• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HADAPI PEKERJAAN KANTOR DENGAN MENTALITAS YANG KUAT

HADAPI PEKERJAAN KANTOR DENGAN MENTALITAS YANG KUAT
Ada suatu acara yang sangat penting di dalam tata kelola kesekretariatan Kementerian Agama (Kemenag) yang dilakukan oleh Biro Umum Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, yaitu Program Pembinaan Motivasi Kerja Pegawai Biro Umum Kemenag Tahun Anggaran 2016 yang diselenggarakan di Hotel Seruni Puncak Bogor, Rabo, 1-3 Juni 2016. Acara ini dihadiri oleh segenap jajaran pegawai Biro umum Kemenang dan dilaksanakan selama tiga hari.
Selain pemberian materi mengenai peningkatan budaya kerja Kemenag, juga disampaikan materi mengenai motivasi kerja dan tata kelola kepegawaian. Acara yang sangat menarik ini dihadiri oleh sebanyak 300-an orang dari Biro Umum Kemenag. Ada pejabat eselon 3, satpam, sopir, cleaning service hingga penata taman kemenag dan pramusaji kemenag.
Di dalam kesempatan ini, saya menyampaikan tiga hal yang saya anggap penting, yaitu: pertama, apresiasi terhadap kegiatan yang penting ini. Acara ini dapat menjadi wahana untuk saling bersilaturrahim di antara warga biro umum. Setiap kegiatan yang dilakukan hakikatnya adalah forum untuk saling mengingatkan apa yang seharusnya kita lakukan. Forum seperti ini menjadi penting untuk memberikan pemahaman kepada seluruh aparat kemenag agar terus menjaga palayanannya terhadap masyarakat dengan pelayanan yang optimal.
Kedua, setiap pekerjaan sesungguhnya mengandung dimensi positif tetapi juga mengandung aspek negative. Yang termasuk aspek positif adalah bekerja menghasilkan pendapatan dan yang negative adalah menghasilkan tekanan. Bahkan yang lebih parah jika menghasilkan stress. Oleh karena itu ada beberapa tips yang dapat dijadikan sebagai cara untuk mencegah pekerjaan menjadi tekanan dan menjadikannya sebagai wahana untuk rekreatif dan juga ibadah kepada Allah swt.
1) hendaknya kita selalu berpikir positif atau positive thinking. Di dalam konteks keagamaan disebut dengan husnudz dzon atau berbaik sangka. Orang yang berpikir positif akan bisa menghasilkan energy positif dan energy positif akan menghasilkan kekuatan fisik dan rohani yang luar biasa. Orang yang selalu berpikir positif akan dapat menatap setiap yang terjadi di alam alam ini berdasarkan atas cara pandang bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ketentuan Tuhan. Tidak ada sesuatu yang lahir atau ada tanpa seoengatahuan dan af’alnya Tuhan. Kita dilarang oleh Allah untuk suudz dzon atau berburuk sangka. Suudz dzon akan menghasilkan energy negative dan akan menuntun kita kepada keburukan fisik dan juga psikhis. Orang yang selalu berburuk sangka akan selalu melihat dengan kacamata negative. Bahkan orang berbuat baik pun dicurigai sebagai akan melakukan sesuatu tindakan yang merugikan. Baik sangka akan menghasilkan kepasrahan kepada Allah, bahwa segala sesuatu yang terjadi hanyalah semata-mata takdir Allah. Jika ada orang berbuat tidak baik harus dianggap bahwa yang bersangkutan sedang menjalankan darmanya untuk mengingatkan kita agar selalu membangun relasi dengan Tuhan.
2) harus menjadi diri sendiri. Kita boleh untuk meminta support kepada siapa yang kita anggap dapat memberikan dorongan agar kita bisa keluar dari masalah yang kita hadapi. Akan tetapi bahwa keputusan terakhir tetap ada di tangan kita. Allah memberikan kemampuan rasional kepada manusia untuk memilih mana tindakan yang paling relevan dan penting untuk dilakukan. Rational choice inilah kekuatan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Oleh karena perubahan harus datang dari kita sendiri. Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum kecuali kaum itu sendiri yang melakukan perubahan. Jadi maka kita tidak boleh menggantungkan kehidupan kita kepada orang lain. Kita harus menjadi diri kita sendiri. Jika ada bantuan dari orang lain maka hal itu harus dianggap sebagai support belaka dan bukan penentunya.
