MENGEMBANGKAN REGULASI UNTUK INOVASI
MENGEMBANGKAN REGULASI UNTUK INOVASI
Saya memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan seluruh jajaran punggawa Kementerian Agama yang selama ini terkait dengan hukum. Mereka adalah para pejabat pusat dan daerah yang selama ini memang menjadi punggawa yang terkait dengan regulasi di bawah Kementerian Agama (kemenag).
Acara yang diselenaggarakan oleh Kepala Biro Hukum Kemenag ini memang menjadi wahana untuk melakukan Evaluasi dan Konsultasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang ditempatkan di Hotel Santika Bandung (27/04/2016). Selain membahas mengenai litigasi juga menjadi ajang untuk sosialisasi beberapa aturan yang diterbitkan oleh Kemenag.
Sebagaimana biasanya, saya selalu memberikan tiga hal mendasar sebagai bagian dari upaya untuk merumuskan regulasi yang bernuansa pengembangan inovasi terutama di Kemenag. Pertama, regulasi versus inovasi. Selama ini sering dinyatakan bahwa inovasi dan regulasi adalah dua entitas yang berada di dalam nuansa antagonistis. Seperti dua hal yang tidak saling menyapa dan mendukung. Atau seperti air dengan minyak atau regulasi mengarah ke arah timur sementara inovasi mengarah ke arah barat. Jadi seperti ada otonomisasinya masing-masing.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Menteri Bappenas, Sofyan Jalil, bahwa ada banyak inovasi yang karena dianggap atau ditafsirkan melanggar undang-undang, maka kemudian berujung pada masalah hukum. Dengan demikian, para pejabat tidak lagi berani melakukan inovasi terkait dengan regulasi yang tidak mendukung terhadap upaya inovatif tersebut. Masih ingat dengan kasus yang menimpa seorang creator televisi di Jawa Tengah yang terjerat hukum karena dia menciptakan atau merakit televisi tanpa ijin dan memperjualbelikannya. Tindakan yang bersangkutan bukanlah dianggap sebagai inovasi akan tetapi melanggar aturan.
Regulasi selayaknya dapat digunakan untuk mendukung terhadap upaya inovasi oleh sekelompok masyarakat atau individu di dalam kerangka untuk mengembangkan ekonomi kreatif atau lainnya. Oleh karena itu selayaknya yang dijadikan pedoman adalah “setiap sesuatu adalah kebolehan atau al ashlu fi al asyya” al ibahah”. Jadi bukanlah “semua dilarang kecuali yang diperbolehkan”. Sesungguhnya, premis hukum juga menyatakan hal yang sama, bahwa asal usul hukum adalah kebolehan kecuali yang dilarang”. Namun demikian, di dalam praktek hukum justru yang terjadi sebaliknya.
Jika di dalam membangun inovasi ternyata justru menimbulkan masalah, maka ke depan akan sangat sulit terjadi inovasi yang dilahirkan oleh para manajer atau pemimpin bangsa ini dalam berbagai levelnya. Orang menjadi takut dan yang lebih parah adalah jika kemudian muncul pemikiran “lebih baik kembalikan ke kas negara dari pada bermasalah”. Saya kira sudah banyak contoh tentang inovasi yang berakhir dengan masalah hukum.
Kedua, kesadaran hukum versus pelaksanaan anggaran. Kita tentu bersyukur bahwa akhir-akhir ini ada peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban dan juga kesadaran hukum. Hal ini tentu terkait dengan semakin meningkatnya pendidikan di kalangan masyarakat kita. Proposisi yang bisa dinyatakan adalah “semakin tinggi pendidikan masyarakat, maka akan semakin tinggi kesadaran hukumnya”.
Namun demikian yang kemudian merisaukan adalah ketika kesadaran tentang hukum juga bersepadupadan dengan kenaikan kepentingan tentang banyak hal, misalnya jabatan. Kita menjadi risau kala di dalam perebutan jabatan di berbagai level tertentu juga diwarnai dengan tindakan saling mengadukan perilaku masing-masing. Secara empiric bisa dijumpai banyak kasus PTUN, bahkan di perguruan tinggi yang disebabkan oleh factor jabatan. Juga sangat banyak kasus pengaduan di kepolisian, kejaksaan dan lain-lain terkait dengan pilkada dan sebagainya.
Jika memang terjadi penyalahgunaan atau tindakan melawan hukum pastilah semua orang akan mendukungnya, akan tetapi yang menjadi problem adalah kala pengaduan itu untuk kepentingan merebut jabatan yang secara procedural dan contentual memang “kurang” layak bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada dua sisi yang bisa saling bertabrakan, yaitu meningkatnya kesadaran hukum di satu sisi dan di sisi lain tuntutan kebutuhan akan status sosial, seperti jabatan dan sebagainya.
Ketiga, mematuhi dan menjalankan regulasi sesuai dengan kapasitasnya dengan tetap berpegangan pada pentingnya inovasi. Menjalankan regulasi tidak berarti harus sama sekali tidak melakukan inovasi. Di dalam kerangka pembangunan, maka dibutuhkan inovasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya perbaikan dan rekonstruksi. Makanya, Presiden RI, Joko Widodo, sudah menegaskan bahwa harus ada deregulasi untuk menjadi jawaban atas carut marut pelaksanaan anggaran. Beliau sudah mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa serta Belanja Modal, lalu diikuti dengan Perpres No 5 Tahun 2016 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Belanja Modal. Melalui berbagai regulasi ini, maka lalu ada kepastian apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya dan bagaimana pelaku merasa aman di dalam tindakannya.
Melalui deregulasi dan kepastian hukum, maka pelaku pembangunan akan bisa memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak akan selalu menabrak aturan yang berakibat masalah di kemudian hari. Prinsip “semua bisa dilakukan kecuali yang dilarang” yang selama ini menjadi norma kontekstual di kalangan ahli hukum, kiranya memang harus menjadi realitas empiris.
Namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana semua aparat pemerintah harus patuh pada aturan (compliance) dan juga menjalankan aturan sesuai dengan kapasitasnya, sehingga keselamatan yang sesungguhnya menjadi idaman bagi semua orang juga akan mengeksis.
Jadi, inovasi bisa dilakukan dan regulasi bisa memberi peluang untuk melakukannya merupakan idaman bagi semua aparat pemerintah yang di dalam dirinya memiliki mimpi untuk membangun kemajuan. Indonesia yang maju dan modern hanya akan diwujudkan jika banyak orang yang bisa melakukan inovasi berbasis pada integritas, profesionalitas, tanggung jawab dan keteladanan.
Wallahu a’lam bi al shawab.