MAKNA PUASA SECARA SOSIOLOGIS (1)
MAKNA PUASA SECARA SOSIOLOGIS (1)
Kita semua bersyukur karena bisa bertemu kembali dengan bulan puasa, yang dinyatakan sebagai bulan suci, bulan penuh berkah, bulan penuh ma’unah, bulan taubat dan bulan penuh pengampunan. Bulan puasa bisa menjadi instrument untuk menjadi semakin bertaqwa kepada Allah swt. Kita tentu bersyukur sebab sebagai umat Islam Indonesia kita bisa berpuasa dengan aman dan tenteram.
Indonesia memang memiliki keunikan terkait dengan penyelenggaraan puasa. Selalu ada pernik-pernik menarik yang bisa diceritakan terkait dengan puasa itu. Mulai dari perbedaan menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal sampai dengan tayangan televisi yang beraneka ragam.
Bulan puasa memang menghadirkan banyak cerita terkait dengan penyelenggaraan ibadahnya. Misalnya, untuk menandai puasa, maka sejumlah orang lalu semakin taqwa dengan shalat tarawih di masjid, mushalla atau tempat khusus yang digunakan untuk shalat jamaah. Orang banyak membaca al Qur’an sebagai pertanda kecintaannya terhadap Kitab Suci Islam dimaksud. Orang juga menjadi rajin sedekah dan infaq baik ke masjid atau ke Yayasan Sosial, dan seseorang juga menjadi semakin terkontrol perilakunya di saat bulan puasa.
Kita tentu bersyukur bahwa puasa pada tahun 2016 dapat dilakukan secara bersamaan. Tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya untuk menentukan kapan awal puasa dapat diketahui. Secara empiris, ada banyak bulan puasa yang dijalani dengan awal dan akhir puasa yang berbeda. Jika mereferensi pada laporan Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama, sebagaimana disampaikan oleh Pak Cecep Suryandaya, maka diperkirakan bahwa sampai tahun 2021 maka ada peluang untuk merayakan puasa dan merayakan hari Raya Idul Fithri secara bersamaan. Dalam kurun waktu empat tahun ke depan, kita akan bisa menikmati kebersamaan dalam berpuasa dan berhari raya.
Sesungguhnya ada kerinduan untuk secara bersama-sama menyelenggarakan awal bulan puasa dan juga akhir bulan puasa. Bahkan juga pelaksanaan hari Raya Idul Adha. Hanya sayangnya bahwa keinginan ini belum sepenuhnya bisa direalisasikan. Jika kita bisa melakukannya secara serentak itu semata-mata karena “kebaikan” bulan. Bukan karena kita sudah bersepakat mengenai kebersamaan tersebut.
Di antara organisasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah serta pemerintah di sisi lain, masih bisa saja terjadi perbedaan, misalnya Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dengan konsep “wujud al hilal” dengan NU yang lebih empiris melalui metode rukyat dengan konsep imkanur rukyat. Perubahan ini tentu sangat signifikan, sebab semula metode rukyat mewajibkan hilal terlihat secara fisikal.
Perkembangan terakhir yang menarik adalah perubahan tentang cara rukyat hilal yang memberikan opsi “kemungkinan” hilal bisa dilihat. Pola ini lebih dekat dengan metode hisab, sebab jika hasil hisab menyatakan hilal sudah dalam posisi 2 derajat dengan masa elongasi 8 jam, maka puasa sudah bisa diakhiri. Dengan demikian, terlihat atau tidak terlihat hilal, maka tanggal 1 Syawal sudah bisa ditentukan.
Akan tetapi dengan tetap berpegang teguh pada metode hisab dengan konsep “wujud al hilal”, maka keserentakan puasa akan menjadi terganggu jika ketinggian hilal kurang dari 2 derajat. Jika yang terjadi seperti ini, maka akan dapat dipastikan terjadi perbedaan di dalam menentukan tanggal 1 Ramadlan dan juga tanggal 1 Syawal.
Makanya, puasa bisa menjadi penanda batas organisasi di antara umat Islam. Puasa akan bisa memperteguh batas “keNUan” atau “Kemuhammadiyahan”. Selain itu, bulan puasa juga menjadi medium untuk menegaskan identitas “kesantrian” kita dengan cara-cara yang lebih beragama atau makin religious. Jika sebelumnya, mungkin kita lebih banyak beribadah secara individual, maka dengan hadirnya bulan puasa, maka kita menjadi beribadah secara berjamaah. Tarawih berjamaah, shalat wajib berjamaah dan indikasi lain yang memperteguh “kesantrian” tersebut.
Pada bulan puasa, banyak kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan shalat jamaah. Mushalla atau masjid perkantoran menjadi lebih ramai dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Orang yang bersedekah juga makin banyak. Banyak yang memberikan ta’jil atau makanan untuk berbuka yang disediakan oleh umat Islam. Semuanya dilakukan di dalam kerangka memperoleh pahala lebih sebagaimana dijanjikan kepada umat Islam yang berpuasa.
Ekspresi keagamaan ini semakin mempertegas batas antara “santri” dan “bukan santri” atau juga batas antara “penganut Islam taat” dengan “yang kurang taat” dan juga batas “antar pemeluk agama”. Sesungguhnya puasa bisa menjadi instrument yang secara sosiologis dapat dinyatakan “semakin mempertegas identitas sosial” di antara umat manusia.
Meskipun demikian, saya kira yang lebih penting adalah merajut kebersamaan di dalam praktik menjalani kehidupan. Jangan sampai perbedaan yang mempertegas batas identitas tersebut dapat menyebabkan terkoyaknya persatuan dan persatuan umat dan bangsa. Kita harus tetap menjaga kebersamaan itu kapan dan dimana saja.
Wallahu a’lam bi al shawab.