3) Hadirkan spiritualitas di dalam kehidupan. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki potensi spiritual. Masyarakat yang paling primitive pun memiliki potensi spiritual ini. Makanya, potensi spiritual itu harus diaktualkan di dalam kehidupan kita. Jadi manusia memiliki spiritual choice di dalam kehidupannya. Bukankah di dalam ibadah kita ditekankan bahwa “sesungguhnya shalat kita, kehidupan kita, dan kematian kita hanya untuk Allah semata.” Dengan konsepsi ini, maka kala kita memiliki problem kehidupan selayaknya perlu kita sambaungkan dengan Allah lewat berbagai cara ibadah yang bisa dilakukan. Makanya penting ditanyakan kepada diri kita, kapan kita dzikir kepada Allah, kapan kita salat malam untuk Allah, kapan kita sedekah untuk Allah dan sebagainya. Hakikat ibadah apakah yang bercorak kemanusian atau lainnya, hakikatnya adalah untuk Allah. Makanya ketika kita sedang menghadapi masalah kehidupan juga haus mengadukannya kepada Allah. Jika diperlukan solusi atau support penyelesaian hakikatnya adalah instrument saja dan bukan factor utama penyelesaian.
Dengan demikian, maka kita akan dapat bekerja dengan optimal jika kita menempatkan diri kita itu di dala kerangka pengabdian kepada Allah. Makanya, harus dijaga kebersamaan, dijaga kebaikan lingkungan kerja kita dan juga dijaga soliditas kita di dalam bekerja. Jika ini bisa dilakukan, maka tekanan kerja akan dapat menjadi potensi kebaikan. Ubahkan masalah menjadi berkah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

EVALUASI PROGRAM 5000 DOKTOR

EVALUASI PROGRAM 5000 DOKTOR
Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama. Acara ini diselenggarakan di Jakarta. Hadir pada acara ini adalah para pakar pendidikan Islam, dari berbagai daerah dan terutama adalah alumnus perguruan tinggi luar negeri, seperti Australia, Amerika, Eropa, dan Timur Tengah.
Hadir pada pertemuan ini antara lain adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Diklat Kementerian Agama, Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Rektor UIN Yogyakarta, UIN Palembang, Dekan Fakultas Sosial Politik UIN Surabaya, Direktur Pasca Sarjana UIN Yogyakarta, Direktur Pasca Sarjana, dan beberapa dosen dari PTKIN. Selain itu juga hadir Direktur Utama LPDP, dan Direktur Keuangan LPDP.
Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan tiga hal penting terkait dengan evaluasi Program 5000 Doktor Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Pertama, terkait dengan keinginan untuk mengembangkan PTKIN menjadi PTKINyang memiliki basis distingsi, ekselensi dan destinasi bagi mahasiswa tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga mahasiswa luar negeri. Ke depan kita tidak hanya bangga mengirimkan mahasiswa kita ke luar negeri akan tetapi juga meneriman mahasiswa luar megeri yang belajar di Indonesia.
PTKIN diharuskan menjadi perguruan tinggi yang memiliki unsur pembeda dengan perguruan tinggi lainnya. Misalnya sama-sama mengembangkan program studi ilmu sosial, maka harus ada perbedaan antara yang dikembangkan oleh UGM, UI, UB, UA dan sebagainya. PTKIN dapat mengembangkan misalnya adalah program integrasi ilmu yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan program UIN di negeri ini. Misalnya adalah ilmu sosial profetik. Kawasan kajiannya adalah mengintegrasikan atau mendialogkan antara ilmu sosial dan ilmu keislaman dan lain-lain.
