FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (1)
FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI
Saya bersyukur karena bisa bertemu dengan segenap jajaran pejabat Fakultas Dakwah se Indonesia, para professor dan juga para dosen dan pemerhati Fakultas Dakwah di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pertemuan yang dilakukan di Hotel Halogen Juanda Surabaya (29/04/2016) ini memang secara sengaja menjadi forum pertemuan para pimpinan Fakultas Dakwah untuk membincang tentang apa yang seharusnya dilakukan di era ke depan.
Acara dengan tema “mempersiapkan masa depan Fakultas Dakwah di era kompetisi bangsa” ini memang dilakukan di dalam kerangka untuk menyiapkan bangunan akademik yang reprensentatif untuk mengembangkan kapasitas dan kapablititas alumni Fakultas Dakwah ke depan.
Hadir pada acara ini adalah Prof. Dr. Mohammad Ali Azis, Prof. Dr. Aswadi, Prof. Dr. Abdullah, Dekan Fakultas Dakwah IAIN Padang, Prof. Dr. Hasan Bakti, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sumatera Utara, Dr. Rr. Suhartini, Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya, Imas Maesaroh, MLib., PhD., Dr. Ali Nurdin, Dr. Abdul Syakur, Dr. Sri Astutik, dan sejumlah doktor dan Dekan Fakultas Dakwah yang tidak bisa saya sebut semuanya. Selain itu juga hadir bersama saya, Drs. Tarmizi Tohor, MA, Direktur Pemberdayaan Zakat Ditjen Bimas Islam dan Kasubdit Pemberdayaan Kelembagaan Zakat. Saya kira semua Fakultas Dakwah se Indonesia mengirimkan utusannya untuk bertemu di dalam forum yang luar biasa ini.
Di dalam kesempatan ini, saya mengungkapkan beberapa hal yang saya anggap penting untuk didiskusikan, terutama menyangkut masa depan Fakultas Dakwah. Di antara isu penting yang menurut saya perlu dikritisi adalah mengenai “pengembangan Ilmu Dakwah”. Saya melihat bahwa perkembangan ilmu dakwah ini mengalami stagnasi yang luar biasa. Nyaris tidak ditemui gelegak pembicaraan di level nasional apalagi di even internasional tentang “keilmuan Dakwah”. Kalau dalam bahasanya Inul Daratista atau Iis Dahlia, komentator Academi Dangdut 3, maka “tidak ada yang spektakuler.” Atau di dalam bahasanya Thomas Kuhn “tidak ada yang revolusioner” mengenai perbincangan dan pengembangan ilmu dakwah.
Semenjak dahulu hingga sekarang, tahun 1990-an sampai sekarang, maka hanya dikenal ada dua madzab di dalam keilmuan dakwah, yaitu Madzab Faktorial yang cenderung kuantitatif yang salah satunya dikembangkan di Fakultas Dakwah Surabaya dan kemudian Madzab Sistem yang berkecendrungan kualitatif, yang salah satunya pernah dikembangkan di Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Dua kecenderungan ini yang bisa dilihat dari berbagai studi dan karya ilmiah para mahasiswa dan dosen Fakultas Dakwah di Indonesia.
Mengamati terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, selalu ada perdebatan dan perbincangan serius untuk mencari dan menemukan madzab-madzab baru yang relevan dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Contoh di bidang ilmu sosial yang terus bergerak dinamika madzabnya seirama dengan temuan-temuan para pakar di bidangnya.
Sebuah contoh yang menarik misalnya mengenai ilmu sosial yaitu kala Max Weber menemukan religiositas orang-orang Protestan, maka semenjak itu lalu diperkenalkan madzab baru ilmu sosial yang idiografis berdampingan dengan dan berkompetisi dengan madzab ilmu sosial yang nomotetis, lalu melahirkan madzab baru yang terus berkembang hingga sekarang. Perdebatan dan perbincangan adalah inti dari pengembangan ilmu. Never say ending untuk penelitian, perdebatan dan rihlah akademis terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Kenyataan ini yang saya kira tidak dijumpai di dalam pengembangan ilmu dakwah. Pertemuan para ahli di bidang dakwah lebih banyak membincang tentang hal-hal yang bercorak administratif-birokratik ketimbang hal-hal yang bercorak akademis. Makanya, lalu dirasakan bahwa ada stagnasi yang sangat kentara terkait dengan pengembangan ilmu dakwah ini.
Mungkin pandangan saya yang kurang jeli, akan tetapi secara umum problem ini dirasakan kehadirannya. Makanya, forum para pimpinan inilah yang seharusnya menjawab tantangan “pengembangan ilmu dakwah” ke depan yang memang membutuhkan fokus perhatian dan kerja keras. Para pakar di bidang dakwah tidak boleh terlena untuk tidak mengembangan keilmuan dakwah sebagai bagian dari harga diri ilmu dakwah di bidang kajian ilmu keislaman.
Menurut saya, perdebatan dalam level filsafat ilmu dakwah menjadi sangat penting. Ilmu bisa berkembang tentu didasari oleh perbincangan yang sangat mendalam mengenai dimensi kefilsafatan ilmu. Apakah secara ontologis keilmuan dakwah perlu dikaji ulang, apakah cukup misalnya dengan menyatakan bahwa hakikat atau “what is” ilmu dakwah adalah proses penyebaran Islam kepada umat manusia” atau ada yang lebih mendasar dibicarakan terkait dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mendera dengan cepat berubah dewasa ini.
Lalu, dari sisi epistemologis, tentang “how to”, apakah kita sudah mencukupkan dengan pendekatan dan metodologi dakwah yang ada sekarang, kuantitatif dan kualitatif, yang juga belum menggunakan ukuran standar kualifikasi keilmuan yang baku. Bukankah ada banyak pilihan dan mungkin bahkan inovasi-inovasi baru yang terkait dengan metodologi dan pendekatan keilmuan dakwah. Ambil contoh hermeunika atau tafsir teks dakwah, content analysis kualitatif, dan seabrek pendekatan dan metodologi dakwah yang bisa dilakukan. Rasanya, memang tidak boleh ada kemandegan di dalam membincang untuk menemukan hal-hal baru, baik yang terkait dengan teori dakwah maupun metodologi dakwah.
Di dalam kerangka inilah seharusnya forum ini dilakukan sehingga geliat untuk mengembangkan ilmu dakwah akan terus berlangsung dan keprihatinan tentang stagnasi ilmu dakwah juga tidak terus disuarakan. Suara-suara lirih atau suara lain mengenai “keberadaan” ilmu dakwah harus terus direspon, sebab selirih apapun suara itu tentu menggambarkan pesona ilmu dakwah di kalangan akademisi.
Apa yang saya sampaikan adalah sebuah keprihatinan sebagai dosen yang sekarang memasuki kawasan birokratik-administratif, yang sesungguhnya merasakan bahwa kiranya memang diperlukan upaya lebih keras untuk menghasilkan teori-teori baru dan metodologi baru yang merupakan hasil kerja para dosen, guru besar dan pimpinan dakwah di era sekarang dan masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.