MAKNA PUASA SECARA SPIRITUAL (3)
MAKNA PUASA SECARA SPIRITUAL (3)
Kehidupan sebenarnya adalah rangkaian peristiwa, baik yang mengandung dimensi masalah atau yang mengandung kesebalikannya, tidak bermasalah. Hidup sesungguhnya merupakan rangkaian dari peristiwa demi peristiwa, baik yang kita ciptakan sendiri ataupun yang diciptakan oleh lingkungan kita.
Kata penciptaan dimaksudkan adalah merupakan hasil dari kreasi manusia sebagai akibat dari kemampuan insting, pikiran dan hati. Binatang hanya memiliki insting saja, sementara manusia memiliki kelengkapan potensi kehidupan, yaitu insting, pikiran dan hati. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna karena memiliki tiga potensi sekaligus itu.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling utama, sebaik-baik ciptaan. Meskipun Jin terbuat dari cahaya api yang menyala, akan tetapi dalam derajat kemakhlukannya kalah oleh manusia yang terbuat dari segumpal tanah. Manusia memang diberi kemampuan untuk memahami kehidupan secara lebih utuh karena sumber potensialnya yang lebih utama.
Manusia memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengatur dunia ini sebagai implemetasi dari kekhalifahan yang dimilikinya. Manusia adalah ruh Allah yang ditiupkan kepadanya. Dengan demikian, manusia mengandung di dalam dirinya potensi ketuhanan. Yang saya maksud dengan potensi ketuhanan adalah potensi spiritual yang memang sangat unik dan hanya dimiliki oleh manusia.
Akan tetapi manusia bisa lupa dengan potensi spiritualnya ini. Manusia mudah terlena untuk tidak menjadikan potensi spiritualnya tersebut menjadi mengeksis di dalam kehidupannya. Itulah sebabnya Allah lalu menurunkan Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul yang memiliki tugas untuk mengingatkan kembali akan potensi spiritual manusia tersebut. Rasul dibekali dengan pedoman hidup untuk menggapai kembali dunia spiritualnya yang hilang melalui kitab Suci. Dengan demikian, kitab suci merupakan pedoman bagi manusia untuk kembali kepada ajaran agamanya yang benar.
Salah satu ajaran yang potensial untuk mengembalikan kesadaran spiritual manusia adalah puasa. Bagaimana puasa bisa menjadi instrument untuk mengembalikan kesadaran spiritual dimaksud? Pertanyaan ini yang rasanya menjadi penting untuk dijawab. Puasa adalah ajaran Tuhan yang sangat universal. Hampir seluruh ajaran agama mengajarkan tentang puasa ini. Puasa bagi kaum awam adalah sebuah upacara ritual keagamaan yang hanya menekankan pada keabsahan secara lahiriyah, yaitu tidak makan, minum dan berhubugan seksual. Akan tetapi bagi kaum spiritualis, maka dimensi puasa sangatlah luas. Ia mencakup semua hal yang terkait dengan bagaimana membangkitkan fungsi spiritual tersebut di dalam kehidupannya.
Secara empiris dapat diketahui bahwa seluruh prosesi seseorang untuk menjadi alim yang unggul maka dipastikan bahwa proesinya melalui puasa. Kanjeng Sunan Kalijaga kala akan menjadi salah satu waliyullah, maka Beliau harus puasa selama bertahun-tahun di sungai di wilayah Tuban. Beliau puasa di air sungai untuk menjernihkan basis pikiran dan hatinya. Melalui puasa, maka beliau dapat memfokuskan seluruh kehidupannya hanya kepada Allah semata.
Sesungguhnya agama memberikan pedoman agar seseorang dapat mengarungi kehidupan bersearah kepada kebaikan. Agar seseorang bisa mengarahkan kepada kebaikan, maka di antara yang diajarkannya adalah dengan menahan hawa nafsunya. Seseorang harus mengarahkan kehidupannya dengan mengembangkan nafsu mutmainnahnya atau nafsu yang membawa kepada kedamaian, ketenangan, kesabaran dan hal-hal baik lainnya. Seirama dengan hal itu, maka nafsu amarah yang mewujud di dalam keangkaramurkaan, merasa paling berkuasa, merasa paling hebat dan segala nafsu yang terkait dengan keburukan harus dipangkas sesuai dengan kapasitas dirinya.
Nafsu amarah ini yang di dalam banyak hal dapat membawa kepada perilaku buruk atau jahat. Nafsu amarah akan membawa kepada kerusakan diri, lingkungan, masyarakat dan juga bangsa. Jika makin banyak orang yang memiliki nafsu amarah, maka akan terjadi pertentangan, rivalitas, dan bahkan konflik. Kerusakan sebagai akibat perang, sebenarnya dipicu oleh perilaku yang diarahkan oleh nafsu amarah ini. Demikian pula nafsu lawwamah atau nafsu yang lebih mengedepankan kepada pemenuhan kebutuhan fisikal atau biologis.
Melalui puasa yang mengajarkan spiritualitas, maka manusia diajarkan agar menjadi manusia paripurna, yaitu mengedepankan nafsu muthmainnah sesuai dengan fitrah manusia yang sebenarnya juga menginginkan kebaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.