Ciri khas tersebut harus menjadi pembeda antara PTKIN dengan PTU lainnya yang selama ini telah melang melintang di dalam pengembangan ilmu-ilmu non keislaman. Oleh karena diharapkan dengan program 5000 doktor ini maka akan dapat mempercepat proses untuk mengembangkan distingsi, ekselensi dan destinasi dimakusd.
Kedua, beberapa catatan tentang program 5000 doktor. 1) kiranya diperlukan pemetaan kebutuhan dosen se PTKIN Indonesia dalam kerangka untuk memahami tentang berapa sebenarnya kebutuhan dosen pada masing-masing PTKIN. Melalui pemetaan ini maka diharapkan akan terjadi ketepatan di dalam pemberian beasiswa kepada dosen dan kemudian berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan PTKIN akan dosen yang berkualitas.
Selain itu juga diperlukan kesiapan SDM untuk program studi lanjut khususnya di luar negeri. Jangan sampai ada banyak program studi lanjut akan tetapi ketersediaan SDM untuk studi lanjut sangat terbatas. Maka harus disiapkan sejumlah calon atau kandidat untuk studi lanjut dengan cara misalnya kursus Toefl atau AILETS di dalam kerangka untuk mempersiapkan para kandidat untuk studi lanjut di berbagai Negara di luar negeri.
Terus terang salah satu kelemahan di dalam pelaksanaan program 5000 doktor d luar negeri adalah kendala penguasaan bahasa, khususnya Bahasa Inggris. Jika tujuannya adalah Negara-negara Barat, maka penguasaan Bahasa Inggris menjadi mutlak untuk dikuasai. Sedangkan jika ke Timur Tengah, seperti Mesir, Saudi Arabia, Maroko, Sudan dan sebagainya, maka diperlukan kemampuan Bahasa Arab. Dengan demikian, penyiapan SDM yang unggul harus dimulai dengan kemampuan komunikasi yang secara lebih khusus adalah kemampuan Bahasa Arab.
Lalu yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai skema anggaran untuk program 5000 doktor ini. Menurut saya ada empat scenario tentang bagaimana mengarrenge anggaran untuk program studi 5000 doktor. 1) srategi bahwa semua kandidat doctor dibiayai oleh LPDP. Sebagiaman yang dilakukan terhadap Kemenristek Dikti, maka biaya beasiswa untuk program S3 di dalam banyak hal dilakukan aau ditake over oleh LPDP. Melalui hal ini, maka anggaran Kemenag akan dapat didayagunakan untuk memeuhi program prioritas nasional yang juga dirasa masih terbatas anggarannya. 2) LPDP sebagai fasilitator anggaran. Di dalam hal ini, maka sesuangguhnya yang memiliki anggaran adalah kemenag. Hanya saja keterlambatan eksekusi anggaran menjadi tidak terelakkan. Rumit karena harus melalui pola setor ke kas Negara lalu bisa didayagunakan. 3) anggaran dipenuhi oleh DIPA Kemenag. Degan demikian seluruh pembayaran untuk Program 5000 doktor menjadi tanggungjawab Kemenag sebagi instansi yang memiliki program ini. 4) pola campuran, yaitu sebagian dibiayai oleh Kemenag dan sebagian lainnya oleh LPDP. Oleh kaeena itu, maka akan terjadi proses saling memahami tentang system penganggaran ini. Saya kira yang menjadi pilihan atas scenario ini adalah yang pertama seluruh program doctor dibiayai LPDP dan yang kedua adalah scenario ketiga yang memungkinkan sharing anggaran untuk program ini.
Saya percaya bahwa melalui scenario yang tepat, maka program 5000 doktor akan bisa menjadi pengungkit di dalam kerangka penguatan mutu PTKIN kita.
Wallahu a’lam bia al shawab.

TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
Hari ini, Ahad, 22 Mei 2016, saya memperoleh kesempatan untuk menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Acara ini diikuti oleh seluruh jajaran pejabat di Kakanwil Kementerian Agama Provinsi dari seluruh Indonesia.
