HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEADILAN (2)
HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEADILAN (2)
Saya tidak tahu apakah di dalam kenyataan bahwa ada yang disebut sebagai kearifan hukum. Jika kearifan lokal atau local wisdom, sebagai orang yang pernah belajar antropologi, meskipun kurang tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya saya memahami mengenai local wisdom tersebut.
Terkait dengan local wisdom ini, maka sering kali dinyatakan sebagai bagian dari budaya daerah yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat lokal. Misalnya untuk masyarakat Papua disebutkan adanya tradisi “satu tungku tiga batu” untuk menggambarkan bagaimana masyarakat Papua merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Demikan pula kearifan lokal masyarakat Ambon, Jawa dan juga daerah lain. Di dalam tradisi Nusantara, maka setiap daerah tentu memiliki kearifan lokalnya masing-masing.
Sesungguhnya, di dalam hukum juga terjadi kearifan itu. Menurut saya tetap saja ada wisdom yang berbasis pada hati nurani di dalam pelaksanaan hukum. Bukankah hukum sebenarnya merupakan sarana untuk memperoleh keadilan, sehingga hukum juga tidak berada di langit yang tinggi, akan tetapi hukum tentu harus menginjak bumi sebagai tempat pijakan manusia.
Makanya, hukum juga terkait dengan manusia dan kemanusiaan. Keadilan tentu tidak harus mengikis dimensi kemanusiaan sampai titik nol. Akan tetapi dimensi kemanusiaan harus tetap dikomunikasikan dengan dimensi hukum dan keadilan. Kita yakin bahwa hukum tidak akan terlepas dari aspek kemanusiaan ini.
Ada sebuah contoh bagaimana seharusnya dimensi dan perspektif yang digunakan untuk memutuskan hukum haruslah bervariasi, akan tetapi ternyata tidak dilakukan. Dalam kasus pimpinan PLN yang dihukum terkait dengan tindakan inovatif, rasanya ada satu hal yang tidak dipertimbangkan oleh penegak hukum adalah dimensi produk yang dihasilkan dari tindakan inovatif tersebut. Jika hanya dengan dalil proses yang dibidik, maka bisa jadi yang dilakukan oleh pimpinan PLN tersebut mengandung kelemahan, meskipun tidak bisa juga dinyatakan sebagai kesalahan. Oleh karena itu, menetapkan yang bersangkutan sebagai terdakwa dan kemudian dihukum tentu mengabaikan dimensi hasil sebagai akibat tindakan yang dilakukan.
Dengan mengeluarkan 1,2 Milyard rupiah tetapi menyelamatkan 600 Milyard rupiah, maka tindakan tersebut tentu bisa dibenarkan. Oleh karena itu, jika yang digunakan adalah penilaian proses saja, yaitu anggapan menyalahi aturan tentang pemberian uang kerahiman, maka yang bersangkutan bisa dianggap keliru di dalam inovasinya, akan tetapi jika dilhat dari produk menyelamatkan uang Negara yang mencapai ratusan milyar rupiah, maka tindakan inovatif itu tentu memiliki kesahihannya.
Jadi, melihat kesalahan tentu tidak hanya dilihat dari satu sisi akan tetapi juga harus melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, sehingga menghasilkan keputusan yang seadil-adilnya. Jika di dalam mengambil keputusan hanya mengandalkan pandangan satu sisi, maka dikhawatirkan akan terjadi distorsi di dalam pengambilan keputusan.
Saya yakin bahwa di dalam mengambil keputusan, para penegak hukum juga menggunakan hati nuraninya. Pastilah di dalam pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada aspek luar atau teks hukum, akan tetapi juga menggunakan konteks hukum yang mendasarinya suatu peristiwa terjadi. Oleh karena itu, pertimbangan yang bersifat nurani atau kemanusiaan mestilah termasuk bagian penting di dalam pengambilan keputusan.
Saya berkeyakinan bahwa melalui pertimbangan yang lebih komprehensif, maka keputusan para penegak hukum pastilah memenuhi “rasa keadilan” yang juga sesungguhnya menjadi idaman bagi semua orang. Memang juga harus disadari bahwa sangat sulit untuk memberikan “rasa” keadilan bagi semua orang, sebab setiap orang juga memiliki perspektif sesuai dengan kepentingannya. Namun demikian, sebagai benteng terakhir orang untuk mencari keadilan, maka para penegak hukum mestilah menggunakan sejumlah perspektif agar keputusan yang dihasilkan akan lebih baik hasilnya.
Ada sebuah anekdot, yang saya tidak tahu tingkat kebenarannya, tentang seorang hakim yang harus mengadili mantan gurunya. Dengan berbagai macam pertimbangan, maka Sang Guru dinyatakan bersalah dan harus membayar denda yang memang menjadi kewajibannya untuk membayarnya. Perlu diketahui bahwa Sang Mantan Guru ini tetap hidup dalam kesederhanaan dan bahkan kemiskinan.
Ketika selesai diputuskan, dan Sang Guru dinyatakan harus membayar denda, sebesar satu juta lebih, maka ketika Sang Guru tertunduk karena ketidakmampuannya harus membayar denda, maka Si Hakim lalu turun ke para hadirin yang memadati sidang itu dan kemudian membalik topi hakimnya. Dia memberi contoh untuk memberikan uang ke dalam topi itu, maka lalu tergeraklah hadirin juga untuk melakukan hal yang sama. Setelah para hadirin memberikan santunannya, lalu dihitung akhirnya didapatkan uang lebih dari tuntutan hukum. Maka dengan uang itu tuntutan hukum dibayarnya, dan sisanya diberikan kepada guru yang dihukumnya itu.
Kisah ini memberikan inspirasi bagi kita, bahawa keadilan tetap dapat ditegakkan, akan memberikan nuansa kemanusiaan juga tidak bisa dihilangkan. Jadi sebenarnya tetap ada jalan keluar untuk memberikan rasa keadilan di satu sisi dan kemanusiaan di sisi lain.
Oleh karena itu, antara hukum dan kemanusiaan adalah layaknya dua sisi mata uang. Di sisi lain adalah hukum dan di sisi lain lagi adalah kemanusiaan. Jadi bukan harus dipisahkan dalam pemisahan yang distingtif.
Wallahu a’lam bi alshawab.