PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (30)
Di antara ajaran Islam yang sangat menonjol dalam kaitannya dengan relasi sesame umat manusia adalah ajaran tentang zakat, infaq dan shadaqah. Zakat merupakan pilar Islam. Zakat termasuk rukun Islam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, bahwa “didirikan Islam atas lima perkara, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji”.
Sebagai rukun Islam, tentu zakat menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melakukannya. Hanya saja berbeda dengan syahadat dan shalat yang bercorak kewajiban individual, tidak perduli siapapun yang bersangkutan, namun zakat merupakan kewajiban yang dibebankan hanya kepada orang yang mampu secara ekonomi. Tidak semua umat Islam dibebani untuk mengeluarkan zakat.
Zakat tersebut bermacam-macam. Ada zakat fitrah yang dikeluarkan berkaitan dengan hari raya id al fithri, dan ada zakat mal atau zakat harta yang berkaitan dengan jumlah dan waktu kepemilikan harta, baik berupa benda maupun binatang ternak. Selain itu juga dikenal adanya zakat profesi, yang biasanya dikaitkan dengan pekerjaan yang secara sengaja dizakati.
Kesadaran tentang zakat bagi masyarakat Indonesia tentu belumlah sebagaimana yang diharapkan. Ditilik dari perolehan zakat yang seharusnya mencapai angka ratusan trilyun rupiah ternyata belum sampai seperti itu. Dari potensi angka pendapatan zakat sekitar 217 trilyun yang seharusnya diperoleh dari muzakki, ternyata hanya berkisar 3,7 trilyun saja yang sudah bisa diraih.
Sesungguhnya pemerintah sudah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan perangkat implementasinya juga sudah dimilikinya yaitu, Badan Amil Zakat Nasional (baznas), dan juga berbagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan juga Lembaga Amil Zakat (LPZ) yang tersebar di seluruh Indonesia, akan tetapi tingkat penerimaan zakat belumlah sebagaimana yang diinginkan. Sosialisasi dan kesadaran zakat masyarakat Islam masih belum sebagaimana yang diharapkan.
Jika zakat fitrah memang bercorak konsumtif, akan tetapi zakat mal dan zakat profesi dapat didayagunakan untuk kepentingan pemberdayaan umat. Baik terkait dengan pendidikan, kesehatan, perumahan dan infrastruktur lainnya. Zakat dapat menjadi instrument untuk meningkatkan kesejahteraan umat dalam skala yang dapat dicapai.
Begitu pentingnya zakat fitrah misalnya, sampai Rasulullah menyatakan bahwa orang yang puasa dan tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka pahala puasanya akan tergantung di antara langit dan bumi. Hal ini menandakan bahwa zakat sebagai bentuk kepedulian terhadap orang miskin menjadi kewajiban umat Islam untuk melakukannya. Oleh karena itu, sekarang kita sudah melihat kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan zakat sudah cukup memadai.
Hanya saja yang penting adalah bagaimana menajemen zakat ini bisa dilakukan secara memadai. Zakat akan lebih baik jika disalurkan lewat lembaga-lembaga resmi pengelola zakat dan tidak dilakukan sendiri-sendiri. Apalagi sampai menimbulkan korban karena berebut zakat. Sudah saatnya zakat dikelola dengan manajemen professional, sehingga bisa menimbulkan dampak positif bagi warga masyarakat.
Di sekeliling kita masih banyak orang miskin. Masih banyak orang yang belum layak menempati rumah hunian. Masih banyak orang yang belum layak berpakaian. Maka zakat tentu dapat digunakan untuk mengentas hal ini. Tentu tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh zakat, infaq dan shadaqah. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban untuk menyelesaikan hal ini. Pemerintah berkewajiban memberi makan bagi orang yang kelaparan, menyediakan rumah bagi yang tidak memiliki rumah dan menyediakan pakaian bagi mereka yang memiliki ketidaklayakan berpakaian.
Namun demikian, zakat dapat memberikan sumbangan yang signifikan untuk penyelesaian tiga hal ini. Jika tangan pemerintah tidak kesampaian untuk menyelesaikan semua urusan masyarakat, maka masyarakat juga harus terlibat untuk berperan serta di dalam penyelesaian masalah tersebut.