Acara yang diselenggarakan di Hotel Aston Bengkulu ini dilaksanakan selama tiga hari, mulai hari Jumat, 20 Mei 2016 yang lalu. Acara sosialisasi dan penguatan pengelolaan wakaf ini memang menjadi acara rutin yang diselenggarakan oleh Direktorat Wakaf untuk menyamakan wawasan mengenai pengelolaan wakaf di seluruh Indonesia.
Saya menyampaikan tiga hal mengenai apa dan bagaimana tantangan wakaf di Indonesia, khususnya menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean yang sekarang sudah berlangsung. Sebagaimana diketahui bahwa kita memang tertinggal di dalam pengelolaan wakaf, misalnya oleh Singapura maupun Malaysia. Kedua Negara ini telah menyelenggarakan perwakafan dengan pengelolaan yang lebih baik dibanding dengan pengelolaan perwakafan di Indonesia.
Pertama, bahwa wakaf sesungguhnya bisa menjadi instrument pemberdayaan atau pengembangan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Rencana Strategis Kementerian Agama, salah satunya adalah meningkatkan potensi ekonomi umat melalui lembaga-lembaga keagamaan. Dengan demikian, sebenarnya keberadaan wakaf dan termasuk juga zakat, infaq dan shadaqah telah menjadi medium penting di dalam pemberdayaan ekonomi umat. Dengan dimuatnya potensi ekonomi umat melalui lembaga keagamaan di Kementeraian Agama, berarti bahwa keberadaan wakaf, zakat, infaq dan shadaqah telah merupakan bagian tidak terpisahkan dari fungsi lembaga-lembaga agama untuk dikembangkan menjadi potensi pemberdayaan ekonomi umat.
Potensi wakaf untuk pemberdayaan ekonomi umat sebenarnya luar biasa besar. Hal ini tentu terkait dengan jumlah tanah wakaf yang sangat besar dan juga potensi wakif dalam bentuk uang atau wakaf tunai yang sangat besar. Besarnya tanah wakaf yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia tentu bisa menjadi kekuatan raksasa untuk membangun ekonomi. Jadi, ada potensi tersembunyi yang belum termanfaatkan secara maksimal.
Kedua, bahwa potensi wakaf belum optimal. Hal ini saya kira merupakan pemahaman umum bahwa wakaf uang dan wakaf harta tidak bergerak sebenarnya sangat besa potensinya. Hanya saja problemnya adalah tingkat capaian wakaf uang hanya kira-kira 5%-6% saja dari potensi wakaf uang dari seluruh umat Islam di Indonesia. Kemudian yang tidak kalah serunya juga masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk wakaf, baik wakaf uang maupun wakaf benda tidak bergerak. Dan yang tidak kalah penting juga wakaf uang atau wakat tunai juga belum secara maksimal didayagunakan untuk kepentingan produktif. Seharusnya dipikirkan bagaimana membangun manfaat wakaf uang untuk investasi jangka panjang, misalnya penguatan pendidikan atau penguatan usaha di kalangan masyarakat.
Lalu, wakaf harta tidak bergerak juga masih terlilit problem sertifikasi yang belum tuntas. Masih sangat banyak tanah wakaf kita yang tidak bersertifikat dan kemudian menuai masalah hukum. Ada sejumlah orang yang menuntut dikembaikannya tanah wakaf kepada ahli waris disebabkan tanah wakaf tersebut belum diserfikatkan. Di sisi lain juga tanah wakaf yang kebanyakan idle atau tidak didayagunakan untuk kepentingan yang lebih luas. Makanya, diversifikasi usaha yang dilakukan oleh Nadzir terkait dengan wakaf juga belum memberikan dukungan yang memadai untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi umat. Meskipun saya tidak memperoleh data terkait dengan produktivitas tanah wakaf, tetapi secara commonsense dapat saya nyatakan bahwa produktifitas tanah wakaf kita masih rendah.
