• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PORNOGRAFI DAN MASA DEPAN BANGSA (1)

PORNOGRAFI DAN MASA DEPAN BANGSA (1)
Saya tidak tahu tiba-tiba ingin menulis tentang hal ini. Mungkin bisa juga disebabkan oleh perasaan dan nuansa hati yang sedang memikirkan mengenai bagaimana masa depan bangsa ini. Saya rasa ada banyak masalah yang dihadapi bangsa ini. Terutama yang terkait dengan tantangan mengenai masa depan generasi muda Indonesia.
Kita sekarang memang hidup di era teknologi informasi yang terus mendera kehidupan umat manusia. Di tengah merebaknya akses informasi dan di tengah arus bebas informasi, maka tidak ada lagi ruang tertutup bagi peluberan informasi di dalam kehidupan kita. Semua informasi bisa diakses dan semua berita bisa dipublish bahkan terkadang melupakan dimensi regulasi, norma dan kemanusiaan.
Teknologi informasi memang memiliki dua sisi yang saling berseberangan secara diametrikal. Memudahkan dan menguntungkan versus menyulitkan dan merugikan. Melalui teknologi informasi maka begitu mudahnya kita mengakses informasi dan betapa cepatnya informasi dapat diakses dalam waktu sekian menit bahkan detik. Sudah bukan lagi jam atau hari dan bulan. Apa yang terjadi di dunia yang sangat jauh, maka dalam hitungan menit bisa diakses dari sini. Jika kita menghadapi kesulitan untuk mendapatkan informasi, maka dengan sekejap informasi tersebut dapat diperoleh. Maka, teknologi informasi adalah sahabat manusia untuk mendapatkan berbagai macam informasi.
Di sisi lain, teknologi informasi juga menjadikan madarat bagi kehidupan manusia. Melalui teknologi informasi maka banyak kesulitan yang dihadapi manusia. Orang menjadi tidak nyaman dan terganggu. Tentu masih ingat dengan hate speech, yang pernah menjadi trending topic beberapa saat yang lalu. Bahkan Kapolri lalu membuat semacam Surat Edaran tentang pelarangan tindakan hate speech ini. Fitnah, kebencian, dan kekerasan simbolik juga ada di mana-mana dan dipublish di mana-mana. Gambar-gambar seronok, bugil dan tontonan aurat tanpa batas juga melanda dunia teknologi informasi. Semua ini menggambarkan dunia negative teknologi informasi.
Sekarang adalah saatnya bagi kita semua untuk menyiapkan generasi muda yang akan Berjaya di tahun 2030-an dan seterusnya. Semua harus disiapkan sedari sekarang. Jika generasi sekarang tertata dengan baik dari sisi pendidikan, kesehatan dan kemampuan untuk menghadapi globalisasi, maka mereka akan dapat menjadi andalan pada tahun Emas Indonesia. Sudahkan kita semua memahami mengenai tantangan Indonesia Emas dilihat dari kesiapan para pemuda harapan bangsa?
Saya kira tidak hanya guru dan dosen yang bertanggungjawab terhadap mereka ini, akan tetapi seluruh komponen bangsa harus terlibat di dalam proyek besar bangsa untuk menyongsong Indonesia Emas. Para pemimpin bangsa, para kyai, pendeta, uskup dan juga kaum agamawan juga memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya. Kita harus saiyek saeko kapti, hulubis kuntul baris. Kita harus bekerja keras dan bergandengan tangan untuk menyongsong Indonesia Emas tersebut. Tantangan bangsa ini harus dijawah dengan aksi memadai agar kemerdekaan bangsa akan terasa manfaatnya bagi bangsa ini.
Ada tantangan bangsa yang ingin saya tulis terkait dengan masa depan generasi muda kita. Kita menyaksikan semakin kuatnya peredaran pornografi ke segenap relung-relung penggolongan sosial di masyarakat. Pornografi benar-benar menjadi ancaman bagi bangsa ini di tengah keinginan untuk membangun bangsa di era sekarang. Kita tidak pernah menduga sebelumnya bahwa Jakarta, Semarang, Surabaya, Jogyakarta, Bandung, Medan, Makassar dan Jayapura bisa menjadi tempat penyebaran pornografi yang luar biasa. Hamper semua kota besar di Indonesia menduduki peringkat yang memadai sebagai kota dengan akses pronografi terbanyak.
