• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAKNA PUASA DALAM KONTEKS SOLUSI MASALAH (5)

MAKNA PUASA DALAM KONTEKS SOLUSI MASALAH (5)
Manusia sekarang memiliki tantangan kehidupan yang lebih kompleks dibandingkan 30-40 tahun yang lalu. Masalah yang mendasar tersebut terkait dengan perkembangan dunia yang makin cepat, sementara kemampuan manusia untuk mengikutinya tentu sangat terbatas. Salah satu di antara masalah sosial yang mendasar tersebut adalah mengenai kehidupan masyarakat perkotaan yang makin kompleks.
Di dalam ceramah agama yang saya sampaikan di Masjid Istiqlal dalam kerangka shalat jamaah tarawih (08/06/2016) tersebut saya sampaikan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan semakin komplek pada akhir-akhir ini. Bagi kita yang hidup di Jakarta, maka begitu sangat terasa mengenai kompleksitas kehidupan tersebut. Tekanan jumlah penduduk yang makin banyak sehingga ruang kehidupan juga semakin sesak. Benturan kepentingan juga semakin tinggi terkait dengan ketenagakerjaan, pengupahan, pekerjaan dan sumber daya kehidupan lainnya. Melalui ledakan jumlah penduduk yang tidak terkendalikan, maka banyak terjadi wilayah slum area. Permukiman kumuh dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Selain itu juga terjadinya perebutan fasilitas dan ruang pekerjaan yang sangat ketat. Dengan demikian, pemenuhan sandang, pangan dan papan yang semakin membesar juga tidak terhindarkan. Lalu dampak ikutannya tentu adalah semakin banyak kekerasan sosial dan kekerasan fisik yang sering terjadi.
Cobalah kita lihat betapa kemacetan kota Jakarta ini. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya anggota masyarakat kita yang mengakses jalan raya, sementara itu ruas jalan tidak bisa diperlebar atau diperluas sebagaimana yang kita inginkan. Orang berdesakan di jalan raya, di alat transportasi umum, di permukiman dan sebagainya. Orang bisa berada di jalan raya dalam waktu yang panjang. Jarak 3-4 kilo meter bisa ditempuh dalam waktu 2 sampai 3 jam. Sungguh hal ini bukanlah pemandangan aneh di kota seperti Jakarta. Untuk menempuh jarak dari satu titik ke titik lain di Jakarta, bukanlah sesuatu yang prediktif. Sungguh tidak bisa diprediksi.
Suasana kehidupan kota seperti ini tentu bisa mendorong orang untuk mudah emosional, seperti mudah tersinggung, pemarah, dan bahkan stress ringan atau berat. Orang menjadi egois, keras kepala dan mau menang sendiri. Perasaan individual makin menguat sementara perasaan sosialnya makin mengecil bahkan hilang sama sekali. Kira-kira mindsetnya menjadi “yang penting gue dapat”, “yang penting gue sampai” dan seterusnya.
Jika tekanan demi tekanan kehidupan kota ini terus mengeksis di dalam kehidupan setiap hari, maka sangat wajar jika ada di antara kita yang mudah terkena stroke, jantung coroner, dan penyakit lain yang terkait dengan seringnya emosional. Pelampiasan emosi terkadang juga tidak tepat, sehingga sesiapapun yang berhubungan dengannya akan terkena imbasnya.
Di dalam konteks seperti ini, maka puasa menjadi penting adanya. Di dalam puasa diajarkan justru untuk meredam terhadap masalah-masalah yang terus menerus mendera individu dan masyarakat ini. Puasa mengharuskan seseorang untuk menepis semua tindakan emosional yang ada di dalam diri. Semua harus ditekan sampai titik nol jika dimungkinkan. Oleh sebab itu, puasa dengan ajaran kesabaran, kepasrahan dan kepatuhan yang tinggi akan menjadi pengantar agar kita dapat mereduksi dan bahkan menihilkan semuanya itu.