Ketiga, di dalam pengelolaan wakaf di Indonesia juga kebanyakan masih menggunakan cara-cara konvensional. Belum didukung oleh SDM pengelola yang andal, belum didukung oleh data yang akurat dan belum didukung oleh teknologi IT yang memadai. Ke depan yang diharapkan adalah pengelolaan wakaf haruslah menggunakan pengelolaan atau manejemen modern. Pengelolaan wakaf harus diukung oleh SDM yang memiliki basis pengetahuan dan kapasitas manajerial yang memadai. Sudah bukan saatnya wakaf dikelola dengan cara-cara atau manajemen apa adanya atau manajemen tradisional.
Para pengelola wakaf harus memiliki visi dan misi pengembangan manfaat wakaf berbasis pada pemikiran modern, di mana basis data, IT dan SDM yang mengelolanya memiliki kapasitas yang memadai. Jika hal ini tidak dilakukan saya khawatir bahwa potensi wakaf kita yang luar biasa besar tidak akan bisa digarap sesuai dengan fungsinya bagi masyarakat Indonesia.
Negara seperti Malaysia, Singapura dan juga Mesir sudah mampu memanfaatkan wakaf untuk diversifikasi kemanfataannya. Di Mesir, maka Al Azhar University adalah lembaga pendidikan yang digerakkan melalui wakaf yang diversifikatif.
Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Wakaf, maka sesungguhnya dengan wakaf maka kita akan bisa menjadikannya sebagai instrument untuk ibadah di satu sisi dan di sisi lain juga untuk kemanfaatan umum, yang di dalam hal ini adalah untuk mengembangkan ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Jika wakaf bisa didayagunakan dalam tiga aspek ini saja, maka manfaat wakaf bagi pembanguunan manusia Indonesia yang sejahtera dan bahagia akan bisa didorong lebih cepat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

RUMUSKAN PERENCANAAN PROGRAM BERBASIS DATA AKURAT

RUMUSKAN PERENCANAAN PROGRAM BERBASIS DATA AKURAT
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pengarahan pada acara “Penghematan dan Pemotongan Anggaran Kementerian Agama Tahun Anggaran 2016 di Hotel Aston, Jakarta, 23 Mei 2016. Acara yang diinisiasikan oleh Biro Perencanaan Kementerian Agama RI tersebut dihadiri oleh segenap jajaran pejabat perencanaan pusat dan daerah. Acara ini digelar selama tiga hari untuk memastikan berapa besaran pemotongan anggaran pada masing-masing satker.
Ada beberapa hal yang saya sampaikan kepada para peserta rapat koordinasi perencanan ini, yaitu: pertama, tentang dasar pemikiran penghematan. Sebagaimana sudah sering diberitakan di berbagai media bahwa penghematan anggaran merupakan keniscayaan di tengah situasi ekonomi dunia yang belum memberikan peluang pertumbuhan ekonomi secara memadai. Ada alasan yang mengemuka ialah tentang the Fed di Amerika yang sedang gonjang-ganjing. Saham The Fed terus mengalami devaluasi seirring dengan perkembangan ekonomi dunia yang belum membaik. Lalu krisis Yunani yang juga menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi dunia yang makin rendah. Amerika, Jepang, Cina dan lainnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang makin melambat. Tidak kalah pentingnya adalah devaluasi Yuan Cina sebagai akibat kriris ekonomi yang harus dihadapinya. Factor-faktor eksternal ini bertali temali dengan faktor internal berupa penerimaan pajak yang rendah dan tidak mencapai target. Akibatnya, penerimaan Negara juga menjadi terganggu sehingga mengharuskan dilakukan penilaian tentang APBN kita.
Kedua, besaran penghematan seluruh K/L adalah Rp50,6 Trilyun. Disebabkan oleh ketidakpastian pertumbuhan ekonomi nasional, maka secara tegas harus dilakukan pemotongan anggaran Negara agar terjadi keseimbangan antara pendapatan Negara dan belanja Negara. Di dalam konteks ini, maka Kemenag mendapat potongan sebesar Rp1,339 Trilyun. Pemotongan ini memang dikenakan kepada seluruh Unit Eselon I Kemenag. Besarannya dilakukan secara proporsional. Dengan demikian, maka Dirjen Pendidikan Islam tentu harus menanggung penghematan dalam jumlah besar. Secara keseluruhan fungsi pendidikan dipangkas dengan besaran penghematannya adalah sebanyak Rp1,392 Trilyun. Sedangkan fungsi agama dipotong sebesar Rp6,731 Milyard.