Melalui teknologi informasi, maka semua hal yang terkait dengan pronografi dapat diakses dengan mudah. Melalui teknologi android, maka kita dengan mudah dapat mengakses informasi dimaksud. Di rumah, di Café, di Mall, di Rental Video dan tempat-tempat lain, begitu mudahnya seseorang bisa mengakses pornografi. Anak-anak, remaja bahkan juga orang tua dapat menikmati sajian pornografi dengan mudahnya. Semua bisa dilakukan untuk mengakses gambar-gambar terlarang ini.
Memang sudah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memblokir terhadap berbagai sajian pornografi. Kementerian Informasi dan Komunikasi juga teklah memblokir situs-situs porno di negeri ini. Namun demikian, karena system penyebaran informasi di Indonesia menggunakan system free for access, maka dilarang satu tumbuh lainnya. Demikian seterusnya.
Situs-situs yang jika hanya dibaca selintas sepertinya sebagai situs berbasis moralitas, akan tetapi kala diakses ternyata situs porno. Situs Santri, Pesantren, Jilbab yang seakan merupakan pesan keagamaan ternyata di dalamnya mengandung pornografi. Jadi memang mereka mampu untuk mengelabui pemirsa internet. Jadi, siapapun bisa terkecoh karena tampilan situs yang ternyata situs porno tersebut.
Rasanya, kita semua memang harus peduli terhadap persoalan bangsa ke depan ini, sebab kita akan menjadi generasi yang paling disalahkan jika di masa depan tidak meninggalkan generasi yang mampu memimpin bangsa ini ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Jadi kita semua memang harus bekerja keras melawan gerakan pornografi ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

AGAMA DI DUNIA PELACURAN

AGAMA DI DUNIA PELACURAN
Kita tidak bisa mendesain waktu. Waktulah yang mendesain kita. Inilah pernyataan saya ketika saya diundang oleh Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pernyataan ini muncul seirama dengan keterbatasan waktu bagi saya untuk bersama-sama dengan audience membahas buku saya, yang berjudul “Agama Pelacur”.
Maklum pada hari tersebut, saya harus balik ke Jakarta lebih cepat dari rencana semula, sebab saya harus mengikuti rapat dengan Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, pada jam 16.00 WIB. Dengan demikian, maka saya secara riil hanya memiliki waktu 60 menit untuk memberi prasaran dan juga tanya jawab dengan audience tentang buku saya tersebut. Semula tentu saya ingin agar dapat berdiskusi tentang tema ini secara lebih luas dan mendalam. Tetapi Sang Waktu memang terkadang tidak bisa diajak kompromi.
Pada hari Rabo, 04/05/2016, saya diminta oleh Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) untuk membedah buku saya, yang sebenarnya sudah lama terbit, Agama Pelacur yang diterbitkan oleh LKiS, dan sekarang sudah memasuki cetakan ke empat. Buku ini termasuk buku yang laris di pasaran. Sedari semula terbit, buku ini memang sudah memancing reaksi pro-kontra. Ada yang menyanjung tetapi juga banyak yang mencibir.
Bedah buku ini dihadiri oleh Prof. Syamsul Arifin, MSi., Wakil Rektor Bidang Akademik UMM, Dekan FAI, para Wakil Dekan, Dosen dan mahasiswa yang jumlahnya tidak kurang dari 300-an orang. Ternyata minat untuk mengikuti seminar ini relative besar, bisa jadi karena judul buku yang dibahas menarik minat mahasiswa dan bisa juga karena keberhasilan tim sosialisasi penyelenggaraan acara yang berhasil. Secara khusus tentu saya berterima kasih kepada Mas Umiarso yang mendesain acara ini.
Saya menyampaikan tiga hal penting di dalam acara ini. Pertama, tentang program integrasi ilmu. Saya merasa sangat appreciate terhadap program perguruan tinggi yang menjadikan integrasi ilmu sebagai program akademiknya. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) ternyata menjadi lokomotif penting di dalam pengembangan basis keilmuan integrative ini. Beberapa PTKIN, seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan lain-lain telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari program integrasi ilmu ini.
Secara khusus tentu juga kita tidak bisa melupakan pemikiran Prof. Kuntowijoyo, yang menggagas mengenai “Ilmu Sosial Profetik” untuk menggambarkan adanya potensi dan peluang untuk mengembangkan ilmu yang bercorak integrasi ini. Baginya, ilmu sosial dapat diintegrasikan dengan ilmu-ilmu keagamaan, atau sekurang-kurangnya dijadikan sebagai pendekatan untuk mendalami fenomena keagamaan yang selama ini juga menjadi bahan teks di kalangan ilmuwan agama.
