• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEMBANGKAN REGULASI UNTUK INOVASI

MENGEMBANGKAN REGULASI UNTUK INOVASI
Saya memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan seluruh jajaran punggawa Kementerian Agama yang selama ini terkait dengan hukum. Mereka adalah para pejabat pusat dan daerah yang selama ini memang menjadi punggawa yang terkait dengan regulasi di bawah Kementerian Agama (kemenag).
Acara yang diselenaggarakan oleh Kepala Biro Hukum Kemenag ini memang menjadi wahana untuk melakukan Evaluasi dan Konsultasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang ditempatkan di Hotel Santika Bandung (27/04/2016). Selain membahas mengenai litigasi juga menjadi ajang untuk sosialisasi beberapa aturan yang diterbitkan oleh Kemenag.
Sebagaimana biasanya, saya selalu memberikan tiga hal mendasar sebagai bagian dari upaya untuk merumuskan regulasi yang bernuansa pengembangan inovasi terutama di Kemenag. Pertama, regulasi versus inovasi. Selama ini sering dinyatakan bahwa inovasi dan regulasi adalah dua entitas yang berada di dalam nuansa antagonistis. Seperti dua hal yang tidak saling menyapa dan mendukung. Atau seperti air dengan minyak atau regulasi mengarah ke arah timur sementara inovasi mengarah ke arah barat. Jadi seperti ada otonomisasinya masing-masing.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Menteri Bappenas, Sofyan Jalil, bahwa ada banyak inovasi yang karena dianggap atau ditafsirkan melanggar undang-undang, maka kemudian berujung pada masalah hukum. Dengan demikian, para pejabat tidak lagi berani melakukan inovasi terkait dengan regulasi yang tidak mendukung terhadap upaya inovatif tersebut. Masih ingat dengan kasus yang menimpa seorang creator televisi di Jawa Tengah yang terjerat hukum karena dia menciptakan atau merakit televisi tanpa ijin dan memperjualbelikannya. Tindakan yang bersangkutan bukanlah dianggap sebagai inovasi akan tetapi melanggar aturan.
Regulasi selayaknya dapat digunakan untuk mendukung terhadap upaya inovasi oleh sekelompok masyarakat atau individu di dalam kerangka untuk mengembangkan ekonomi kreatif atau lainnya. Oleh karena itu selayaknya yang dijadikan pedoman adalah “setiap sesuatu adalah kebolehan atau al ashlu fi al asyya” al ibahah”. Jadi bukanlah “semua dilarang kecuali yang diperbolehkan”. Sesungguhnya, premis hukum juga menyatakan hal yang sama, bahwa asal usul hukum adalah kebolehan kecuali yang dilarang”. Namun demikian, di dalam praktek hukum justru yang terjadi sebaliknya.
Jika di dalam membangun inovasi ternyata justru menimbulkan masalah, maka ke depan akan sangat sulit terjadi inovasi yang dilahirkan oleh para manajer atau pemimpin bangsa ini dalam berbagai levelnya. Orang menjadi takut dan yang lebih parah adalah jika kemudian muncul pemikiran “lebih baik kembalikan ke kas negara dari pada bermasalah”. Saya kira sudah banyak contoh tentang inovasi yang berakhir dengan masalah hukum.
Kedua, kesadaran hukum versus pelaksanaan anggaran. Kita tentu bersyukur bahwa akhir-akhir ini ada peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban dan juga kesadaran hukum. Hal ini tentu terkait dengan semakin meningkatnya pendidikan di kalangan masyarakat kita. Proposisi yang bisa dinyatakan adalah “semakin tinggi pendidikan masyarakat, maka akan semakin tinggi kesadaran hukumnya”.