Allah mengajarkan agar di kala kita menghadapi masalah adalah dengan berdizikir kepada Allah. Di saat kita sedang menghadapi persoalan, maka yang diajarkan adalah dengan mengembalikan semuanya itu kepada Allah semata. Maka diajari agar kita menyatakan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Yang arti secara umumnya adalah “semua adalah milik Allah dan akan kembali kepadanya”. Allah yang memberikan dan Allah pula yang akan mengambilnya.
Kala kita sedang terjebak macet, jangan berpikir yang negative, jangan menggerutu, jangan berkeluh kesah, akan tetapi gunakan waktu tersebut untuk berdzikir kepadanya. Ada yang menganjurkan membaca “Allahumma yassir wa tu’assir” yang maknanya adalah “Ya Allah permudah jangan persulit”. Lantunkan kalimat thayyibah, baca doa dan ayat al Qur’an yang kita hafal.
Jika bisa seperti ini, maka masalah terkait dengan kemacetan di Jakarta bukanlah menjadi persoalan akan tetapi justru mendatangkan waktu secara khusus tanpa kita desain untuk berdzikir kepada Allah. Alangkah indahnya jika kita bisa seperti ini. Kemacetan yang menyesakkan menjadi waktu dan ruang untuk mengekspresikan keberagamaan kita. Makanya, masalah bisa menjadi berkah. Dengan demikian, bagaimana kualitas kehidupan kita sesungguhnya sangat tergantung pada bagaimana kita memaknai kehidupan.
Jika kita bisa berpikir positif, maka juga akan menghasilkan energy positif. Dan insyaallah kehidupan akan menjadi semakin berkah. Sekali lagi “masalah menjadi berkah”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKNA PUASA SECARA PSIKHOLOGIS (4)

MAKNA PUASA SECARA PSIKHOLOGIS (4)
Puasa yang diajarkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw sebenarnya juga terkait dengan dimensi psikhologis. Bahkan setiap ibadah apapun bentuk dan caranya sebenarnya juga mengandung dimensi psikhologis itu. Misalnya orang menjadi makin tenang setelah melakukan ibadah. Orang merasa bahagia setelah bisa melakukan dzikir dan orang juga merasakan berpengalaman berhubungan dengan Tuhannya.
Berdasarkan penelitian psikhologi agama, maka kala seseorang berada di dalam suasana yang tidak menyenangkan, misalnya terjadi gempa bumi, kecelakaan dan perang, maka yang diingat adalah Tuhan. Mereka yang berada di dalam nuansa ini pasti akan melantunkan doa atau puja dan puji kepada Tuhan.
Sesungguhnya manusia memiliki potensi spiritual yang sekali waktu akan terasa sangat penting untuk didengarkan dan dimanifestasikan di dalam kehidupan. Orang yang berada di dalam suasana genting di dalam kehidupannya dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan berusaha untuk berdekatan dengan Tuhan dalam bentuk lantunan kalam Ilahi atau lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengekspresikan agama tersebut di dalam kehidupan berdasarkan atas pattern for behavior yang diteladankan oleh Nabi dan Rasul. Seseorang yang menjalankan puasa merupakan bagian dari ekspresi keagamaan sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Muhammad saw. Puasa merupakan salah satu ekpressi keagamaan yang khas, tidak hanya dari pelaksanaannya, akan tetapi juga dari sisi tradisinya.
Puasa sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad saw memiliki sisi kejiwaan. Dimensi psikhologis puasa adalah bagaimana puasa mengajarkan akan sikap dan tindakan kebaikan baik pada waktu puasa sedang berlangsung maupun sesudah puasa terjadi. Puasa mengajarkan kesabaran dan kepasrahan. Bagaimana orang tidak harus sabar di dalam kondisi kritis seperti kelaparan, kehausan dan harus menahan godaan puasa lainnya.