Di Jakarta, ada dua kelompok yang berposisi sangat berbeda. Ada mall dan perumahan yang dimiliki dan dihuni oleh orang kaya, sementara ada rumah-rumah petak bertingkat yang dihuni oleh orang-orang yang serba kekurangan. Kedua kelompok ini sungguh berbeda dalam kesejahteraannya. Mereka merupakan kelompok yang memiliki garis demarkasi tebal di dalam kehidupannya. Yang satu kaya dan yang satu miskin.
Jika kelompok kaya yang jumlahnya sedikit itu lalu mengembangkan kesadaran untuk bersedekah atau memberikan sebagian kecil hartanya yang melimpah untuk masyarakat miskin, maka peluang untuk memberdayakan rakyat miskin itu bukanlah isapan jempol belaka.
Charity harus menjadi mainstream bagi orang-orang kaya tanpa memerdulikan apa etnisnya, suku bangsanya dan agamanya. Yang penting bahwa charity tersebut tidak dijadikan sebagai moment untuk mempengaruhi keberagamaan mereka yang sudah beragama. Charity dapat dikelola oleh lembaga-lembaga swasta atau Negara yang nirkepentingan pribadi, golongan dan agama.
Charity seperti ini yang saya rasa masih kurang di negeri ini. Jika kita ingin melihat saudara-saudara kita yang belum beruntung di dalam kehidupannya lalu mereka menjadi lebih sejahtera, maka gap antara yang miskin dan kaya akan terkurangi. Dan efek dominonya adalah akan bisa mengurangi prejudice antara satu dengan lainnya.
Islam mengajarkan agar kita jangan menumpuk harta pada segelintir individu atau segolongan orang, sebab harta itu harus tersebar secara merata di kalangan umat. Sebenarnya masih ada peluang untuk membenahi kesenjangan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (29)
Jika ingin melihat bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia dalam hal kesejahteraannya, maka datanglah ke wilayah-wilayah padat penduduk di beberapa tempat di Jakarta. Misalnya di wilayah Grogol Jakarta Barat. Saya tidak ingin menyebut nama kampungnya, akan tetapi kala kita datang ke sana, maka dapat diketahui bagaimana tingkat kepadatan penduduknya dan bagaimana kondisi perumahannya.
Mereka hidup di wilayah dengan tingkat hunian penduduk yang sangat padat. Rumah-rumah bertingkat semi permanen, satu kamar satu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak. Mereka hidup berdesakan. Bahkan tempat untuk memasak dan mandi pun bergantian.
Saya yang hidup di rumah dinas Kementerian tentu merasa bahwa di Jakarta ini ada sangat banyak mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika menggunakan konsepsi Orang Jawa, yaitu; ketercukupan sandang, pangan dan papan, maka ketiganya masih relative memprihatinkan. Saya bayangkan rumah-rumah besar di sekitar saya, dengan luasan yang sangat besar, sementara itu hanya dihuni oleh para penjaga atau satpam, dan pemiliknya tidak menempatinya.
Sungguh pemandangan yang sangat kontras antara kehidupan satu golongan sosial dengan golongan sosial lainnya. Ada di antara yang kekurangan untuk memenuhi hajat hidupnya, makan dan papan, sementara ada yang berlebihan luar biasa. Data tentang penguasaan 50,2 persen kekayaan Negara Indonesia oleh satu persen keluarga terkaya di Indonesia akan bisa dijelaskan dengan mengamati terhadap kenyataan kehidupan masyarakat kita seperti di wilayah Grogol tersebut.
Pembangunan yang dahulu dirancang agar kesenjangan antara yang miskin dan kaya itu makin mengecil, ternyata justru sebaliknya. Rasanya, pembangunan yang dilakukan ini ternyata tidak menghasilkan distribusi kekayaan yang makin baik. Gap antara dua golongan ini makin tajam saja. Secara konseptual, pembangunan tentu dirancang dari semua untuk semua, dari rakyat untuk rakyat. Namun kenyataan empiris justru memberikan gambaran bahwa konsepsi tersebut belum dapat diaplikasikan di dalam realitas empiris. Saya kira bukan konsepnya yang tidak bisa dilakukan, akan tetapi rasanya ada “kesalahan” di dalam penyelenggaraan kebijakan yang lebih mengarah kepada pengembangan yang kaya saja dan kurang menyentuh kepada yang miskin.
