FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (3)
FAKULTAS DAKWAH DI ERA KOMPETISI (3)
Di manakah peran alumni Fakultas Dakwah dengan empat jurusannya itu? Pertanyaan inilah yang sering mengganggu para ilmuwan atau akademisi dan juga pimpinan Fakultas Dakwah. Ada sebuah kegalauan yang luar biasa pada mereka mengenai peluang kerja alumni Fakultas Dakwah. Apakah kegalauan ini sesuatu yang berlebihan atau memang seharusnya kegalauan itu ada.
Harus dipahami bahwa di Indonesia ini memang jumlah lembaga pendidikan umum atau keagamaan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi teknik. Di negara-negara maju lainnya, misalnya Australia, maka jumlah perguruan tinggi teknik jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi ilmu sosial humaniora dan keagamaan. Demikian pula di Amerika Serikat dan juga Eropa Barat lainnya.
Problem lulusan perguruan tinggi ilmu sosial dan humaniora serta keagamaan inilah yang kelihatannya menjadi beban bagi perguruan tinggi atau bahkan pemerintah terutama di dalam merancang ketenagakerjaan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seharusnya jumlah perguruan tinggi berbasis teknologi dan sains lebih benyak, sehingga mereka akan dapat mengisi peluang kerja yang tersedia terutama di dunia industri yang terus berkembang.
Oleh karena itu, tema pertemuan para pimpinan Fakultas Dakwah PTKIN se Indonesia juga mendiskusikan mengenai peran dan peluang kerja alumni Fakultas Dakwah di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini. Di dalam konteks ini, maka ada beberapa gagasan yang saya sampaikan untuk menjadi bahan diskusi para pimpinan Fakultas Dakwah dimaksud.
Pertama, memperkuat kompetensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi menjadi kata kunci penting di era kompetisi. Jika ingin tetap eksis, maka seseorang harus memiliki kompetensi ini. Termasuk juga para alumni perguruan tinggi di Indonesia. Jadi pertanyaannya adalah apakah lembaga pendidikan sudah menyiapkan para mahasiswanya untuk memiliki kompetensi utuh sesuai dengan program studi yang dimasukinya.
Kedua, melakukan perubahan kurikulum agar kompetensi dan kompetisi alumni Fakultas Dakwah dapat ditingkatkan. Kejelasan kompetensi, kapabilitas dan kompetisi alumni menjadi ukuran untuk menentukan macam apa kurikulum dan sillabus yang akan dibuat atau dirumuskan. Dan lebih lanjut juga medan kerja macam apa yang bisa dimasuki oleh para alumni Fakultas Dakwah. Terus terang salah satu kelemahan yang dialami oleh para alumni adalah kejelasan tentang kemampuan kompetensi dan kompetisi ini.
Ketiga, program pembelajaran yang lebih mengarah kepada praktik lapangan ketimbang program perkuliahan regular di kelas. Selama ini yang kita lihat bahwa kebanyakan pembelajaran adalah tutorial dan sangat sedikit program praktik lapangan. Pemagangan atau pembelajaran berbasis lapangan menjadi sangat penting untuk memberikan bekal berharga bagi mahasiswa. Itulah sebabnya menurut saya, kurikulum Fakultas Dakwah bisa saja dimaksimalkan rentangannya menjadi 160 sks, dengan bobot persentase 70 persen perkuliahan lapangan dan 30 persen teoretik atau konseptual.
Jika dilakukan analisis secara lebih mendasar tentang kompetensi alumni Fakultas Dakwah tentunya di bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam adalah mencetak alumni menjadi jurnalis atau penulis media, ahli retorika atau penceramah agama. Dengan demikian, seluruh mata kuliah hanya didesain untuk kepentingan mencetak ahli ini. Mungkin diperlukan sub bidang, yaitu bidang retorika dan penyiaran agama serta bidang jurnalis atau penulis media.