Namun demikian yang kemudian merisaukan adalah ketika kesadaran tentang hukum juga bersepadupadan dengan kenaikan kepentingan tentang banyak hal, misalnya jabatan. Kita menjadi risau kala di dalam perebutan jabatan di berbagai level tertentu juga diwarnai dengan tindakan saling mengadukan perilaku masing-masing. Secara empiric bisa dijumpai banyak kasus PTUN, bahkan di perguruan tinggi yang disebabkan oleh factor jabatan. Juga sangat banyak kasus pengaduan di kepolisian, kejaksaan dan lain-lain terkait dengan pilkada dan sebagainya.
Jika memang terjadi penyalahgunaan atau tindakan melawan hukum pastilah semua orang akan mendukungnya, akan tetapi yang menjadi problem adalah kala pengaduan itu untuk kepentingan merebut jabatan yang secara procedural dan contentual memang “kurang” layak bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada dua sisi yang bisa saling bertabrakan, yaitu meningkatnya kesadaran hukum di satu sisi dan di sisi lain tuntutan kebutuhan akan status sosial, seperti jabatan dan sebagainya.
Ketiga, mematuhi dan menjalankan regulasi sesuai dengan kapasitasnya dengan tetap berpegangan pada pentingnya inovasi. Menjalankan regulasi tidak berarti harus sama sekali tidak melakukan inovasi. Di dalam kerangka pembangunan, maka dibutuhkan inovasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya perbaikan dan rekonstruksi. Makanya, Presiden RI, Joko Widodo, sudah menegaskan bahwa harus ada deregulasi untuk menjadi jawaban atas carut marut pelaksanaan anggaran. Beliau sudah mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa serta Belanja Modal, lalu diikuti dengan Perpres No 5 Tahun 2016 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Belanja Modal. Melalui berbagai regulasi ini, maka lalu ada kepastian apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya dan bagaimana pelaku merasa aman di dalam tindakannya.
Melalui deregulasi dan kepastian hukum, maka pelaku pembangunan akan bisa memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak akan selalu menabrak aturan yang berakibat masalah di kemudian hari. Prinsip “semua bisa dilakukan kecuali yang dilarang” yang selama ini menjadi norma kontekstual di kalangan ahli hukum, kiranya memang harus menjadi realitas empiris.
Namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana semua aparat pemerintah harus patuh pada aturan (compliance) dan juga menjalankan aturan sesuai dengan kapasitasnya, sehingga keselamatan yang sesungguhnya menjadi idaman bagi semua orang juga akan mengeksis.
Jadi, inovasi bisa dilakukan dan regulasi bisa memberi peluang untuk melakukannya merupakan idaman bagi semua aparat pemerintah yang di dalam dirinya memiliki mimpi untuk membangun kemajuan. Indonesia yang maju dan modern hanya akan diwujudkan jika banyak orang yang bisa melakukan inovasi berbasis pada integritas, profesionalitas, tanggung jawab dan keteladanan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEADILAN (2)

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEADILAN (2)
Saya tidak tahu apakah di dalam kenyataan bahwa ada yang disebut sebagai kearifan hukum. Jika kearifan lokal atau local wisdom, sebagai orang yang pernah belajar antropologi, meskipun kurang tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya saya memahami mengenai local wisdom tersebut.
Terkait dengan local wisdom ini, maka sering kali dinyatakan sebagai bagian dari budaya daerah yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat lokal. Misalnya untuk masyarakat Papua disebutkan adanya tradisi “satu tungku tiga batu” untuk menggambarkan bagaimana masyarakat Papua merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Demikan pula kearifan lokal masyarakat Ambon, Jawa dan juga daerah lain. Di dalam tradisi Nusantara, maka setiap daerah tentu memiliki kearifan lokalnya masing-masing.
Sesungguhnya, di dalam hukum juga terjadi kearifan itu. Menurut saya tetap saja ada wisdom yang berbasis pada hati nurani di dalam pelaksanaan hukum. Bukankah hukum sebenarnya merupakan sarana untuk memperoleh keadilan, sehingga hukum juga tidak berada di langit yang tinggi, akan tetapi hukum tentu harus menginjak bumi sebagai tempat pijakan manusia.