Puasa yang benar adalah jika puasa tersebut bisa memperkuat ketahanan fisik dan spiritual. Melalui puasa dilatih untuk memompa kesabaran dalam menghadapi godaan makanan, minuman dan perilaku seksual di siang hari. Jika hanya dari sisi ini mungkin banyak yang bisa melakukan. Akan tetapi dari sisi menahan untuk tidak marah, menggerutu, mencibir, berkata yang kurang baik sampai menahan pikiran negative tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Itulah sebabnya Allah memberi peringatan bahwa ada orang yang berpuasa, akan tetapi hanya memperoleh lapar dan dahaga.
Puasa mempunyai dimensi ketenangan batin. Artinya bahwa orang yang di dalam jiwanya terdapat kesabaran, maka dapat dipastikan di dalam dirinya juga akan memperoleh ketenangan. Melalui kesabaran maka akan terdapat pikiran dan tindakan positif. Bukankah pikiran yang sehat akan membawa kepada kesehatan fisiknya juga. Orang yang mengedepankan amarah akan dapat dipastikan jantungnya akan berdenyut lebih keras dan tentu akan menimbulkan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang tidak seimbang atau sebaliknya.
Kesabaran yang diciptakan oleh puasa akan membawa dampak positif bagi metabolism tubuh sehingga akan dapat menciptakan suasana kondusif di dalam mengarungi kehidupan. Tindakan amarah –apalagi yang berlebihan—akan menyebabkan pengaruh tubuh yang negative dan bahkan juga akan berpengaruh pada aura negative pada yang bersangkutan.
Saya tidak tahu secara medis tentang ukuran pengaruh kemarahan terhadap fisikal. Misalnya berapa detak jantung yang diakibatkannya dan bagaimana mekanisme pengaruhnya terhadap tekanan darah dan sebagainya, akan tetapi secara fisikal pastilah setiap orang akan mengetahui bagaimana pengaruh kemarahan dimaksud. Setiap orang yang marah pastilah bahwa denyut jantungnya akan lebih cepat dan bahkan tidak teratur.
Jika kita mengikuti nasehat dokter bahwa orang yang berpenyakit jantung dilarang marah atau bahkan senang berlebihan, tentu memiliki penjelasan bahwa ada korelasi antara kemarahan tersebut dengan mekanisme kerja jantung. Kemarahan akan dapat menjadi pemicu bagi detak jantung dan bahkan kemandegan jantung. Itulah sebabnya orang yang diindikasikan berpenyakit jantung maka harus menghargai jantungnya itu dengan cara berlaku sabar.
Dengan demikian, puasa merupakan medium yang sangat baik untuk membangun kesehatan fisik dan rohani melalui kesabaran dan kemudian akan dapat berpengaruh terhadap perilaku kita secara general.
Marilah kita berpuasa untuk memenuhi panggilan Allah yang sekaligus memiliki dua sisi keuntungan, yaitu keuntungan sehat secara fisik dan juga membawa kepada ketenangan batin secara psikhologis.
Wallahu’alam bi alshawab.

MAKNA PUASA SECARA SPIRITUAL (3)

MAKNA PUASA SECARA SPIRITUAL (3)
Kehidupan sebenarnya adalah rangkaian peristiwa, baik yang mengandung dimensi masalah atau yang mengandung kesebalikannya, tidak bermasalah. Hidup sesungguhnya merupakan rangkaian dari peristiwa demi peristiwa, baik yang kita ciptakan sendiri ataupun yang diciptakan oleh lingkungan kita.
Kata penciptaan dimaksudkan adalah merupakan hasil dari kreasi manusia sebagai akibat dari kemampuan insting, pikiran dan hati. Binatang hanya memiliki insting saja, sementara manusia memiliki kelengkapan potensi kehidupan, yaitu insting, pikiran dan hati. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna karena memiliki tiga potensi sekaligus itu.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling utama, sebaik-baik ciptaan. Meskipun Jin terbuat dari cahaya api yang menyala, akan tetapi dalam derajat kemakhlukannya kalah oleh manusia yang terbuat dari segumpal tanah. Manusia memang diberi kemampuan untuk memahami kehidupan secara lebih utuh karena sumber potensialnya yang lebih utama.