Lahirnya buku ini, Agama Pelacur, lalu Islam Pesisir, kemudian Tarekat Petani, hakikatnya adalah upaya untuk melakukan integrasi ilmu dimaksud. Melalui bagan realitas keagamaan (baca: Islam) yang spesifik dan unik itu ternyata bisa didekati dengan konsep-konsep atau teori teori ilmu sosial. Dengan demikian, fenomena keagamaan tidak hanya bisa didekati dengan ilmu agama, seperti fiqih, tasawuf, sejarah kebudayaan dan sebagainya, akan tetapi sebenarnya bisa juga didekati dengan ilmu sosial.
Fenomena unik pelacuran yang menjadi tema buku saya ini, sebenarnya juga dapat didekati dengan ilmu sosial (baca: teori dramaturgi), yang selama ini hanya digunakan untuk mendekati fenomena secular (baca: fakta-fakta empiris non agama). Melalui buku ini, justru dramaturgi yang western oriented itu dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena unik pelacuran dengan religiositasnya. Itulah sebabnya, buku ini dilabel dengan Dramaturgi Transendental.
Kedua, secara metodologis, buku ini memberikan pemahaman tentang bagaimana religiositas kaum pelacur. Apakah dunia pelacuran yang gemerlap dengan “keburukan” itu masih menyisakan sedikit ruang untuk bercengkerama dengan Tuhan melalui serangkaian upacara-upacara keagamaan. Makanya, jenis penelitian kualitatiflah yang dipilih untuk menggambarkannya. Penelitian ini lebih bercorak etnografis, sebagaimana pandangan Clifford Geertz, yaitu upaya untuk menggambarkan dunia pelacuran sebagaimana pelacur memahaminya. Pandangan-pandangan mereka tentang agama menjadi titik sentral atau focus kajian ini.
Saya tentu harus mengapresiasi terhadap tim interviewer saya yang sangat gigih untuk mendapatkan data tentang pemahaman para pelacur terhadap agamanya. Saya sungguh merasakan bahwa kehadiran tim peneliti saya mampu untuk memberikan hasil maksimal di dalam wawancaranya. Mereka bisa melakukan rapport terhadap intervieweenya sedemikian rupa. Bahkan relasi manusiawi yang dibangunnya itu menyebabkan para interviewer saya memiliki “rasa” kehidupan sebagaimana apa adanya. Ada di antara mereka yang menyatakan kepada saya, bahwa di antara para pelacur itu mengajaknya untuk membeli peralatan ibadah, seperti mukena, jilbab dan pakaian muslim yang akan digunakan sebagai oleh-oleh di kala hari raya datang. Melalui proses invention (menemukan masalah penelitian), discovery (menemukan data lapangan), interpretation (melakukan dialog antara temuan lapangan dengan teori yang ada) dan explanation (merumuskan laporan dan menggambarkan temuan teroretiknya), maka buku ini dapat hadir di kalangan para pembaca.
Ketiga, dramaturgi transcendental dapat menghadirkan apa yang selama ini tidak dibaca atau dipahami masyarakat, bahwa dunia pelacuran yang gemerlap dengan “kemaksiatan, syahwat, desah nafas seksualitas, dan pemenuhan gelegak nafsu hewani” yang ditafsirkan sebagai lokus yang sangat jauh dari “pahala, surga, kebajikan, ketaatan pada Tuhan, ibadah, dan seabrek nilai-nilai agama yang adiluhung”. Teori dramaturgi transcendental ternyata bisa menjungkirbalikan hal ini semua.
Dunia pelacuran yang hina dina ini, ternyata menyimpan misterinya juga. Pada saat tertentu, para pelacur juga ingin kehadiran Tuhan di dalam biliknya. Mereka melakukan “shalat, membaca Yasin, membaca tahlil, sedekah, berpuasa” agar dirinya bisa bercengkerama dengan Tuhannya. Manusia tentu tidak bisa menilai apakah Tuhan memang benar-benar hadir atau tidak, sebab manusia hanyalah seonggok daging dan di dalamnya ada ruh yang juga memiliki kerinduan tentang Tuhan. Manusia hanyalah pelaku, dan Tuhanlah yang memiliki otoritas untuk menilainya.
Oleh karena itu, kita tidak selayaknya melakukan penilaian terhadap keberagamaan seseorang dalam konteks pengalaman keberagamaannya. Melalui dramaturgi transcendental, kita diajarkan agar jangan melihat manusia dari dimensi lahiriyahnya saja. Akan tetapi yang juga penting diperhatikan juga dimensi batiniahnya. Jika kita melihat manusia hanya dari sisi luarnya saja kita akan jatuh pada pemberian penilaian yang tidak berimbang. Akan tetapi dengan melihat sisi lainnya, kiranya akan memberikan pemahaman secara lebih arif.
