EVALUASI PROGRAM 5000 DOKTOR
EVALUASI PROGRAM 5000 DOKTOR
Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama. Acara ini diselenggarakan di Jakarta. Hadir pada acara ini adalah para pakar pendidikan Islam, dari berbagai daerah dan terutama adalah alumnus perguruan tinggi luar negeri, seperti Australia, Amerika, Eropa, dan Timur Tengah.
Hadir pada pertemuan ini antara lain adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Diklat Kementerian Agama, Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Rektor UIN Yogyakarta, UIN Palembang, Dekan Fakultas Sosial Politik UIN Surabaya, Direktur Pasca Sarjana UIN Yogyakarta, Direktur Pasca Sarjana, dan beberapa dosen dari PTKIN. Selain itu juga hadir Direktur Utama LPDP, dan Direktur Keuangan LPDP.
Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan tiga hal penting terkait dengan evaluasi Program 5000 Doktor Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Pertama, terkait dengan keinginan untuk mengembangkan PTKIN menjadi PTKINyang memiliki basis distingsi, ekselensi dan destinasi bagi mahasiswa tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga mahasiswa luar negeri. Ke depan kita tidak hanya bangga mengirimkan mahasiswa kita ke luar negeri akan tetapi juga meneriman mahasiswa luar megeri yang belajar di Indonesia.
PTKIN diharuskan menjadi perguruan tinggi yang memiliki unsur pembeda dengan perguruan tinggi lainnya. Misalnya sama-sama mengembangkan program studi ilmu sosial, maka harus ada perbedaan antara yang dikembangkan oleh UGM, UI, UB, UA dan sebagainya. PTKIN dapat mengembangkan misalnya adalah program integrasi ilmu yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan program UIN di negeri ini. Misalnya adalah ilmu sosial profetik. Kawasan kajiannya adalah mengintegrasikan atau mendialogkan antara ilmu sosial dan ilmu keislaman dan lain-lain.
Ciri khas tersebut harus menjadi pembeda antara PTKIN dengan PTU lainnya yang selama ini telah melang melintang di dalam pengembangan ilmu-ilmu non keislaman. Oleh karena diharapkan dengan program 5000 doktor ini maka akan dapat mempercepat proses untuk mengembangkan distingsi, ekselensi dan destinasi dimakusd.
Kedua, beberapa catatan tentang program 5000 doktor. 1) kiranya diperlukan pemetaan kebutuhan dosen se PTKIN Indonesia dalam kerangka untuk memahami tentang berapa sebenarnya kebutuhan dosen pada masing-masing PTKIN. Melalui pemetaan ini maka diharapkan akan terjadi ketepatan di dalam pemberian beasiswa kepada dosen dan kemudian berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan PTKIN akan dosen yang berkualitas.
Selain itu juga diperlukan kesiapan SDM untuk program studi lanjut khususnya di luar negeri. Jangan sampai ada banyak program studi lanjut akan tetapi ketersediaan SDM untuk studi lanjut sangat terbatas. Maka harus disiapkan sejumlah calon atau kandidat untuk studi lanjut dengan cara misalnya kursus Toefl atau AILETS di dalam kerangka untuk mempersiapkan para kandidat untuk studi lanjut di berbagai Negara di luar negeri.
Terus terang salah satu kelemahan di dalam pelaksanaan program 5000 doktor d luar negeri adalah kendala penguasaan bahasa, khususnya Bahasa Inggris. Jika tujuannya adalah Negara-negara Barat, maka penguasaan Bahasa Inggris menjadi mutlak untuk dikuasai. Sedangkan jika ke Timur Tengah, seperti Mesir, Saudi Arabia, Maroko, Sudan dan sebagainya, maka diperlukan kemampuan Bahasa Arab. Dengan demikian, penyiapan SDM yang unggul harus dimulai dengan kemampuan komunikasi yang secara lebih khusus adalah kemampuan Bahasa Arab.
Lalu yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai skema anggaran untuk program 5000 doktor ini. Menurut saya ada empat scenario tentang bagaimana mengarrenge anggaran untuk program studi 5000 doktor. 1) srategi bahwa semua kandidat doctor dibiayai oleh LPDP. Sebagiaman yang dilakukan terhadap Kemenristek Dikti, maka biaya beasiswa untuk program S3 di dalam banyak hal dilakukan aau ditake over oleh LPDP. Melalui hal ini, maka anggaran Kemenag akan dapat didayagunakan untuk memeuhi program prioritas nasional yang juga dirasa masih terbatas anggarannya. 2) LPDP sebagai fasilitator anggaran. Di dalam hal ini, maka sesuangguhnya yang memiliki anggaran adalah kemenag. Hanya saja keterlambatan eksekusi anggaran menjadi tidak terelakkan. Rumit karena harus melalui pola setor ke kas Negara lalu bisa didayagunakan. 3) anggaran dipenuhi oleh DIPA Kemenag. Degan demikian seluruh pembayaran untuk Program 5000 doktor menjadi tanggungjawab Kemenag sebagi instansi yang memiliki program ini. 4) pola campuran, yaitu sebagian dibiayai oleh Kemenag dan sebagian lainnya oleh LPDP. Oleh kaeena itu, maka akan terjadi proses saling memahami tentang system penganggaran ini. Saya kira yang menjadi pilihan atas scenario ini adalah yang pertama seluruh program doctor dibiayai LPDP dan yang kedua adalah scenario ketiga yang memungkinkan sharing anggaran untuk program ini.
Saya percaya bahwa melalui scenario yang tepat, maka program 5000 doktor akan bisa menjadi pengungkit di dalam kerangka penguatan mutu PTKIN kita.
Wallahu a’lam bia al shawab.