Manusia memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengatur dunia ini sebagai implemetasi dari kekhalifahan yang dimilikinya. Manusia adalah ruh Allah yang ditiupkan kepadanya. Dengan demikian, manusia mengandung di dalam dirinya potensi ketuhanan. Yang saya maksud dengan potensi ketuhanan adalah potensi spiritual yang memang sangat unik dan hanya dimiliki oleh manusia.
Akan tetapi manusia bisa lupa dengan potensi spiritualnya ini. Manusia mudah terlena untuk tidak menjadikan potensi spiritualnya tersebut menjadi mengeksis di dalam kehidupannya. Itulah sebabnya Allah lalu menurunkan Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul yang memiliki tugas untuk mengingatkan kembali akan potensi spiritual manusia tersebut. Rasul dibekali dengan pedoman hidup untuk menggapai kembali dunia spiritualnya yang hilang melalui kitab Suci. Dengan demikian, kitab suci merupakan pedoman bagi manusia untuk kembali kepada ajaran agamanya yang benar.
Salah satu ajaran yang potensial untuk mengembalikan kesadaran spiritual manusia adalah puasa. Bagaimana puasa bisa menjadi instrument untuk mengembalikan kesadaran spiritual dimaksud? Pertanyaan ini yang rasanya menjadi penting untuk dijawab. Puasa adalah ajaran Tuhan yang sangat universal. Hampir seluruh ajaran agama mengajarkan tentang puasa ini. Puasa bagi kaum awam adalah sebuah upacara ritual keagamaan yang hanya menekankan pada keabsahan secara lahiriyah, yaitu tidak makan, minum dan berhubugan seksual. Akan tetapi bagi kaum spiritualis, maka dimensi puasa sangatlah luas. Ia mencakup semua hal yang terkait dengan bagaimana membangkitkan fungsi spiritual tersebut di dalam kehidupannya.
Secara empiris dapat diketahui bahwa seluruh prosesi seseorang untuk menjadi alim yang unggul maka dipastikan bahwa proesinya melalui puasa. Kanjeng Sunan Kalijaga kala akan menjadi salah satu waliyullah, maka Beliau harus puasa selama bertahun-tahun di sungai di wilayah Tuban. Beliau puasa di air sungai untuk menjernihkan basis pikiran dan hatinya. Melalui puasa, maka beliau dapat memfokuskan seluruh kehidupannya hanya kepada Allah semata.
Sesungguhnya agama memberikan pedoman agar seseorang dapat mengarungi kehidupan bersearah kepada kebaikan. Agar seseorang bisa mengarahkan kepada kebaikan, maka di antara yang diajarkannya adalah dengan menahan hawa nafsunya. Seseorang harus mengarahkan kehidupannya dengan mengembangkan nafsu mutmainnahnya atau nafsu yang membawa kepada kedamaian, ketenangan, kesabaran dan hal-hal baik lainnya. Seirama dengan hal itu, maka nafsu amarah yang mewujud di dalam keangkaramurkaan, merasa paling berkuasa, merasa paling hebat dan segala nafsu yang terkait dengan keburukan harus dipangkas sesuai dengan kapasitas dirinya.
Nafsu amarah ini yang di dalam banyak hal dapat membawa kepada perilaku buruk atau jahat. Nafsu amarah akan membawa kepada kerusakan diri, lingkungan, masyarakat dan juga bangsa. Jika makin banyak orang yang memiliki nafsu amarah, maka akan terjadi pertentangan, rivalitas, dan bahkan konflik. Kerusakan sebagai akibat perang, sebenarnya dipicu oleh perilaku yang diarahkan oleh nafsu amarah ini. Demikian pula nafsu lawwamah atau nafsu yang lebih mengedepankan kepada pemenuhan kebutuhan fisikal atau biologis.
