat akurat dan tegas, tetapi di sisi lain juga terkadang dimensi kemanusiaan dikedepankan. Mungkin cerita tentang seorang hakim yang memutuskan perkara orang miskin yang dengan keterpaksaannya dan ketidaktahuannya untuk menambil barang di sebuah perkebunan akan bisa menjadi contoh, bagaimana mengayuh relasi hukum dan kemanusiaan tersebut. Hokum harus ditegakkan, sehingga di miskin harus dihukum dengan denda, dan itu kepastian. Tetapi setelah itu si Hakim lalu membalikkan topi hakimnya untuk meminta kepada para hadirin untuk membantu agar si miskin dapat membayar dendanya. Jadi hakim yang baik dan bijaksana ternyata bisa mengambil jalan tengah di antara paradoks hukum dan kemanusiaan ini.
Ketiga, seringkali regulasi tertinggal dengan fakta empiris di lapangan. Perubahan sosial yang sangat cepat terkadang belum bisa diikuti oleh regulasi yang terkait dengan hal tersebut. Di dalam konteks ini maka di satu sisi para regulator harus merumuskan secara tepat dan akurat tentang hokum dan berbagai implikasinya di lapangan sementara itu juga harus merumuskan prediksi-prediksi yang akurat terkait dengan apa dan bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan. Dengan demikian, maka seorang regulator tidak hanya berpikir kekinian akan tetapi juga harus berpikir yang futuristic.
Keempat, problem kerjasama luar negeri juga tidak kalah menarik. Ada sebuah ungkapan yang saya kira memiliki justifikasi kebenaran yang cukup kuat, bahwa “dunia dibangun di atas networking”. Siapa yang memiliki jaringan yang terbanyak, maka dialah yang akan menguasai dunia ini. Biro Hukum dan KLN, saya kira bisa menjadi motor penggerak bagi untuk pengembangan kerjasama antar kelembagaan dengan luar negeri.
Makanya, Biro Hukum dan KLN harus melakukan identifikasi dan juga dokumentasi terhadap naskah-naskah kerjasama kelembagaan dengan luar negeri terutama untuk pengembangan Kemenag. Biro ini tidak hanya merekomendasi siapa-siapa yang akan berkunjung ke luar negeri, akan tetapi juga mendokumentasi hasil kerjasama luar negeri, sehingga akan bisa menjadi bahan data proyeksi bagi pengembangan kemenag di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.