Makanya, hukum juga terkait dengan manusia dan kemanusiaan. Keadilan tentu tidak harus mengikis dimensi kemanusiaan sampai titik nol. Akan tetapi dimensi kemanusiaan harus tetap dikomunikasikan dengan dimensi hukum dan keadilan. Kita yakin bahwa hukum tidak akan terlepas dari aspek kemanusiaan ini.
Ada sebuah contoh bagaimana seharusnya dimensi dan perspektif yang digunakan untuk memutuskan hukum haruslah bervariasi, akan tetapi ternyata tidak dilakukan. Dalam kasus pimpinan PLN yang dihukum terkait dengan tindakan inovatif, rasanya ada satu hal yang tidak dipertimbangkan oleh penegak hukum adalah dimensi produk yang dihasilkan dari tindakan inovatif tersebut. Jika hanya dengan dalil proses yang dibidik, maka bisa jadi yang dilakukan oleh pimpinan PLN tersebut mengandung kelemahan, meskipun tidak bisa juga dinyatakan sebagai kesalahan. Oleh karena itu, menetapkan yang bersangkutan sebagai terdakwa dan kemudian dihukum tentu mengabaikan dimensi hasil sebagai akibat tindakan yang dilakukan.
Dengan mengeluarkan 1,2 Milyard rupiah tetapi menyelamatkan 600 Milyard rupiah, maka tindakan tersebut tentu bisa dibenarkan. Oleh karena itu, jika yang digunakan adalah penilaian proses saja, yaitu anggapan menyalahi aturan tentang pemberian uang kerahiman, maka yang bersangkutan bisa dianggap keliru di dalam inovasinya, akan tetapi jika dilhat dari produk menyelamatkan uang Negara yang mencapai ratusan milyar rupiah, maka tindakan inovatif itu tentu memiliki kesahihannya.
Jadi, melihat kesalahan tentu tidak hanya dilihat dari satu sisi akan tetapi juga harus melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, sehingga menghasilkan keputusan yang seadil-adilnya. Jika di dalam mengambil keputusan hanya mengandalkan pandangan satu sisi, maka dikhawatirkan akan terjadi distorsi di dalam pengambilan keputusan.
Saya yakin bahwa di dalam mengambil keputusan, para penegak hukum juga menggunakan hati nuraninya. Pastilah di dalam pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada aspek luar atau teks hukum, akan tetapi juga menggunakan konteks hukum yang mendasarinya suatu peristiwa terjadi. Oleh karena itu, pertimbangan yang bersifat nurani atau kemanusiaan mestilah termasuk bagian penting di dalam pengambilan keputusan.
Saya berkeyakinan bahwa melalui pertimbangan yang lebih komprehensif, maka keputusan para penegak hukum pastilah memenuhi “rasa keadilan” yang juga sesungguhnya menjadi idaman bagi semua orang. Memang juga harus disadari bahwa sangat sulit untuk memberikan “rasa” keadilan bagi semua orang, sebab setiap orang juga memiliki perspektif sesuai dengan kepentingannya. Namun demikian, sebagai benteng terakhir orang untuk mencari keadilan, maka para penegak hukum mestilah menggunakan sejumlah perspektif agar keputusan yang dihasilkan akan lebih baik hasilnya.
Ada sebuah anekdot, yang saya tidak tahu tingkat kebenarannya, tentang seorang hakim yang harus mengadili mantan gurunya. Dengan berbagai macam pertimbangan, maka Sang Guru dinyatakan bersalah dan harus membayar denda yang memang menjadi kewajibannya untuk membayarnya. Perlu diketahui bahwa Sang Mantan Guru ini tetap hidup dalam kesederhanaan dan bahkan kemiskinan.
Ketika selesai diputuskan, dan Sang Guru dinyatakan harus membayar denda, sebesar satu juta lebih, maka ketika Sang Guru tertunduk karena ketidakmampuannya harus membayar denda, maka Si Hakim lalu turun ke para hadirin yang memadati sidang itu dan kemudian membalik topi hakimnya. Dia memberi contoh untuk memberikan uang ke dalam topi itu, maka lalu tergeraklah hadirin juga untuk melakukan hal yang sama. Setelah para hadirin memberikan santunannya, lalu dihitung akhirnya didapatkan uang lebih dari tuntutan hukum. Maka dengan uang itu tuntutan hukum dibayarnya, dan sisanya diberikan kepada guru yang dihukumnya itu.