Urban poor itu bukan sekedar gambaran di dalam konsep, akan tetapi sungguh-sungguh merupakan kenyataan riil di masyarakat kita. Makanya, pembangunan masyarakat sudah selayaknya ditujukan untuk memperkuat basis kehidupan masyarakat miskin perkotaan ini. Saya kira problem utama mereka adalah mengenai perumahan dan ketercukupan makan.
Mengamati terhadap rumah-rumah kontrakan yang kebanyakan dihuni oleh para pendatang ini, maka bisa memberikan gambaran bahwa problem utama mereka adalah bagaimana ke depan memperoleh rumah yang layak untuk berteduh. Dengan kondisi perumahan yang berhimpitan seperti itu, maka tentu bisa dibayangkan bagiamana mereka menempatkan diri dan keluarganya dalam situasi yang baik.
Dengan demikian, program utama pemerintah Indonesia adalah bagaimana menyediakan rumah layak huni bagi kaum miskin perkotaan. Program sejuta, dua juta rumah untuk rakyat dan seterusnya, akan dapat dilaksanakan jika pemerintah concern untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Anggaran pemerintah kiranya memang harus diprioritaskan untuk pencukupan perumahan rakyat ini. Jika jalan dan sarana transportasi telah sedikit banyak disentuh oleh pemerintah, maka yang juga tidak kalah penting adalah insfrastuktur perumahan tersebut.
Ajaran agama sebenarnya juga sarat dengan pentingnya pemenuhan hajad hidup umat ini. Ada konsepsi zakat dan wakaf yang bisa digunakan sebagai instrument untuk membantu pemerintah di dalam kerangka pemenuhan insfrastuktur perumahan ini. Zakat, infaq dan shadaqah perlu memperoleh perhatian di kalangan umat Islam. Jika umat Islam belum bisa memenuhi kepentingan ini, karena mayoritas bukanlah orang-orang kaya, maka semestinya program Corporate Social Responsibility (CSR) perlu untuk didayagunakan bagi kepentingan pemenuhan kelayakan rumah bagi warga miskin.
Hanya sayangnya bahwa CSR masih dipertanyakan solusinya untuk mengentas kemiskinan. CSR masih menjadi wacana di kalangan tertentu. Masih rendah kesadaran untuk mendayagunakan CSR bagi kepentingan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Dengan demikian, perlu dilakukan akselerasi untuk menyadarkan para konglomerat yang sudah menikmati hasil usahanya di Indonesia untuk berbagi kepada yang membutuhkan. Jika tidak seperti ini, maka saya bayangkan kapan orang-orang miskin perkotaan akan memperoleh kelayakan perumahan dan mentas dari kemiskinannya.
Puasa yang telah menjadi tradisi umat Islam ini, kiranya bisa juga dimaknai bulan sedekah, bulan zakat dan bulan charity untuk kepentingan sesama. Orang miskin di perkotaan yang jumlahnya cukup besar perlu uluran tangan kita semua, tidak hanya umat Islam akan tetapi juga bagi penganut agama lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN ELIMINASI NAFSU DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (28)
Setiap tindakan terror pastilah akan meninggalkan trauma, yang di dalam konsepsi sosiologis disebut sebagai trauma social, yaitu perasaan umum yang dirasakan oleh sebuah komunitas berdasar atas pengalaman yang tidak mengenakkan. Misalnya terjadinya pengeboman yang tentu meninggalkan bekas trauma di kalangan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Trauma bukan saja merupakan pengalaman individual, akan tetapi juga pengalaman sosial manakala penyebab trauma itu dirasakan oleh banyak orang. Peperangan, terror atau kekerasan yang dilakukan terhadap sejumlah orang akan menyebabkan terjadinya trauma social dimaksud. Peristiwa di Palestina hingga sekarang tentu menyebabkan terjadinya trauma sosial ini.
Pengeboman di Bali dalam tragedy 11 September 2011 tentu masih meninggalkan trauma pada sebagian orang yang memiliki pengalaman langsung dengan terror dimaksud. Demikian pula kasus bom bunuh diri di beberapa tempat lainnya. Yang masih terngiang adalah tentang kekerasan yang terjadi di Pusat Perbelanjaan Sarinah beberapa saat yang lalu. Kemudian juga bom bunuh diri di Mapolresta Solo beberapa hari yang lalu.