Berdasarkan pemotongan yang besar untuk pendidikan Islam, maka dapat dipastikan bahwa banyak program dan kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan karena ketiadaan anggaran. Untuk penghematan ini, yang bisa dipotong adalah perjalanan dinas, rapat, meeting, konsinyering, workshop, pembangunan gedung perkantoran, langgana daya dan jasa, pengadaan mobil dinas honorarium Tim/kegiatan dan proyek yang menggunakan sasa dana lelang/swakelola. Lalu yang tidak dihemat adalah gaji pegawai, tunjangan kinerja, PHLN/RMP, BLU, PNBP, SBSN, kegiatan prioritas RKP (TPG, BOS, KIP, beasiswa lanjutan, Bidik Misi dan sebagainya).
Problem utamanya adalah keterbatasan anggaran sehingga pemotongan berapapun jumlahnya tentu akan mengurangi pelaksanaan program dan kegiatan yang sudah direncanakan. Misalnya pengembangan infrastruktur pendidikan dan sarana ibadah yang di dalam konteks pemotongan anggaran juga terkena dampaknya.
Ketiga, terkait dengan penghematan, maka diperlukan koordinasi antar unit Eselon I dan juga koordinasi pusat dan daerah. Sebagaimana prinsip perencanaan yang berbasis pada kepentingan stakeholder, maka penghematan tidak bisa dilakukan tanpa melakukan koordinasi yang tertata dengan dengan dengan seluruh unit terkait. Di dalam prinsip perencanaan button up, maka koordinasi untuk penghematan memang harus dilakukan. Kiranya pertemuan ini menjadi penting untuk saling memahami apa, bagaimana dan mengapa penghematan tersebut harus dilakukan, lalu program atau kegiatan apa yang harus dihemat.
Ada tiga hal dasar yang kiranya ke depan harus menjadi perhatian bagi Biro Perencanaan, yaitu: 1) Biro Perencanaan dan segenap jajarannya harus memiliki data yang kuat. Perencanaan harus berbasis data. Bagaimana kita akan mengetahui sebuah program atau kegiatan itu sebagai prioritas atau bukan jika tidak didukung oleh data yang kuat. Kala kita ingin meningkatkan jumlah anggaran kita, maka yang diperlukan adalah dukungan data apa yang diperlukan. Bagi saya, bahwa ada korelasi yang signifikan antara ketersediaan data dengan perencanaan yang baik. 2) koordinasi antar pusat daerah dan antar unit Eselon I harus dibangun di atas basis elektronik yang canggih. Saya kira E-planning sangat diperlukan di era sekarang, apalagi kita menghadapi jumlah satker yang sangat banyak. Dengan jumlah satker 4484 buah, maka akan terjadi tingkat kesulitan yang luar biasa untuk melakukan koordinasi secara konvensional. 3) keterkaitan antara perencanaan program, kegiatan dan anggaran harus terus menerus untuk disinergikan. Ke depan saya kira kita harus menentukan mana prioritas yang sangat urgen untuk dilaksanakan dan mana yang dianggap penting saja. Oleh karena itu, perencanaan harus dirumuskan dengan benar-benar menggunakan pertimbangan yang sangat matang, sehingga juga sangat kecil kemungkinan untuk melakukan revisi atau sejenisnya di tengah perjalanan.