Kisah ini memberikan inspirasi bagi kita, bahawa keadilan tetap dapat ditegakkan, akan memberikan nuansa kemanusiaan juga tidak bisa dihilangkan. Jadi sebenarnya tetap ada jalan keluar untuk memberikan rasa keadilan di satu sisi dan kemanusiaan di sisi lain.
Oleh karena itu, antara hukum dan kemanusiaan adalah layaknya dua sisi mata uang. Di sisi lain adalah hukum dan di sisi lain lagi adalah kemanusiaan. Jadi bukan harus dipisahkan dalam pemisahan yang distingtif.
Wallahu a’lam bi alshawab.

HUKUM UNTUK INSTRUMEN KEADILAN (1)

HUKUM UNTUK INSTRUMEN KEADILAN (1)
Di dalam kesempatan memberikan pengarahan pada acara Rapat Kerja Pemerintah (RKP) beberapa saat yang lalu, Presiden RI, Joko Widodo, memberikan arahan agar dilakukan deregulasi terhadap aturan-aturan yang menyebabkan kesulitan untuk melakukan percepatan pelaksanaan anggaran. Tidak hanya itu, beliau juga mengisyaratkan agar para pelaku pelaksana anggaran memiliki jaminan bahwa mereka akan memperoleh perlindungan di dalam pelaksanaan program atau kegiatannya.
Hal ini pula yang disampaikan oleh Menteri Bappenas, Sofyan Jalil, pada waktu acara Pra Musrenbangnas di Kantor Bappenas, hari Senin, 11 April 2016, yang lalu. Acara yang dihadiri oleh pejabat eselon satu pusat, pejabat perencanaan pusat dan juga pejabat perencanaan daerah ini memang menjadi ajang untuk memberikan masukan tentang bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah merencanakan dan melakukan program-programnya.
Dewasa ini memang ada kegamangan bagi para pejabat untuk mengeksekusi kegiatan terutama terkait dengan makin besarnya ketidakpastian di dalam melakukan program dimaksud. Mereka menjadi ketakutan untuk mengeksekusi program yang berada di dalam kawasan yang tidak jelas aturannya. Dengan semakin banyaknya pejabat yang melakukan tindakan melaksanakan program lalu kemudian menjadi masalah hukum, maka kebanyakan berpikir lebih baik “uang kembali ke kas Negara” dari pada “bermasalah di kemudian hari”.
Ada bebrapa catatan terkait dengan penyelenggaraan Pra-Musrenbangnas yang dilakukan di Kantor Bappenas ini. Pertama, keharusan melakukan inovasi.
Di Indonesia ini, kata Pak Sofyan Jalil, menganut pemikiran bahwa “semua tidak boleh kecuali yang diperbolehkan”. Ini hal yang aneh. Sesuai dengan agama Islam, bahwa mestinya bahwa “semua boleh kecuali yang dilarang”. Makanya, ketika seorang pejabat melakukan inovasi yang belum ada aturannya, maka dianggaplah hal itu sebagai pelanggaran, sebab berdasarkan atas proposisi “semua dilarang kecuali yang diperbolehkan”.
Di dalam ajaran Islam, memang ada ungkapan di dalam ilmu Ush al Fiqh, bahwa “al ashlu fi al hukmi al ibahah” atau “asal dari hukum adalah kebolehan”. Jadi artinya, bahwa yang tidak dinyatakan benar-benar tidak boleh maka hakikatnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dengan demikian, maka yang benar adalah memberikan peluang untuk melakukan tindakan inovatif ketika hukum belum melarang untuk dilakukannya.