Lalu bidang pengembangan Masyarakat Islam, maka yang menjadi kompetensinya adalah menjadi ahli social engineering atau perekayasa sosial dari masyarakat Islam. Maka keahlian yang dibutuhkan adalah bagaimana menjadi pemberdaya masyarakat atau pengembang masyarakat. Dengan demikian bangunan kurikulum hanya diperlukan untuk ini. Mata kuliah lain yang tidak memiliki relevansi yang kuat dengan bidang pemberdayaan masyarakat harus disingkirkan. Mungkin perlu dibagi menjadi sub bidang, misalnya pemberdayaan sosial ekonomi. Melalui pemberdayaan sosial ekonomi maka seluruh jaringan pengembangan masyarakat akan bisa direngkuh. Fokuskan pada satu aspek penting ini untuk mendidik agar mahasiswa memiliki keahlian khusus di bidang pemberdayaan masyarakat. Jika sangat diperlukan tentu bisa juga untuk mengembangkan program studi ini dengan catatan bahwa hal tersebut memiliki relevansi dengan sudut keilmuan dan praksisnya.
Kemudian program studi manajemen dakwah. Memang harus diakui bahwa banyak lembaga dakwah yang dari dimensi manajemen perlu dibenahi. Program studi ini bisa menjadi solusi atas kelemahan organisasi dakwah, pesantren, lembaga-lembaga sosial keagamaan lainya. Namun demikian muncul pertanyaan saya apakah tidak lebih mantap jika manajemen dakwah dijadikan sebagai sub bidang pengembangan masyarakat Islam. Demikian pula program studi bimbingan dan konseling Islam juga saya kira akan lebih tepat menjadi bagian dari pengembangan masyarakat Islam. Hanya bedanya adalah bimbingan konseling lebih mengarah pada penyelesaian masalah individu atau komunitas dengan problem yang sudah sangat jelas, misalnya narkoba, pornografi, LGBT (masalah sosial) dan konflik komunitas atau konflik sosial.
Jika tidak masuk di dalam sub-bidang Pengembangan Masyarakat Islam, maka lebih bagus diarahkan kepada program studi Kesejahteraan sosial, yang secara akademik dan praktik juga memiliki kekuatan yang memadai. Kesejahteraan sosial sudah memiliki nama yang sangat mendasar di kalangan ilmuwan sosial sebagai praksis dari ilmu-ilmu sosial yang membutuhkan relevansi dengan kebutuhan masyarakat untuk berkembang.
Dengan memahami secara memadai mengenai kompetensi alumni, baik dari sisi hard skilled maupun soft skillednya, maka peluang dan potensi bekerja akan sangat dimungkinkan. Perkuat kompetensi atau hard skilled dengan rekonstruksi kurikulum, perkuat soft skilled agar mereka memiliki kapasitas kepemimpinan, relasi sosial dan human relation serta keahlian plus, saya kira alumni dakwah akan bisa memasuki dunia lapangan kerja dengan memadai.
Ada peluang mereka mengisi di dunia karya tulis, sebagai jurnalis, penulis media, penulis scenario, pekerja media, ahli pidato, ahli di bidang public relation, kehumasan, dan sebagainya sebagai bagian dari kompetensi Jurusan Komunikasi islam. Kemudian ahli pemberdayaan masyarakat yang terfokus, sehingga bisa bekerja di Lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah, lalu ahli di bidang kesejahteraan sosial dan pengelola organisasi sosial yang andal.
Jadi, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan sebagainya, kemudian lembaga-lembaga dakwah, pesantren, organisasi sosial keagaman dan juga LSM akan bisa menjadi tempat untuk bekerja.
Oleh karena itu, saya kira yang terpenting ialah menyiapkan mereka agar bisa menjadi orang yang berkompeten dan kemampuan kompetisi sehingga mereka akan dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri serta menjadi duta bangsa untuk berkarya di negeri orang.
Wallahu a’lam bi al shawab.