Dunia pelacuran yang diungkap melalui buku ini, sekurang-kurangnya memberikan pemahaman kepada semua di antara kita agar tidak secara gegabah melakukan justifikasi tentang nasib seseorang.
Ternyata, dunia pelacuran yang heboh dengan “kemaksiatan” itu ternyata juga mengandung the mysterium tremendum et fascinosumnya sendiri, sebagaimana agama yang dihayati dan dijalankan oleh para penghuninya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (3)

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (3)
Di manakah peran alumni Fakultas Dakwah dengan empat jurusannya itu? Pertanyaan inilah yang sering mengganggu para ilmuwan atau akademisi dan juga pimpinan Fakultas Dakwah. Ada sebuah kegalauan yang luar biasa pada mereka mengenai peluang kerja alumni Fakultas Dakwah. Apakah kegalauan ini sesuatu yang berlebihan atau memang seharusnya kegalauan itu ada.
Harus dipahami bahwa di Indonesia ini memang jumlah lembaga pendidikan umum atau keagamaan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi teknik. Di negara-negara maju lainnya, misalnya Australia, maka jumlah perguruan tinggi teknik jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi ilmu sosial humaniora dan keagamaan. Demikian pula di Amerika Serikat dan juga Eropa Barat lainnya.
Problem lulusan perguruan tinggi ilmu sosial dan humaniora serta keagamaan inilah yang kelihatannya menjadi beban bagi perguruan tinggi atau bahkan pemerintah terutama di dalam merancang ketenagakerjaan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seharusnya jumlah perguruan tinggi berbasis teknologi dan sains lebih benyak, sehingga mereka akan dapat mengisi peluang kerja yang tersedia terutama di dunia industri yang terus berkembang.
Oleh karena itu, tema pertemuan para pimpinan Fakultas Dakwah PTKIN se Indonesia juga mendiskusikan mengenai peran dan peluang kerja alumni Fakultas Dakwah di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini. Di dalam konteks ini, maka ada beberapa gagasan yang saya sampaikan untuk menjadi bahan diskusi para pimpinan Fakultas Dakwah dimaksud.
Pertama, memperkuat kompetensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi menjadi kata kunci penting di era kompetisi. Jika ingin tetap eksis, maka seseorang harus memiliki kompetensi ini. Termasuk juga para alumni perguruan tinggi di Indonesia. Jadi pertanyaannya adalah apakah lembaga pendidikan sudah menyiapkan para mahasiswanya untuk memiliki kompetensi utuh sesuai dengan program studi yang dimasukinya.
Kedua, melakukan perubahan kurikulum agar kompetensi dan kompetisi alumni Fakultas Dakwah dapat ditingkatkan. Kejelasan kompetensi, kapabilitas dan kompetisi alumni menjadi ukuran untuk menentukan macam apa kurikulum dan sillabus yang akan dibuat atau dirumuskan. Dan lebih lanjut juga medan kerja macam apa yang bisa dimasuki oleh para alumni Fakultas Dakwah. Terus terang salah satu kelemahan yang dialami oleh para alumni adalah kejelasan tentang kemampuan kompetensi dan kompetisi ini.
Ketiga, program pembelajaran yang lebih mengarah kepada praktik lapangan ketimbang program perkuliahan regular di kelas. Selama ini yang kita lihat bahwa kebanyakan pembelajaran adalah tutorial dan sangat sedikit program praktik lapangan. Pemagangan atau pembelajaran berbasis lapangan menjadi sangat penting untuk memberikan bekal berharga bagi mahasiswa. Itulah sebabnya menurut saya, kurikulum Fakultas Dakwah bisa saja dimaksimalkan rentangannya menjadi 160 sks, dengan bobot persentase 70 persen perkuliahan lapangan dan 30 persen teoretik atau konseptual.
Jika dilakukan analisis secara lebih mendasar tentang kompetensi alumni Fakultas Dakwah tentunya di bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam adalah mencetak alumni menjadi jurnalis atau penulis media, ahli retorika atau penceramah agama. Dengan demikian, seluruh mata kuliah hanya didesain untuk kepentingan mencetak ahli ini. Mungkin diperlukan sub bidang, yaitu bidang retorika dan penyiaran agama serta bidang jurnalis atau penulis media.
