• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DI DUNIA PELACURAN

AGAMA DI DUNIA PELACURAN
Kita tidak bisa mendesain waktu. Waktulah yang mendesain kita. Inilah pernyataan saya ketika saya diundang oleh Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pernyataan ini muncul seirama dengan keterbatasan waktu bagi saya untuk bersama-sama dengan audience membahas buku saya, yang berjudul “Agama Pelacur”.
Maklum pada hari tersebut, saya harus balik ke Jakarta lebih cepat dari rencana semula, sebab saya harus mengikuti rapat dengan Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, pada jam 16.00 WIB. Dengan demikian, maka saya secara riil hanya memiliki waktu 60 menit untuk memberi prasaran dan juga tanya jawab dengan audience tentang buku saya tersebut. Semula tentu saya ingin agar dapat berdiskusi tentang tema ini secara lebih luas dan mendalam. Tetapi Sang Waktu memang terkadang tidak bisa diajak kompromi.
Pada hari Rabo, 04/05/2016, saya diminta oleh Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) untuk membedah buku saya, yang sebenarnya sudah lama terbit, Agama Pelacur yang diterbitkan oleh LKiS, dan sekarang sudah memasuki cetakan ke empat. Buku ini termasuk buku yang laris di pasaran. Sedari semula terbit, buku ini memang sudah memancing reaksi pro-kontra. Ada yang menyanjung tetapi juga banyak yang mencibir.
Bedah buku ini dihadiri oleh Prof. Syamsul Arifin, MSi., Wakil Rektor Bidang Akademik UMM, Dekan FAI, para Wakil Dekan, Dosen dan mahasiswa yang jumlahnya tidak kurang dari 300-an orang. Ternyata minat untuk mengikuti seminar ini relative besar, bisa jadi karena judul buku yang dibahas menarik minat mahasiswa dan bisa juga karena keberhasilan tim sosialisasi penyelenggaraan acara yang berhasil. Secara khusus tentu saya berterima kasih kepada Mas Umiarso yang mendesain acara ini.
Saya menyampaikan tiga hal penting di dalam acara ini. Pertama, tentang program integrasi ilmu. Saya merasa sangat appreciate terhadap program perguruan tinggi yang menjadikan integrasi ilmu sebagai program akademiknya. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) ternyata menjadi lokomotif penting di dalam pengembangan basis keilmuan integrative ini. Beberapa PTKIN, seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan lain-lain telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari program integrasi ilmu ini.
Secara khusus tentu juga kita tidak bisa melupakan pemikiran Prof. Kuntowijoyo, yang menggagas mengenai “Ilmu Sosial Profetik” untuk menggambarkan adanya potensi dan peluang untuk mengembangkan ilmu yang bercorak integrasi ini. Baginya, ilmu sosial dapat diintegrasikan dengan ilmu-ilmu keagamaan, atau sekurang-kurangnya dijadikan sebagai pendekatan untuk mendalami fenomena keagamaan yang selama ini juga menjadi bahan teks di kalangan ilmuwan agama.
Lahirnya buku ini, Agama Pelacur, lalu Islam Pesisir, kemudian Tarekat Petani, hakikatnya adalah upaya untuk melakukan integrasi ilmu dimaksud. Melalui bagan realitas keagamaan (baca: Islam) yang spesifik dan unik itu ternyata bisa didekati dengan konsep-konsep atau teori teori ilmu sosial. Dengan demikian, fenomena keagamaan tidak hanya bisa didekati dengan ilmu agama, seperti fiqih, tasawuf, sejarah kebudayaan dan sebagainya, akan tetapi sebenarnya bisa juga didekati dengan ilmu sosial.
Fenomena unik pelacuran yang menjadi tema buku saya ini, sebenarnya juga dapat didekati dengan ilmu sosial (baca: teori dramaturgi), yang selama ini hanya digunakan untuk mendekati fenomena secular (baca: fakta-fakta empiris non agama). Melalui buku ini, justru dramaturgi yang western oriented itu dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena unik pelacuran dengan religiositasnya. Itulah sebabnya, buku ini dilabel dengan Dramaturgi Transendental.