Jika hukum dipahami sebagaimana pemahaman seperti di atas, yaitu dasar hukum adalah kebolehan, maka semestinya akan memunculkan banyak inovasi dan bukan sebaliknya akan memberangus inovasi. Di masa yang akan datang, kiranya harus ada perubahan mindset bahwa asas dasar pelaksanaan hukum adalah kebolehan, sehingga akan memunculkan banyak keberanian untuk melakukan eksekusi program dan bukan menghindarinya.
Kedua, banyak inovasi yang berbuah masalah. Setiap inovasi rasanya memang merupakan upaya terobosan untuk melakukan sesuatu yang memiliki kelebihan dalam menyongsong masa depan. Setiap inovasi merupakan upaya untuk melakukan perubahan atas situasi stagnan yang terus terjadi. Inovasi di dalam banyak hal merupakan terobosan untuk menembus batas keterbatasan dan keterkungkungan yang terjadi.
Hanya sayangnya banyak inovasi yang kemudian tidak mendapatkan penghargaan akan tetapi justru membuat masalah. Pak Menteri Bappenas, mengambil contoh, sayangnya saya kurang cermat, tentang seorang pejabat PLN di Jawa Tengah yang melakukan terobosan atas masalah yang dihadapi oleh PLN selama ini. Untuk memperluas jaringan PLN, maka harus melewati lahan-lahan masyarakat yang dibawahnya terdapat pohon buah-buahan seperti pisang dan lainnya. Masyarakat setempat meminta ganti rugi jika di atas lahan tersebut dilalui kabel jaringan PLN. Akibatnya, karena masyarakat menolak, maka jaringan tersebut tidak dapat dipasang dan berakibat merugikan PLN, sebesar 600 milyard rupiah. Lalu, dengan inisiatipnya, maka pimpinan PLN mengambil keputusan untuk memberikan uang kerahiman sebesar satu milyar rupiah lebih. Dalam pikiran pimpinan PLN, maka lebih baik mengeluarkan uang sedikit tetapi akan mengurangi dampak kerugian yang sangat besar. Namun apa yang terjadi, bahwa pimpinan PLN tersebut harus mendekam di penjara karena tindakannya itu dianggap merugikan negara.
Jadi inovasi untuk menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi negara justru dijadikan sebagai pintu masuk untuk menghukum dan bukan memberikan penghargaan. Kerugian sebesar 600 Milyard terselamatkan oleh pengeluaran sebesar satu milyar lebih, namun tindakan menyelamatkan uang negara itu dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Paradoks-paradoks semacam ini yang oleh Pak Jokowi maupun Pak Sofyan Jalil dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa untuk berbuat lebih maksimal. Dan jika hal seperti ini terus dilakukan, maka jangan diharapkan akan terjadi perubahan yang cepat di negeri ini.
Kiranya memang diperlukan kearifan hukum di dalam melihat masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, sehingga upaya-upaya untuk perbaikan dan percepatan pembangunan akan lebih cepat bisa dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
Dalam dua hari terakhir, 7-8 April 2016, saya berkesempatan untuk menghadiri acara Rapat Kerja Kementerian Agama Provinsi, yaitu Kanwil Kemenag Gorontalo dan Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan.
Saya datang di Gorontalo, pada jam 20.00 WIT dan lalu memberikan pengarahan dan sekaligus pencerahan bagi seluruh jajaran pejabat di Kemenag Gorontalo, kemudian jam 6.00 WIT terus meluncur ke Makasar untuk menghadiri acara pembukaan Rapat Kerja Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, yang dibuka oleh Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
Saya datang di acara tersebut dalam kapasitas narasumber untuk memberikan penjelasan mengenai evaluasi pelaksanaan anggaran tahun 2015 dan proyeksi anggaran Kementerian Agama tahun 2017. Dua acara ini memang sama-sama mengusung kegiatan Rapat Kerja Kanwil Kemenag.
Kedua raker ini juga sama-sama mengusung slogan “Kementerian Agama yang bersih dan melayani.” Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2016 ini tema yang menjadi perbincangan di seluruh kantor Kemenag adalah mengenai bagaimana menjadikan Kemenag sebagai kementerian yang bersih dan bisa memberikan pelayanan lebih optimal.