Lalu bidang pengembangan Masyarakat Islam, maka yang menjadi kompetensinya adalah menjadi ahli social engineering atau perekayasa sosial dari masyarakat Islam. Maka keahlian yang dibutuhkan adalah bagaimana menjadi pemberdaya masyarakat atau pengembang masyarakat. Dengan demikian bangunan kurikulum hanya diperlukan untuk ini. Mata kuliah lain yang tidak memiliki relevansi yang kuat dengan bidang pemberdayaan masyarakat harus disingkirkan. Mungkin perlu dibagi menjadi sub bidang, misalnya pemberdayaan sosial ekonomi. Melalui pemberdayaan sosial ekonomi maka seluruh jaringan pengembangan masyarakat akan bisa direngkuh. Fokuskan pada satu aspek penting ini untuk mendidik agar mahasiswa memiliki keahlian khusus di bidang pemberdayaan masyarakat. Jika sangat diperlukan tentu bisa juga untuk mengembangkan program studi ini dengan catatan bahwa hal tersebut memiliki relevansi dengan sudut keilmuan dan praksisnya.
Kemudian program studi manajemen dakwah. Memang harus diakui bahwa banyak lembaga dakwah yang dari dimensi manajemen perlu dibenahi. Program studi ini bisa menjadi solusi atas kelemahan organisasi dakwah, pesantren, lembaga-lembaga sosial keagamaan lainya. Namun demikian muncul pertanyaan saya apakah tidak lebih mantap jika manajemen dakwah dijadikan sebagai sub bidang pengembangan masyarakat Islam. Demikian pula program studi bimbingan dan konseling Islam juga saya kira akan lebih tepat menjadi bagian dari pengembangan masyarakat Islam. Hanya bedanya adalah bimbingan konseling lebih mengarah pada penyelesaian masalah individu atau komunitas dengan problem yang sudah sangat jelas, misalnya narkoba, pornografi, LGBT (masalah sosial) dan konflik komunitas atau konflik sosial.
Jika tidak masuk di dalam sub-bidang Pengembangan Masyarakat Islam, maka lebih bagus diarahkan kepada program studi Kesejahteraan sosial, yang secara akademik dan praktik juga memiliki kekuatan yang memadai. Kesejahteraan sosial sudah memiliki nama yang sangat mendasar di kalangan ilmuwan sosial sebagai praksis dari ilmu-ilmu sosial yang membutuhkan relevansi dengan kebutuhan masyarakat untuk berkembang.
Dengan memahami secara memadai mengenai kompetensi alumni, baik dari sisi hard skilled maupun soft skillednya, maka peluang dan potensi bekerja akan sangat dimungkinkan. Perkuat kompetensi atau hard skilled dengan rekonstruksi kurikulum, perkuat soft skilled agar mereka memiliki kapasitas kepemimpinan, relasi sosial dan human relation serta keahlian plus, saya kira alumni dakwah akan bisa memasuki dunia lapangan kerja dengan memadai.
Ada peluang mereka mengisi di dunia karya tulis, sebagai jurnalis, penulis media, penulis scenario, pekerja media, ahli pidato, ahli di bidang public relation, kehumasan, dan sebagainya sebagai bagian dari kompetensi Jurusan Komunikasi islam. Kemudian ahli pemberdayaan masyarakat yang terfokus, sehingga bisa bekerja di Lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah, lalu ahli di bidang kesejahteraan sosial dan pengelola organisasi sosial yang andal.
Jadi, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan sebagainya, kemudian lembaga-lembaga dakwah, pesantren, organisasi sosial keagaman dan juga LSM akan bisa menjadi tempat untuk bekerja.
Oleh karena itu, saya kira yang terpenting ialah menyiapkan mereka agar bisa menjadi orang yang berkompeten dan kemampuan kompetisi sehingga mereka akan dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri serta menjadi duta bangsa untuk berkarya di negeri orang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (2)

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (2)
Saya selalu bersyukur sebab ghirah untuk mengembangkan Fakultas Dakwah itu terus terjadi. Di kalangan pimpinan Fakultas Dakwah masih ada semangat untuk mengembangkannya. Salah satu yang menarik adalah dengan perubahan nomenklatur Fakultas Dakwah menjadi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Perluasan mandate ini menjadi penting terkait dengan upaya untuk mengembangkan Fakultas Dakwah agar memiliki cakupan keilmuan yang lebih luas namun terfokus.