Melalui puasa yang mengajarkan spiritualitas, maka manusia diajarkan agar menjadi manusia paripurna, yaitu mengedepankan nafsu muthmainnah sesuai dengan fitrah manusia yang sebenarnya juga menginginkan kebaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKNA PUASA SECARA FISIK (2)

MAKNA PUASA SECARA FISIK (2)
Puasa dalam pengertian etimologis disebut menahan. Dalam konteks yang lebih sempit adalah menahan makan, minum dan melakukan relasi suami istri dalam bentuk seksualitas di siang hari. Jadi puasa secara etimologis memang berarti menahan dari hawa nafsu biologis. Makan, minum dan seksualitas adalah hawa nafsu biologis manusia yang paling asasi.
Makanya yang sering ditekankan di dalam puasa adalah agar jangan makan, minum dan berhubungan seks di siang hari karena hal tersebut membatalkan puasa. Larangan untuk melakukan ketiganya adalah larangan fisikal yang memang harus dipatuhi jika ingin memperoleh keabsahan puasa.
Setiap agama sesungguhnya memiliki tradisi puasa ini. Agama Samawi atau yang dikenal dengan sebutan Milllah Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki tradisi puasa ini. Memang berbeda-beda coraknya, akan tetapi hakikatnya adalah untuk menahan diri dari perbuatan yang memang menjadi larangan puasa.
Al Qur’an menegaskan bahwa puasa memang telah menjadi bagian dari kehidupan umat beragama sebelum Islam secara resmi disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Al Qur’an menjelaskan bahwa: “Ya ayyuhal ladzina amanu kutiba alaikum al shiyam kama kutiba ala al ladzina min qablikum laallakum tattaqun”. Yang artinya kurang lebih: “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu semua untuk melakukan puasa seperti halnya yang dilakukan oleh umat sebelummu agar kamu sekalian menjadi orang yang bertaqwa”.
Ayat ini memberikan gambaran secara nyata bahwa umat beragama sebelum Islam diturunkan kepada Nabiyullah Muhammad saw tentu sudah melakukan puasa tersebut. Puasa telah menjadi tradisi di kalangan kaum agamawan di masa sebelumnya. Meskipun cara dan modelnya berbeda tetapi hakikatnya bahwa puasa tersebut diperuntukkan bagi Tuhannya. Jadi orang beragama berpuasa karena memang ada perintah Tuhan untuk melakukannya.
Umat Islam diwajibkan puasa setiap tahun selama sebulan (29 atau 30 hari) tergantung dari umur bulan ramadhan pada tahun berkenaan. Makanya, umat Islam juga melalukan puasa sebagaimana umur bulan dimaksud. Jika tanggal 29 berdasarkan perhitungan hisab atau rukyat sudah tampak hilal yang menandakan tanggal 1 Syawal akan berlangsung, maka esok harinya masyarakat Islam akan mengakhiri puasanya dan melakukan shalat Idul Fithri. Jika tanggal 29 belum terdapat tanda hilal akan muncul di ufuk waktu sore hari selepas matahari terbenam, maka diistikmalkan atau disempurnakan menjadi 30 hari.
Masyarakat Islam di Indonesia tentu sudah memahami mengenai kewajiban puasa ini meskipun ada sebagian yang belum mengamalkannya. Hal ini tentu merupakan suatu hal yang secara sosiologis sangat masuk akal, sebab ada kelompok orang yang sudah sadar beragama dan ada sekelompok lainnya yang belum sadar beragama. Tentu sangat sulit untuk menyatakan berapa jumlah orang Islam yang sudah melakukan puasa atau belum. Hal ini tentu bisa dimaklumi sebab melaksanakan puasa tidak bisa dilihat secara fisikal sebagaimana ibadah shalat atau haji dan zakat yang memang secara fisikal bisa dilihat. Berpuasa tentu tidak bisa dilihat secara fisikal sebab berpuasa hanya diketahui oleh yang bersangkutan saja.