Kata bersih dan melayani adalah dua kata yang memang menjadi keinginan seluruh aparat Kemenag. Di banyak kesempatan Pak Menteri, Lukman Hakim Saifuddin selalu meneriakkan akan pentingnya membangun Kemenag agar menjadi instansi pemerintah yang bersih dari KKN dan memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat. Era sekarang bukan lagi era birokrasi dilayani, akan tetapi adalah era birokrasi yang melayani. Hakikatnya semua ASN adalah pelayan masyarakat. Oleh karena itu mindset kita harus berubah sesuai dengan gerakan reformasi birokrasi yang menginginkan agar ASN harus memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Sebagaimana biasanya, maka pada kesempatan ini saya sampaikan tiga hal penting. Pertama, hendaknya kita terus menerus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan anggaran kita. Di tengah manajemen kinerja, maka kita semua harus mawas diri, dengan selalu bertanya, apakah program atau kegiatan yang kita lakukan itu berjalan sesuai dengan perjanjian kinerja kita dan bermanfaat bagi rakyat banyak ataukah hanya akan memberikan keuntungan untuk kita sendiri.
Kabinet kerja di Era Pak Jokowi sudah menentukan bahwa prioritas program untuk Kementerian/Lembaga adalah pada pengembangan infrastuktur. Artinya, bahwa pengembangan infrastuktur harus diutamakan. Disadari benar bahwa hanya melalui penguatan infrastruktur maka kesejahteraan rakyat akan bisa dicapai lebib cepat. Jika infrastruktur jalan baik dan merata di seluruh Indonesia, maka pengembangan ekonomi juga akan bisa dicapai. Dengan demikian percepatan pencapaian kemakmuran akan bisa direalisir.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengubah mindset seluruh pejabat dan Aparat Sipil Negara (ASN) bahwa tugas kita ke depan adalah menganggarkan belanja modal lebih besar dari belanja lainnya. Jangan sampai belanja barang dan jasa atau belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja modal. Jika di masa lalu kita mengabaikan perbandingan anggaran seperti ini, maka sekarang saatnya kita mengubah semua ini.
Kedua, Kementerian Agama juga akan melakukan pengutamaan pengembangan infrastruktur untuk tahun 2017. Tahun 2016 ternyata bahwa anggaran untuk infrastruktur di Kemenag hanyalah 2,9 Trilyun dari 57 Trilyun anggaran keseluruhan. Itulah sebabnya di dalam pembicaraan dengan Pak Menteri, Lukman Hakim Saifuddin, saya sampaikan bahwa untuk tahun anggaran 2017 mestilah kita utamakan anggaran untuk infrastruktur ini. Beliau sangat mengapresiasi hal ini dan memberikan penekanan bahwa tahun 2017 agar dijadikan tonggak untuk mengubah mindset penganggaran Kemenag. Jika sebelumnya selalu menggunakan copy paste saja maka ke depan haruslah dicari pola perubahannya. Jadi jangan berpikir business as usual. Lakukan perubahan penganggaran dan utamakan yang sangat prioritas serta memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat.
Tahun 2017 haruslah menjadi momentum untuk meningkatkan anggaran infrastuktur. Ada banyak hal yang harus dibenahi dan dibangun. Sarana prasarana pendidikan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai pendidikan tinggi harus dapat dipenuhi, sehingga akses pendidikan akan bisa ditingkatkan. Kemudian juga sarana prasarana ibadah dari semua agama juga harus dipacu untuk berbenah. Selain itu juga sarana pelayanan agama juga harus dipenuhi. Ke depan KUA harus menjadi lebih baik dalam sarana prasarananya. Tahun 2017, anggaran untuk insfrastruktur akan menjadi sekurang-kurangnya 10 trilyun atau naik, kira-kira 300 persen.