Kedua, secara metodologis, buku ini memberikan pemahaman tentang bagaimana religiositas kaum pelacur. Apakah dunia pelacuran yang gemerlap dengan “keburukan” itu masih menyisakan sedikit ruang untuk bercengkerama dengan Tuhan melalui serangkaian upacara-upacara keagamaan. Makanya, jenis penelitian kualitatiflah yang dipilih untuk menggambarkannya. Penelitian ini lebih bercorak etnografis, sebagaimana pandangan Clifford Geertz, yaitu upaya untuk menggambarkan dunia pelacuran sebagaimana pelacur memahaminya. Pandangan-pandangan mereka tentang agama menjadi titik sentral atau focus kajian ini.
Saya tentu harus mengapresiasi terhadap tim interviewer saya yang sangat gigih untuk mendapatkan data tentang pemahaman para pelacur terhadap agamanya. Saya sungguh merasakan bahwa kehadiran tim peneliti saya mampu untuk memberikan hasil maksimal di dalam wawancaranya. Mereka bisa melakukan rapport terhadap intervieweenya sedemikian rupa. Bahkan relasi manusiawi yang dibangunnya itu menyebabkan para interviewer saya memiliki “rasa” kehidupan sebagaimana apa adanya. Ada di antara mereka yang menyatakan kepada saya, bahwa di antara para pelacur itu mengajaknya untuk membeli peralatan ibadah, seperti mukena, jilbab dan pakaian muslim yang akan digunakan sebagai oleh-oleh di kala hari raya datang. Melalui proses invention (menemukan masalah penelitian), discovery (menemukan data lapangan), interpretation (melakukan dialog antara temuan lapangan dengan teori yang ada) dan explanation (merumuskan laporan dan menggambarkan temuan teroretiknya), maka buku ini dapat hadir di kalangan para pembaca.
Ketiga, dramaturgi transcendental dapat menghadirkan apa yang selama ini tidak dibaca atau dipahami masyarakat, bahwa dunia pelacuran yang gemerlap dengan “kemaksiatan, syahwat, desah nafas seksualitas, dan pemenuhan gelegak nafsu hewani” yang ditafsirkan sebagai lokus yang sangat jauh dari “pahala, surga, kebajikan, ketaatan pada Tuhan, ibadah, dan seabrek nilai-nilai agama yang adiluhung”. Teori dramaturgi transcendental ternyata bisa menjungkirbalikan hal ini semua.
Dunia pelacuran yang hina dina ini, ternyata menyimpan misterinya juga. Pada saat tertentu, para pelacur juga ingin kehadiran Tuhan di dalam biliknya. Mereka melakukan “shalat, membaca Yasin, membaca tahlil, sedekah, berpuasa” agar dirinya bisa bercengkerama dengan Tuhannya. Manusia tentu tidak bisa menilai apakah Tuhan memang benar-benar hadir atau tidak, sebab manusia hanyalah seonggok daging dan di dalamnya ada ruh yang juga memiliki kerinduan tentang Tuhan. Manusia hanyalah pelaku, dan Tuhanlah yang memiliki otoritas untuk menilainya.
Oleh karena itu, kita tidak selayaknya melakukan penilaian terhadap keberagamaan seseorang dalam konteks pengalaman keberagamaannya. Melalui dramaturgi transcendental, kita diajarkan agar jangan melihat manusia dari dimensi lahiriyahnya saja. Akan tetapi yang juga penting diperhatikan juga dimensi batiniahnya. Jika kita melihat manusia hanya dari sisi luarnya saja kita akan jatuh pada pemberian penilaian yang tidak berimbang. Akan tetapi dengan melihat sisi lainnya, kiranya akan memberikan pemahaman secara lebih arif.
Dunia pelacuran yang diungkap melalui buku ini, sekurang-kurangnya memberikan pemahaman kepada semua di antara kita agar tidak secara gegabah melakukan justifikasi tentang nasib seseorang.
Ternyata, dunia pelacuran yang heboh dengan “kemaksiatan” itu ternyata juga mengandung the mysterium tremendum et fascinosumnya sendiri, sebagaimana agama yang dihayati dan dijalankan oleh para penghuninya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..