Secara fisik tentu puasa memiliki sejumlah manfaat untuk kesehatan. Sabda Nabi Muhammad saw: “berpuasalah kamu sekalian agar sehat”. Jika ditilik dari aspek sederhana di dalam kesehatan, maka puasa akan bermanfaat bagi kesehatan disebabkan oleh dekonstruksi fisik dalam melakukan aktivitas pencernaan. Selama 11 bulan alat pencernaan kita dipaksa untuk melakukan serangkaian aktivitas dalam rangka melaksanakan tugas penceranaan makanan. Maka dengan diistirahatkan selama sebulan dan diganti proses pencernaan makanan hanya pada malam hari, maka sesungguhnya kita telah memberikan waktu istirahat yang cukup bagi pencernaan kita.
Dengan berpuasa maka pencernaan dan segala metabolism tubuh yang terlibat di dalamnya akan menjadi normal kembali. Tentu ada banyak toxin yang dikeluarkan tubuh selama menjalankan puasa. Makanya dengan puasa akan dapat diseimbangkan lagi kerja tubuh sehingga akan diperoleh kesehatan yang lebih baik. Melalui keseimbangan tubuh di dalam mengelola kerja fisikal tubuh, maka tubuh akan menjadi sehat. Jadi, berpuasa tentu sangat baik bagi kesehatan.
Janganlah takut berpuasa, sebab Nabi Muhammad saw sudah menjanjikan bahwa puasa akan membawa kepada kesehatan tubuh yang makin baik. Marilah kita berpuasa agar fisik menjadi sehat. Bukankah ada suatu pernyataan yang sudah sangat kita hafal, yaitu: “qalbun salim fi jismin salim”. Yang artinya: “hati yang sehat terletak pada fisik atau tubuh yang sehat”.
Dengan demikian, sudah saatnya kita semua berpuasa agar tubuh dan hati kita menjadi makin sehat. Mari kita jalani puasa dengan benar, dan semoga puasa kita menjadi puasa yang maqbul.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKNA PUASA SECARA SOSIOLOGIS (1)

MAKNA PUASA SECARA SOSIOLOGIS (1)
Kita semua bersyukur karena bisa bertemu kembali dengan bulan puasa, yang dinyatakan sebagai bulan suci, bulan penuh berkah, bulan penuh ma’unah, bulan taubat dan bulan penuh pengampunan. Bulan puasa bisa menjadi instrument untuk menjadi semakin bertaqwa kepada Allah swt. Kita tentu bersyukur sebab sebagai umat Islam Indonesia kita bisa berpuasa dengan aman dan tenteram.
Indonesia memang memiliki keunikan terkait dengan penyelenggaraan puasa. Selalu ada pernik-pernik menarik yang bisa diceritakan terkait dengan puasa itu. Mulai dari perbedaan menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal sampai dengan tayangan televisi yang beraneka ragam.
Bulan puasa memang menghadirkan banyak cerita terkait dengan penyelenggaraan ibadahnya. Misalnya, untuk menandai puasa, maka sejumlah orang lalu semakin taqwa dengan shalat tarawih di masjid, mushalla atau tempat khusus yang digunakan untuk shalat jamaah. Orang banyak membaca al Qur’an sebagai pertanda kecintaannya terhadap Kitab Suci Islam dimaksud. Orang juga menjadi rajin sedekah dan infaq baik ke masjid atau ke Yayasan Sosial, dan seseorang juga menjadi semakin terkontrol perilakunya di saat bulan puasa.
Kita tentu bersyukur bahwa puasa pada tahun 2016 dapat dilakukan secara bersamaan. Tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya untuk menentukan kapan awal puasa dapat diketahui. Secara empiris, ada banyak bulan puasa yang dijalani dengan awal dan akhir puasa yang berbeda. Jika mereferensi pada laporan Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama, sebagaimana disampaikan oleh Pak Cecep Suryandaya, maka diperkirakan bahwa sampai tahun 2021 maka ada peluang untuk merayakan puasa dan merayakan hari Raya Idul Fithri secara bersamaan. Dalam kurun waktu empat tahun ke depan, kita akan bisa menikmati kebersamaan dalam berpuasa dan berhari raya.