Jika perencanaan kita sudah sangat kuat, maka keakuratan prediksi tentu akan juga sangat baik. Makanya, ke depan saya kira kita harus memiliki basis data yang valid, memiliki SDM yang kuat dan juga kebutuhan urgen yang diperlukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEKALI LAGI PORNOGRAFI (3)

SEKALI LAGI PORNOGRAFI (3)
Perhatian pemerintah terhadap pornografi kelihatannya makin meningkat pasca terjadinya berbagai kekerasan terhadap anak dan juga berbagai kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh generasi muda. Berbagai masalah yang terkait dengan kekerasan seksual tersebut juga disebabkan oleh akses pornografi.
Menyikapi terhadap hal ini, maka kementerian yang terkait melakukan serangkaian pertemuan, baik dalam tataran tim teknis GTP3 maupun setingkat pejabat eselon I. Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Anti Pornografi, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan pelaksana Satgas adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Sebagai pelaksana harian Satgas adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Agama. Di era Kabinet Indonesia bersatu, maka yang menjadi ketua Harian Pelaksana Satgas adalah Wakil Menteri Agama RI.
Terkait dengan pelaksaan koordinasi pelaksana Satgas, maka pada hari Kamis, 19 Mei 2016 dilaksanakan pertemuan koordinasi antar kementerian untuk menyiapkan bahan bagi pertemuan setingkat menteri yang akan dilaksanakan beberapa minggu ke depan. Di antara kementerian yang hadir adalah dari kemenko PMK, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Lembaga Sensor Film, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan lain-lain.
Pertemuan ini menarik di tengah semakin semaraknya berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Kasus perkosaan ternyata bisa disebabkan oleh tayangan pornografi dan Narkoba. Itulah sebabnya mengawali pembukaan acara ini, saya menyatakan bahwa “Indonesia adalah darurat pornografi.” Bisa dibayangkan bahwa kebanyakan pengakses pornografi adalah anak-anak muda, masih siswa atau mahasiswa dan jumlahnya mencapai angka 25.000 perhari atau separoh dari akses anak-anak muda seluruh dunia.
Pertemuan yang diselenggarakan selama 2,5 jam mulai jam 10.00 WIB sampai jam 12.30 ini ternyata sangat menarik. Hamper seluruh pesarta rapat mengemukakan pendapatnya. Semuanya mengemukakan pandangan-pandangannya dan juga program-program yang sudah dan akan dilakukan di masa depan.
Dimulai dengan pandangan Deputi Perlindungan Ibu dan Anak Kemenko PMK, Pak Sujatmiko, lalu saya, kemenkumham dan seluruh peserta. Dalam pandangan Pak Sujatmiko, bahwa penangan pornografi harus serius dan melibatkan semua unsur masyarakat. Secara regulative bahwa gerakan anti pornografi sudah memiliki landasan yang sangat kuat, mulai dari Undang-Undang sampai Rencana Strategik atau Action Plan Gerakan Anti Pornografi. Hanya yang kurang adalah bagaimana membangun kebersamaan untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya pornografi di Indonesia.
Saya juga menjelaskan bahwa memang secara regulative sudah cukup bagi kita untuk melakukan pencegahan dan penganggulangan pornografi. Akan tetapi kendala yang terjadi selama ini adalah menyangkut anggaran dan keberadaan tim Gugus Tugas yang kurang berwibawa. Seharusnya, tim ini harus didukung oleh secretariat yang mantap dengan SDM yang terfokus pada program pencehagan dan penanggulangan pornografi. Dengan hanya menjadi bagian dari tugas dan fungsi kementerian terkait, maka tingkat perhatian dan focus akan kerja anti pronografi tidak akan tercapai.
Kementerian Agama telah menyelenggarakan berbagai kegiatan, misalnya adalah dengan menjadikan ibu-ibu Dharma Wanita di daerah-daerah dan juga istri pejabat eselon satu dan dua serta istri para Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) untuk menjadi agen anti pornografi. Pelatihan dengan tema “ Saya Ini Anti Pornografi dan Pornoaksi” atau “SIAPP” telah dilaksanakan beberapa saat yang lalu. Ibu-ibu yang secara naluriah memiliki kedekatan dengan putra-putrinya diharapkan menjadi garda depan bagi terbentuknya genarasi Indonesia di masa depan yang anti pornografi.
