PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (1)
PMA 68 TAHUN 2015 DAN PENGEMBANGAN PTKIN (1)
Saya sudah beberapa kali hadir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kali terakhir tatkala terdapat pertemuan para dosen dan pimpinan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam serta Program Studi Ekonomi Syariah, setahun yang lalu. Waktu itu Prof. Minhaji yang menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya ingat betul sebab waktu kedatangan saya itu bersamaan dengan pengukuhan Pak Fachir, Kini Wakil Menteri Luar Negeri, dinobatkan menjadi doctor pada program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta.
Kemarin saya hadir pada acara pembukaan Rapat Kerja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Hotel Alana Solo dan yang menjadi Pgs. Rektornya adalah Prof. Machasin. Beliau diangkat oleh Pak Menteri Agama untuk menjadi Pgs. Rektor karena Prof. Minhaji berhalangan tetap. Prof. Machasin ditugaskan Pak Menteri untuk mengawal proses keterpilihan rektor pengganti Prof. Minhaji untuk periode berikutnya. Sebagaimana diketahui jika rektor definitive berhalangan tetap dalam waktu yang cukup lama –tiga tahun lebih—maka dipastikan akan dipilih rektor baru, namun jika waktunya kurang dari setahun, maka Pgs. Rektor akan menjabat sampai selesai periode itu dan baru kemudian dilakukan pemilihan rektor baru.
Saya tentu menjadi senang, sebab seluruh jajaran rektorat, dekanat dan juga kepala-kepala lembaga menghadiri acara raker ini. Saya merasakan jika ke UIN Jogja, maka semuanya seperti sahabat saya. Ada Prof. Sutrisno, Dr. Ibnu Qizam, Dr. Jarot Wahyudi, yang pernah bersama-sama “ngangsu kawruh” di Mc Gill University untuk pembelajaran Manajemen Pendidikan Tinggi, tahun 2007. Selain itu juga ada Pak Rajasa Mu’tashim yang juga bersama-sama saat belajar metodologi penelitian Etnografi di Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) di Balitbang Kemenag tahun 1990 di bawah asuan Prof. Parsudi Suparlan. Ada juga Kepala Biro UIN Yogyakarta, Pak Handarlin dan Pak Masykul Haji, yang kedua-duanya adalah mantan Kepala Kanwil Kemenag Provinsi.
Jadi, kalau saya datang ke UIN Yogyakarta, maka rasanya seperti reuni saja dengan sejumlah sahabat yang pernah bersama-sama tersebut. Saya selalu ingat waktu di Mc Gill University, maka setiap malam hanya makan Supermie, sebab hanya itu makanan yang paling berasa Indonesia. Siang makan nasi goreng di restoran Thailand dan malamnya selalu bermenu tetap Supermie.
Situasi di UIN Yogyakarta sebenarnya “sangat kondusif” meskipun ada beberapa penolakan terkait dengan rencana pilihan rektor untuk periode 2016-2020. Ketidaknyamanan ini dipicu oleh penolakan sebagian anggota senat UIN Yogyakarta untuk menerapkan PMA No 68 Tahun 2015. Bahkan ketua Senat UIN Yogyakarta, Prof. Abdul Munir Mulkan adalah penolak paling aktif dan membuat gerakan-gerakan anti PMA ini ke berbagai saluran politis, misalnya DPR, Presiden dan juga Wakil Presiden.
Bagi yang anti PMA ini menyatakan bahwa PMA ini bertentangan dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia, serta mengebiri terhadap otonomi kampus. Bagi kelompok anti PMA ini, bahwa demokrasi harus diartikan sebagai voting, one man one vote. Sehingga seorang rektor itu harus elected. Dipilih berdasarkan prinsip demokrasi liberal, lalu hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk disahkan siapa yang menang.
Bagi mereka yang anti PMA, maka senat universitas memiliki otoritas yang tidak terbantahkan sebagai pemilik demokrasi. Tidak ada tafsir lain, bahwa demokrasi haruslah dipahami sebagai pilihan langsung terhadap calon rektor yang dikehendaki. Harus dengan voting sebagai instrument terbaik untuk menerapkan demokrasi. Musyawarah bukanlah demokrasi.
Disebabkan oleh gerakan anti PMA yang demikian kuat suaranya –meskipun hanya diikuti oleh sebagian kecil—akan tetapi mereka melakukannya dengan totalitas. Makanya, Pak Menag pun harus diundang oleh Komisi VIII DPR RI untuk Raker dengan agenda khusus PMA 68 tahun 2015. Saking kuatnya dorongan dari kelompok anti PMA ini, maka Komisi VIII DPR RI pun melakukan kunjungan ke PTKIN dalam kerangka untuk melakukan hearing dengan anggota-anggota Senat universitas.
Namun demikian, di tengah gelegak penolakan terhadap PMA ini, maka satu sikap yang diambil Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, adalah tetap mempertahankan PMA ini disebabkan oleh analisis sosial dan yuridis yang sangat kuat. Dan untuk kepentingan menjelaskan PMA ini, maka Pak Menteri pun menyempatkan hadir dalam acara dialog dengan anggota Senat UIN Jogya agar akan terjadi pemahaman yang sama mengenai visi dan misi PMA tersebut.
Kejadian semalam, di mana seluruh pejabat UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta hadir pada acara raker, bagi saya tetap memberikan harapan bahwa kebersamaan akan bisa dihadirkan. Jadi, meskipun ada pro-kontra terkait dengan model pilihan rector versi PMA 68/2015, tetapi saya yakin bahwa masih ada sebagian besar lainnya yang menerima sebagai sebuah kenyataan.
Saya selalu berharap bahwa tiga UIN yang sudah terlebih dahulu “mentas” (UIN Jakarta, UIN Malang dan UIN Yogyakarta) sebagai perguruan tinggi berkualitas melalui akreditasi A yang didapatkannya tentu akan tetap menjadi barometer bagi perkembangan PTKIN di bawah Kemenag.
Wallahu a’lam bi al shawab.