Selain problem pengembangan keilmuan dakwah yang tampak mandeg, maka problem yang tidak kalah serius adalah tentang pengembangan kelembagaan pada Fakultas Dakwah atau program studinya. Bisa dibayangkan bahwa keberadaan program studi yang ada di Fakultas Dakwah sudah semenjak tahun 1985-an dan sampai sekarang belum pernah dilakukan upaya untuk meninjau ulang keberadaannya.
Semula memang hanya ada satu jurusan saja, yaitu jurusan Ilmu Dakwah. Akan tetapi lalu berubah menjadi jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama Islam (PPAI) dan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat (BPM), lalu yang terakhir menjadi empat jurusan, yaitu Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI), Manajemen Dakwah (MD) dan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Empat jurusan inilah yang terus bertahan selama 36 tahun hingga hari ini.
Ada dua bagan analisis yang kiranya bisa dikaitkan dengan keberadaan program studi atau jurusan ini, yaitu: pertama, untuk menjawab pertanyaan apakah program studi ini relevan dan berkorelasi dengan keilmuan dakwah. Jawaban ini sangat penting untuk memahami bahwa semua program studi seharusnya terkait dengan pohon ilmu dakwah. Kedua untuk menjawab pertanyaan apakah program studi yang dikembangkan itu relevan dengan kebutuhan masyarakat mengenai program studi ini.
Melalui bagan analisis ini, maka bisa diketahui apakah semua program studi di Fakultas Dakwah memiliki relevansi yang kuat dengan keilmuan dakwah atau tidak, lalu memiliki keterkaitan dengan problem kebutuhan masyarakat atau tidak. Dengan demikian, maka setiap program studi akan teruji di dalam kerangka pengembangan ilmu dakwah dan juga tuntutan pengembangan atau jawaban atas kebutuhan masyarakat.
Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) rasanya memang perlu untuk dikaji ulang. Apakah memang harus ditambah dengan kata “penyiaran”. Apakah tidak mungkin untuk menjadi program studi “Komunikasi Islam” saja. Secara terminologis, kata penyiaran tentu sudah terkover di dalam kata “komunikasi”. Komunikasi Islam terkait dengan segala dimensi “penyebaran Islam” atau “tabligh” baik secara verbal (retorika), cetak (tulisan), maupun audio visual (gambar, lukisan dan tayangan televisi dan sebagainya). Kompetensi yang diharapkan adalah untuk mencetak ahli dakwah melalui medium komunikasi lesan, komunikasi audio visual atau media cetak di dalam dakwah.
Sebagai konsekuensi wider mandate, maka tentu harus ada program studi ilmu komunikasi. Ilmu ini memang bagian dari ilmu sosial dan memang layak masuk ke dalam fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, akan tetapi sebagai keunikan Universitas Islam, maka prodi ilmu Komunikasi bisa menjadi bagian dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Kompetensi dari lulusan prodi ini adalah untuk mencetak sarjana yang mumpuni di dalam menggunakan dan memanfaatkan media komunikasi lesan, audio visual dan media cetak dalam konteks kebutuhan media dan masyarakat.
Jurusan atau prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) merupakan program studi yang penting sebab melalui program ini seharusnya dapat dihasilkan rekayasa sosial (social engineering) tentang bagaimana corak dan bentuk masyarakat Islam ke depan. Program studi ini bisa menjadi bagian dari ilmu dakwah terkait dengan upaya untuk membangun komunitas dan masyarakat Islam berbasis pada perencanaan partisipatif dan program partisipatif.
Sementara itu jurusan manajemen dakwah dirasakan juga penting mengingat semakin banyaknya lembaga-lembaga dakwah yang membutuhkan tenaga-tenaga professional untuk mengelola organisasinya. Di dalam konteks ini, maka kompetensi alumni Fakultas Dakwah sesuai dengan jurusan ini adalah untuk mencetak ahli manajemen di dalam mengelola lembaga-lembaga dakwah. Manajemen modern dengan berbagai teori dan aplikasinya kiranya diperlukan untuk menata lembaga sosial keagamaan yang terus tumbuh di negeri ini. Rasanya yang diperlukan adalah untuk memperkuat focus pengembangannya saja.
Jurusan yang masih bisa diperdebatkan adalah jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Secara urgensi tentang kebutuhan mungkin memang masih diperlukan, terutama di tengah semakin derasnya arus modernisasi yang ternyata membawa dampak bagi keluarga-keluarga muslim. Banyak keluarga yang mengalami disorientasi, disharmoni dan kekerasan yang disebabkan oleh tekanan-tekanan eksternal yang terjadi. Oleh karena itu, jika dirasakan masih sangat diperlukan tentu program studi ini masih bisa untuk dipertahankan. Catatannya adalah coba didialogkan dengan berbagai problem sosial yang terus mendera komunitas muslim.