Hamper seluruh kementerian mengamini bahwa darurat pornografi memang tidak bisa lagi dianggap enteng. Semua harus konsentrasi pada gerakan anti pornografi. Semua menyadari bahwa pornografi sudah menjadi problem besar bagi bangsa ini. Dengan demikian, membangun generasi ke depan yang berkualitas tentunya juga dimulai dengan menjaga mereka dari pengaruh negative pornografi.
Dari pertemuan ini, maka ada beberapa catatan penting. Pertama, bahwa Teknologi Informas (TI) dengan berbagai tayangannya ternyata juga mengandung madarat bagi bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak negative tayangan pornografi, maka peran Kemenkoinfo tentu sangat besar. Media-media informasi yang mengandung content pornogarfi harus diblok dengan sekuat tenaga. Jangan pernah lengah untuk menghadapi gempuran media yang bermuatan pornografi. Semua elemen bangsa harus dibangunkan untuk mencegah dan menanggulangi aksi pornografi yang terus menjarah kehidupan generasi muda kita.
Kedua, memperluas jejaring gerakan anti pornografi. Tidak hanya antar kementerian dan lembaga pemerintah, akan tetapi juga dengan lembaga swasta, LSM, para ulama, organisasi-organisasi keagamaan, profesi dan juga tkoh-tokoh masayarakat lainnya. Dengan lembaga penyiaran, seperti televise, Koran dan radio serta media sosial lain sangat diperlukan kerjasamanya. Lembaga-lembaga pemerintah seperti KPI, KPAI, LSF dan LSM yang peduli pornografi kiranya sangat penting untuk dilibatkan di sini.
Ketiga, ada dua hal yang dapat menjadi rencana aksi untuk dilaksanakan, yaitu: 1) penanggulangan dan pencegahan pornografi melalui lembaga-lembaga pendidikan formal, pesantren dan lembaga pendidikan non formal lainnya sangat penting. Perlu ada Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KEI) yang melibatkan segenap jajaran masyarakat terutama key person yang memiki pengaruh. 2) penyembuhan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan menggandeng pesantren dan lembaga-lembaga swasta lainnya yang berkonsentrasi dalam penyembuhan pornografi.
Keempat, menegaskan tentang status kelembagaan satgas agar lebih kuat di dalam melakukan aksi yang lebih nyata. Misalnya secretariat yang harus dipisahkan dari tugas pokok yang sudah ada. Agar terdapat secretariat dengan focus fungsi pada anti pornografi. Kemudian juga kelembagaan di tingkat daerah perlu segera direalisasikan. Dengan kejelasan struktur GTP3 di pusat dan daerah maka akan terjadi percepatan gerakan anti pornografi. Yang belum memiliki struktur di daerah agar segera merealisasikannya.
Kelima, penganggaran yang jelas. Selama ini tidak ada anggaran yang dikhususkan untuk gerakan anti pornografi, sehingga program dan kegiatan sangat sporadic dan tidak direncanakan secara memadai. Tanpa penganggaran dan program yang jelas, maka Gerakan Anti Pornografi akan berjalan di tempat. Jika kita prihatin dengan kasus-kasus perkosaan yang terjadi selama ini dan hal itu disebabkan oleh tayangan pornografi, maka semua elemen bangsa ini harus bergerak secara serempak.
Keenam, tentukan time schedule yang jelas dan terkoordinasi. Kita sedang bermain dengan waktu yang cepat berubah dan juga perilaku pornografi yang makin transparan. Oleh karena itu perlu dilakukan gerakan yang cepat dengan waktu yang jelas. Kapan bertemu antar menteri, kapan antar pejabat eselon satu, kapan dengan lembaga-lembaga lain untuk melakukan serangkaian koordinasi.
Jika semuanya secara serempak bekerja bersama tentu dapat diprediksi bahwa lambat tetapi pasti akan terjadi perubahan menuju kepada yang lebih baik. Semua mendambakan Indonesia bebas pornografi dan semua tergantung aksi kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.