Sesungguhnya ada kerinduan untuk secara bersama-sama menyelenggarakan awal bulan puasa dan juga akhir bulan puasa. Bahkan juga pelaksanaan hari Raya Idul Adha. Hanya sayangnya bahwa keinginan ini belum sepenuhnya bisa direalisasikan. Jika kita bisa melakukannya secara serentak itu semata-mata karena “kebaikan” bulan. Bukan karena kita sudah bersepakat mengenai kebersamaan tersebut.
Di antara organisasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah serta pemerintah di sisi lain, masih bisa saja terjadi perbedaan, misalnya Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dengan konsep “wujud al hilal” dengan NU yang lebih empiris melalui metode rukyat dengan konsep imkanur rukyat. Perubahan ini tentu sangat signifikan, sebab semula metode rukyat mewajibkan hilal terlihat secara fisikal.
Perkembangan terakhir yang menarik adalah perubahan tentang cara rukyat hilal yang memberikan opsi “kemungkinan” hilal bisa dilihat. Pola ini lebih dekat dengan metode hisab, sebab jika hasil hisab menyatakan hilal sudah dalam posisi 2 derajat dengan masa elongasi 8 jam, maka puasa sudah bisa diakhiri. Dengan demikian, terlihat atau tidak terlihat hilal, maka tanggal 1 Syawal sudah bisa ditentukan.
Akan tetapi dengan tetap berpegang teguh pada metode hisab dengan konsep “wujud al hilal”, maka keserentakan puasa akan menjadi terganggu jika ketinggian hilal kurang dari 2 derajat. Jika yang terjadi seperti ini, maka akan dapat dipastikan terjadi perbedaan di dalam menentukan tanggal 1 Ramadlan dan juga tanggal 1 Syawal.
Makanya, puasa bisa menjadi penanda batas organisasi di antara umat Islam. Puasa akan bisa memperteguh batas “keNUan” atau “Kemuhammadiyahan”. Selain itu, bulan puasa juga menjadi medium untuk menegaskan identitas “kesantrian” kita dengan cara-cara yang lebih beragama atau makin religious. Jika sebelumnya, mungkin kita lebih banyak beribadah secara individual, maka dengan hadirnya bulan puasa, maka kita menjadi beribadah secara berjamaah. Tarawih berjamaah, shalat wajib berjamaah dan indikasi lain yang memperteguh “kesantrian” tersebut.
Pada bulan puasa, banyak kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan shalat jamaah. Mushalla atau masjid perkantoran menjadi lebih ramai dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Orang yang bersedekah juga makin banyak. Banyak yang memberikan ta’jil atau makanan untuk berbuka yang disediakan oleh umat Islam. Semuanya dilakukan di dalam kerangka memperoleh pahala lebih sebagaimana dijanjikan kepada umat Islam yang berpuasa.
Ekspresi keagamaan ini semakin mempertegas batas antara “santri” dan “bukan santri” atau juga batas antara “penganut Islam taat” dengan “yang kurang taat” dan juga batas “antar pemeluk agama”. Sesungguhnya puasa bisa menjadi instrument yang secara sosiologis dapat dinyatakan “semakin mempertegas identitas sosial” di antara umat manusia.
Meskipun demikian, saya kira yang lebih penting adalah merajut kebersamaan di dalam praktik menjalani kehidupan. Jangan sampai perbedaan yang mempertegas batas identitas tersebut dapat menyebabkan terkoyaknya persatuan dan persatuan umat dan bangsa. Kita harus tetap menjaga kebersamaan itu kapan dan dimana saja.
Wallahu a’lam bi al shawab.