Bukankah terdapat banyak problem narkoba, pornografi, kekerasan, dan sebagainya yang sesungguhnya menjadi problem akut bagi sebagian masyarakat Indonesia. Di dalam hal ini, maka prodi bimbingan dan konseling islami menjadi arus penting. Masalahnya adalah bagaimana mendiversifikasikan fokus pada program ini.
Pemilahan prodi sebagaimana diuraikan di atas lebih bercorak problem solving. Prodi Bimbingan Konseling Islam, lalu prodi Pengembangan Masyarakat Islam dan manajemen dakwah merupakan contoh prodi-prodi yang didasari oleh dasar pemikiran bahwa dakwah adalah upaya untuk menyelesaikan masalah. Makanya, yang diperlukan adalah bagaimana dakwah bisa menjawab tantangan masyarakat yang semakin kompleks ini.
Sebagai ilmu praksis, memang ilmu dakwah di dalam dirinya mengandung bagan skematik problem solving. Makanya, jika program studi yang dikaji merupakan bagian dari penyelesaian masalah tentunya bukan hal yang aneh. Itulah sebabnya baik pendekatan faktor maupun pendekatan sistem keduanya tetap bertumpu pada dimensi in put, process dan out put ke out come. Yaitu masukan, proses dan keluaran lalu produk.
Jika demikian halnya, maka yang menarik dikaji adalah bagaimana tetap melakukan analisis secara lebih radikal tentang keterkaitan program studi pada Fakultas Dakwah dan ilmu Komunikasi, sambil tetap berpedoman bahwa sebagai ilmu praksis aau applied science, maka kompetensi lulusan fakultas ini adalah untuk mencetak ahli dakwah –sebagai ilmuwan atau prakstisi—yang ke depan akan bermanfaat bagi pembumian Islam di Nusantara.
Wallahu a’lam bi al shawab.

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (1)

FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI
Saya bersyukur karena bisa bertemu dengan segenap jajaran pejabat Fakultas Dakwah se Indonesia, para professor dan juga para dosen dan pemerhati Fakultas Dakwah di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pertemuan yang dilakukan di Hotel Halogen Juanda Surabaya (29/04/2016) ini memang secara sengaja menjadi forum pertemuan para pimpinan Fakultas Dakwah untuk membincang tentang apa yang seharusnya dilakukan di era ke depan.
Acara dengan tema “mempersiapkan masa depan Fakultas Dakwah di era kompetisi bangsa” ini memang dilakukan di dalam kerangka untuk menyiapkan bangunan akademik yang reprensentatif untuk mengembangkan kapasitas dan kapablititas alumni Fakultas Dakwah ke depan.
Hadir pada acara ini adalah Prof. Dr. Mohammad Ali Azis, Prof. Dr. Aswadi, Prof. Dr. Abdullah, Dekan Fakultas Dakwah IAIN Padang, Prof. Dr. Hasan Bakti, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sumatera Utara, Dr. Rr. Suhartini, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya, Imas Maesaroh, MLib., PhD., Dr. Ali Nurdin, Dr. Abdul Syakur, Dr. Sri Astutik, dan sejumlah doktor dan Dekan Fakultas Dakwah yang tidak bisa saya sebut semuanya. Selain itu juga hadir bersama saya, Drs. Tarmizi Tohor, MA, Direktur Pemberdayaan Zakat Ditjen Bimas Islam dan Kasubdit Pemberdayaan Kelembagaan Zakat. Saya kira semua Fakultas Dakwah se Indonesia mengirimkan utusannya untuk bertemu di dalam forum yang luar biasa ini.
Di dalam kesempatan ini, saya mengungkapkan beberapa hal yang saya anggap penting untuk didiskusikan, terutama menyangkut masa depan Fakultas Dakwah. Di antara isu penting yang menurut saya perlu dikritisi adalah mengenai “pengembangan Ilmu Dakwah”. Saya melihat bahwa perkembangan ilmu dakwah ini mengalami stagnasi yang luar biasa. Nyaris tidak ditemui gelegak pembicaraan di level nasional apalagi di even internasional tentang “keilmuan Dakwah”. Kalau dalam bahasanya Inul Daratista atau Iis Dahlia, komentator Academi Dangdut 3, maka “tidak ada yang spektakuler.” Atau di dalam bahasanya Thomas Kuhn “tidak ada yang revolusioner” mengenai perbincangan dan pengembangan ilmu dakwah.