Untuk mengutamakan pengembangan infrastruktur ini, maka yang harus dilakukan adalah dengan mendahulukan belanja pegawai sebesar 52 persen, lalu diambil kira-kira 17 persen untuk pengembangan insfrastruktur sebagai belanja modal, lalu ambil untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Biaya Operasional kantor, Bantuan Sosial dan barulah biaya program atau kegiatan lainnya. Melalui cara seperti ini, maka arus utama program pemerintah akan dapat dilaksanakan.
Ketiga, yang juga perlu untuk dipahami dan dilakukan adalah mengenai visi Kemenag. Core fungsi Kemenag adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan beragama, membangun kerukunan umat beragama dan memberikan pelayanan optimal bagi kehidupan umat beragama. Program pendidikan dan lainnya, hakikatnya adalah untuk menguatkan core program kemenag tersebut. Ujung akhir dari pendidikan adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama, demikian pula program haji dan tata laksana Kemenag. Melalui pemahaman yang benar mengenai tugas pokok dan fungsi Kemenag ini, maka seluruh ASN Kemenag hakikatnya adalah orang yang akan bertugas untuk meningkatkan paham dan pengamalan beragama tersebut.
Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengubah mindset seluruh ASN Kemenag agar bersearah dengan visi pemerintah dan juga visi pembangunan umat beragama yang memang menjadi kewajiban kita untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

UNFORGETABLE MOMENT UNTUK MUSIK KULINER

UNFORGETABLE MOMENT UNTUK MUSIK KULINER
Saya sungguh merasakan kebahagiaan kala mengikuti alunan music kuliner yang diselenggarakan di Hotel Fairmont. Acara ini merupakan pagelaran nyanyian dalam rangka launching Album Smaragama, oleh Ayu Azhari yang berkolaborasi dengan Band Gado-Gado pimpinan Devian Dzikri dari Jakarta.
Acara ini memang diformat dengan music gado-gado. Mula-mula memang music Jazz yang dihidangkan oleh Devian Dzikri dkk. Lantunan music Jazz yang apik terdengar melalui lagu-lagu yang merdu. Melalui backing vocal yang bagus, maka lagu demi lagu jazz pun mengalun dengan enaknya.
Motion Blue adalah salah satu tempat mangkal musisi Jakarta yang tampil dalam acara-acara khusus, misalnya adalah untuk pagelaran music dalam kapasitias terbatas. Mungkin tidak lebih dari 100 orang pengunjung. Motion Blue di hotel Fearmont memang disiapkan secara khusus untuk pegelaran musik yang hanya diikuti oleh para penggemar alunan music lembut, seperti musik jazz atau music pop, dengan kapasitas terbatas. Sound sistemnya juga sangat mendukung terhadap pagelaran terbatas ini.
Saya memang mendapatkan undangan khusus untuk hadir di dalam pagelaran Smaragama, yang merupakan moment untuk promosi album music gado-gado yang dinyanyikan oleh Ayu Azhari. Sebagai bagian dari promosi lagu-lagu gado-gado, maka album itu juga diwarnai oleh berbagai alunan music, baik yang berwarna jazz, pop bahkan lagu melayu modern.
Ayu Azhari tampil sangat luar biasa pada malam itu. Beliau tidak hanya menyanyi akan tetapi juga menghibur hadirin yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas. Dengan guyonan khasnya, serta kemampuannya untuk mengantarkan lagu-lagu yang dinyanyikannya, maka saya rasa beliau tampil dengan sangat optimal. Saya kira sebagai seorang bintang, pesona beliau belumlah habis daya pesonanya, bahkan menjadi semakin matang di dalam olah suara maupun penghantar acara.
Siapapun yang mendengarkan alunan suara dan gerakan-gerakan ritmisnya akan berpandangan bahwa acara yang diberi tajuk “Indahnya Smaragama Ayu Azhari Feat Devian Dzikri” sungguh sangat menarik.
