• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HUKUM UNTUK INSTRUMEN KEADILAN (1)

HUKUM UNTUK INSTRUMEN KEADILAN (1)
Di dalam kesempatan memberikan pengarahan pada acara Rapat Kerja Pemerintah (RKP) beberapa saat yang lalu, Presiden RI, Joko Widodo, memberikan arahan agar dilakukan deregulasi terhadap aturan-aturan yang menyebabkan kesulitan untuk melakukan percepatan pelaksanaan anggaran. Tidak hanya itu, beliau juga mengisyaratkan agar para pelaku pelaksana anggaran memiliki jaminan bahwa mereka akan memperoleh perlindungan di dalam pelaksanaan program atau kegiatannya.
Hal ini pula yang disampaikan oleh Menteri Bappenas, Sofyan Jalil, pada waktu acara Pra Musrenbangnas di Kantor Bappenas, hari Senin, 11 April 2016, yang lalu. Acara yang dihadiri oleh pejabat eselon satu pusat, pejabat perencanaan pusat dan juga pejabat perencanaan daerah ini memang menjadi ajang untuk memberikan masukan tentang bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah merencanakan dan melakukan program-programnya.
Dewasa ini memang ada kegamangan bagi para pejabat untuk mengeksekusi kegiatan terutama terkait dengan makin besarnya ketidakpastian di dalam melakukan program dimaksud. Mereka menjadi ketakutan untuk mengeksekusi program yang berada di dalam kawasan yang tidak jelas aturannya. Dengan semakin banyaknya pejabat yang melakukan tindakan melaksanakan program lalu kemudian menjadi masalah hukum, maka kebanyakan berpikir lebih baik “uang kembali ke kas Negara” dari pada “bermasalah di kemudian hari”.
Ada bebrapa catatan terkait dengan penyelenggaraan Pra-Musrenbangnas yang dilakukan di Kantor Bappenas ini. Pertama, keharusan melakukan inovasi.
Di Indonesia ini, kata Pak Sofyan Jalil, menganut pemikiran bahwa “semua tidak boleh kecuali yang diperbolehkan”. Ini hal yang aneh. Sesuai dengan agama Islam, bahwa mestinya bahwa “semua boleh kecuali yang dilarang”. Makanya, ketika seorang pejabat melakukan inovasi yang belum ada aturannya, maka dianggaplah hal itu sebagai pelanggaran, sebab berdasarkan atas proposisi “semua dilarang kecuali yang diperbolehkan”.
Di dalam ajaran Islam, memang ada ungkapan di dalam ilmu Ush al Fiqh, bahwa “al ashlu fi al hukmi al ibahah” atau “asal dari hukum adalah kebolehan”. Jadi artinya, bahwa yang tidak dinyatakan benar-benar tidak boleh maka hakikatnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dengan demikian, maka yang benar adalah memberikan peluang untuk melakukan tindakan inovatif ketika hukum belum melarang untuk dilakukannya.
Jika hukum dipahami sebagaimana pemahaman seperti di atas, yaitu dasar hukum adalah kebolehan, maka semestinya akan memunculkan banyak inovasi dan bukan sebaliknya akan memberangus inovasi. Di masa yang akan datang, kiranya harus ada perubahan mindset bahwa asas dasar pelaksanaan hukum adalah kebolehan, sehingga akan memunculkan banyak keberanian untuk melakukan eksekusi program dan bukan menghindarinya.
Kedua, banyak inovasi yang berbuah masalah. Setiap inovasi rasanya memang merupakan upaya terobosan untuk melakukan sesuatu yang memiliki kelebihan dalam menyongsong masa depan. Setiap inovasi merupakan upaya untuk melakukan perubahan atas situasi stagnan yang terus terjadi. Inovasi di dalam banyak hal merupakan terobosan untuk menembus batas keterbatasan dan keterkungkungan yang terjadi.
Hanya sayangnya banyak inovasi yang kemudian tidak mendapatkan penghargaan akan tetapi justru membuat masalah. Pak Menteri Bappenas, mengambil contoh, sayangnya saya kurang cermat, tentang seorang pejabat PLN di Jawa Tengah yang melakukan terobosan atas masalah yang dihadapi oleh PLN selama ini. Untuk memperluas jaringan PLN, maka harus melewati lahan-lahan masyarakat yang dibawahnya terdapat pohon buah-buahan seperti pisang dan lainnya. Masyarakat setempat meminta ganti rugi jika di atas lahan tersebut dilalui kabel jaringan PLN. Akibatnya, karena masyarakat menolak, maka jaringan tersebut tidak dapat dipasang dan berakibat merugikan PLN, sebesar 600 milyard rupiah. Lalu, dengan inisiatipnya, maka pimpinan PLN mengambil keputusan untuk memberikan uang kerahiman sebesar satu milyar rupiah lebih. Dalam pikiran pimpinan PLN, maka lebih baik mengeluarkan uang sedikit tetapi akan mengurangi dampak kerugian yang sangat besar. Namun apa yang terjadi, bahwa pimpinan PLN tersebut harus mendekam di penjara karena tindakannya itu dianggap merugikan negara.
Jadi inovasi untuk menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi negara justru dijadikan sebagai pintu masuk untuk menghukum dan bukan memberikan penghargaan. Kerugian sebesar 600 Milyard terselamatkan oleh pengeluaran sebesar satu milyar lebih, namun tindakan menyelamatkan uang negara itu dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Paradoks-paradoks semacam ini yang oleh Pak Jokowi maupun Pak Sofyan Jalil dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa untuk berbuat lebih maksimal. Dan jika hal seperti ini terus dilakukan, maka jangan diharapkan akan terjadi perubahan yang cepat di negeri ini.
Kiranya memang diperlukan kearifan hukum di dalam melihat masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, sehingga upaya-upaya untuk perbaikan dan percepatan pembangunan akan lebih cepat bisa dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..