Semenjak dahulu hingga sekarang, tahun 1990-an sampai sekarang, maka hanya dikenal ada dua madzab di dalam keilmuan dakwah, yaitu Madzab Faktorial yang cenderung kuantitatif yang salah satunya dikembangkan di Fakultas Dakwah Surabaya dan kemudian Madzab Sistem yang berkecendrungan kualitatif, yang salah satunya pernah dikembangkan di Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Dua kecenderungan ini yang bisa dilihat dari berbagai studi dan karya ilmiah para mahasiswa dan dosen Fakultas Dakwah di Indonesia.
Mengamati terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, selalu ada perdebatan dan perbincangan serius untuk mencari dan menemukan madzab-madzab baru yang relevan dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Contoh di bidang ilmu sosial yang terus bergerak dinamika madzabnya seirama dengan temuan-temuan para pakar di bidangnya.
Sebuah contoh yang menarik misalnya mengenai ilmu sosial yaitu kala Max Weber menemukan religiositas orang-orang Protestan, maka semenjak itu lalu diperkenalkan madzab baru ilmu sosial yang idiografis berdampingan dengan dan berkompetisi dengan madzab ilmu sosial yang nomotetis, lalu melahirkan madzab baru yang terus berkembang hingga sekarang. Perdebatan dan perbincangan adalah inti dari pengembangan ilmu. Never say ending untuk penelitian, perdebatan dan rihlah akademis terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Kenyataan ini yang saya kira tidak dijumpai di dalam pengembangan ilmu dakwah. Pertemuan para ahli di bidang dakwah lebih banyak membincang tentang hal-hal yang bercorak administratif-birokratik ketimbang hal-hal yang bercorak akademis. Makanya, lalu dirasakan bahwa ada stagnasi yang sangat kentara terkait dengan pengembangan ilmu dakwah ini.
Mungkin pandangan saya yang kurang jeli, akan tetapi secara umum problem ini dirasakan kehadirannya. Makanya, forum para pimpinan inilah yang seharusnya menjawab tantangan “pengembangan ilmu dakwah” ke depan yang memang membutuhkan fokus perhatian dan kerja keras. Para pakar di bidang dakwah tidak boleh terlena untuk tidak mengembangan keilmuan dakwah sebagai bagian dari harga diri ilmu dakwah di bidang kajian ilmu keislaman.
Menurut saya, perdebatan dalam level filsafat ilmu dakwah menjadi sangat penting. Ilmu bisa berkembang tentu didasari oleh perbincangan yang sangat mendalam mengenai dimensi kefilsafatan ilmu. Apakah secara ontologis keilmuan dakwah perlu dikaji ulang, apakah cukup misalnya dengan menyatakan bahwa hakikat atau “what is” ilmu dakwah adalah proses penyebaran Islam kepada umat manusia” atau ada yang lebih mendasar dibicarakan terkait dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mendera dengan cepat berubah dewasa ini.
Lalu, dari sisi epistemologis, tentang “how to”, apakah kita sudah mencukupkan dengan pendekatan dan metodologi dakwah yang ada sekarang, kuantitatif dan kualitatif, yang juga belum menggunakan ukuran standar kualifikasi keilmuan yang baku. Bukankah ada banyak pilihan dan mungkin bahkan inovasi-inovasi baru yang terkait dengan metodologi dan pendekatan keilmuan dakwah. Ambil contoh hermeunika atau tafsir teks dakwah, content analysis kualitatif, dan seabrek pendekatan dan metodologi dakwah yang bisa dilakukan. Rasanya, memang tidak boleh ada kemandegan di dalam membincang untuk menemukan hal-hal baru, baik yang terkait dengan teori dakwah maupun metodologi dakwah.
Di dalam kerangka inilah seharusnya forum ini dilakukan sehingga geliat untuk mengembangkan ilmu dakwah akan terus berlangsung dan keprihatinan tentang stagnasi ilmu dakwah juga tidak terus disuarakan. Suara-suara lirih atau suara lain mengenai “keberadaan” ilmu dakwah harus terus direspon, sebab selirih apapun suara itu tentu menggambarkan pesona ilmu dakwah di kalangan akademisi.
Apa yang saya sampaikan adalah sebuah keprihatinan sebagai dosen yang sekarang memasuki kawasan birokratik-administratif, yang sesungguhnya merasakan bahwa kiranya memang diperlukan upaya lebih keras untuk menghasilkan teori-teori baru dan metodologi baru yang merupakan hasil kerja para dosen, guru besar dan pimpinan dakwah di era sekarang dan masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.