Selain Ayu yang menyanyi juga gadis cantiknya, Ayu menyebutnya sebagai little Princess, Isabella, putrinya, juga menyanyikan lagu yang sangat menarik. Lagu Love Your Self, Justin Bieber, yang dinyanyikan dengan sangat merdu. Putri Ayu yang kelima ini ternyata mewarisi bakat menyanyi dari Ibunya. “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”. Isabella adalah anak bakat ibunya.
Sebagai music gado-gado, tentu bisa dilihat dari jenis lagu-lagu yang dinyanyikan, yaitu: Gado-Gado, Pempek Lenjer, Hidup ini Indah, Keroncong Jakarta, Mentok Abis. Selain itu juga ada tambahan lagu, seperti Sweet Dream yang pernah dinyanyikan oleh Patsy Cline, Somewhere over the Rainbow oleh Israel Kamakawiwo’ole dan Nasi Goreng yang diciptakan oleh Tante Lien. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ayu, bahwa Tante Lien adalah seorang wanita berkebangsaan Belanda, yang bernama asli Louise Johanna Theodora “Wieteke” van Dort. Lagu ini diciptakan oleh Tante Lien untuk mengingat akan kelezatan Nasi Goreng dari Jawa. Maklumlah Tante Lien, lama menetap di Indonesia, sehingga mengenal dengan baik mengenai kuliner Nusantara. Lagu ini sendiri judul aslinya adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng yang diciptakan tahun 1974. Beliau lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943. Beliau menetap di Surabaya hingga usia 16 tahun dan setelah itu menetap di Den Haag, Belanda hingga sekarang. Lagu ini diciptakannya kala beliau sedang meminum anggur dan teringat tentang makanan Khas Jawa, yaitu Nasi Goreng maka diciptakanlah lagu tersebut.
Album Ayu ini memang dinyatakan sebagai Album Musik Kuliner. Ayu memang gencar mempromosikan kuliner Nusantara. Beliau pernah menyelenggarakan seminar dan pameran makanan Khas Bangka di Bangka Belitung. Beliau juga rajin menyapa berbagai macam makanan khas Nusantara, seperti kue-kue yang berasal dari berbagai daerah.
Tidak banyak artis yang memiliki kepedulian terhadap kuliner Nusantara dan kemudian mempromosikannya. Ayu adalah sebagian kecil dari artis yang memiliki kepedulian terhadap khasanah makanan khas Nusantara itu. Makanya, menurut saya pantaslah kalau Beliau menjadi Duta Kuliner Khas Nusantara itu. Albumnya yang dinyatakannya sebagai Album Kuliner Nusantara tentu menjadi bukti akan kepedulian tersebut.
Di antara yang hadir pada malam itu adalah wartawan senior mengenai musik Indonesia. Ketika beliau didaulat untuk berbicara dan memberikan kesan tentang acara ini beliau nyatakan bahwa acara ini sungguh sangat spesial, karena ditempatkan di Motion Blue yang sangat terkenal menghasilkan musikus andal, akan tetapi juga yang menyanyi adalah Ayu Azhari yang juga luar biasa, serta tema musiknya “Album Musik Kuliner”.
Saya tentu awam di bidang music, akan tetapi telinga saya familiar dengan segala jenis music, mulai dari music Jazz, Pop, Melayu bahkan Gamelan Jawa. Telinga saya bisa merasakan keindahan sebuah alunan musik dan jiwa saya merasakan nikmatnya mendengarkan alunan musik. Dengan musik hidup akan menjadi indah.
Makanya, saya setuju dengan syair yang dibawakan oleh Ayu bahwa “hidup ini sulit, jangan dibuat sulit, hidup ini susah jangan dibuat susah, hidup ini indah, harus dibuat indah, hidup ini pilihan, aku pilih bahagia”. Saya tidak ingat persis bunyi syairnya, akan tetapi kira-kira di seputar itu.
Sungguh, pertunjukan yang dilakukan Ayu mulai dari jam 21.00 Wib sampai jam 22.30 WIB tersebut merupakan unforgetable moment, sebab memang layak untuk dikenang.
Wallahu a’lam bi al shawab.