Untungnya bahwa daya ledak bom bunuh diri di Mapolres Solo tidak sekuat beberapa peledakan di Bali atau lainnya. Namun demikian tetap saja bahwa peledakan tersebut akan membawa trauma bagi mereka yang berada di dekat terjadinya peristiwa tersebut. Maka saya juga berkeyakinan, sebagaimana peledakan di kompleks pertokoan Sarinah tempo hari bahwa beberapa orang yang berada di sekitar peristiwa tersebut menjadi trauma dan takut keluar rumah.
Harus diakui bahwa tensi kekerasan di Indonesia memang meningkat akhir-akhir ini. Berapa tingkat intensitas dan kualitasnya tentu memerlukan penelitian lebih lanjut, namun dari beberapa pernyataan oleh pihak yang memiliki otoritas, bahwa memang terjadi skala kenaikan kekerasan agama tersebut. Ada di antara mereka yang berafiliasi dengan organisasi yang mengusung tema “khilafah Islamiyah”, ada yang tergabung di dalam “daulah Islamiyah” dan ada juga yang memang bersemangat untuk menerapkan syariah Islam yang kaffah di Indonesia.
Akan tetapi mereka yang melakukan gerakan pengeboman itu ternyata memiliki keterkaitan dengan gerakan ISIS yang sedang berkecamuk di Timur Tengah. Pernyataan otoritas keamanan mensinyalir bahwa berbagai peledakan dan terror tersebut dilakukan oleh jaringan ISIS di Indonesia. Jaringan ini memang bergerak seperti sel yang terus merembet dengan pasti. Jika ada yang mati, maka tumbuh sel baru yang meneruskannya. System ini merupakan cara yang efektif untuk terus menegakkan prinsip yang mereka yakini, dan secara nyata menghasilkan “pengantin-pengantin” yang siap untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.
Bagi masyarakat Islam Indonesia pada umumnya, tindakan bom bunuh diri bukanlah jihad fi sabilillah, sebagaimana tafsiran jumhur ulama, akan tetapi tindakan tersebut dianggapnya sebagai tindakan extra ordinary crime, yang dilarang oleh agama. Ada banyak cara untuk melakukan jihad fi sabilillah dan bom bunuh diri bukan cara elegan untuk jihad fi sabilillah.
Puasa adalah jihad besar sebab di dalam puasa terdapat prinsip untuk melawan hawa nafsu jahat yang menguasai manusia. Nafsu lawwamah dan nafsu ammarah yang mempengauhi manusia untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keselamatan dan perdamaian. Puasa mengajarkan kita agar menjaga harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara mengembangkan nafsu mutmainnah atau nafsu yang mengarahkan manusia kepada kebenaran dan jalan yang diridloi Tuhan.
Nabi menyatakan kala selesai Perang Badar yang terkenal di dalam sejarah Islam, beliau menyatakan bahwa “kita baru pulang dari peperangan kecil untuk menuju peperangan yang lebih besar, yaitu perang melawan hawa nafsu”. Pernyataan Nabi Muhammad saw ini memberikan indikasi bahwa perang melawan hawa nafsu adalah perang besar melebihi Perang Badar yang sangat terkenal tersebut.
Perang melawan hawa nafsu inilah yang sesungguhnya ingin dipesankan oleh Rasulullah Muhammad saw. Perang melawan hawa nafsu merupakan perang besar karena ia berada dan bersama dengan kehidupan manusia secara terus menerus. Berbeda dengan Perang Badar yang berbatas waktu, tempat dan kualitasnya, akan tetapi perang melawan nafsu adalah perang abadi di dalam kehidupan manusia. Tempat dan waktunya serta kualitasnya juga makin kompleks, serumit besarnya keinginan manusia untuk saling menguasai. ISIS sebagaimana diketahui bukan perang Islam melawan yang lain, akan tetapi adalah perang untuk memperoleh kekuasan dan menguasai.
Dan terutama yang dominan adalah kekuasan dan penguasaan ekonomi atau sumber daya ekonomi. Mereka ingin menguasai ladang-ladang minyak di Timur Tengah lalu kemudian menguasai masyarakat dan pemerintahan yang ada. Jadi, sebenarnya perang yang dilakukan oleh kelompok ISIS dengan lainnya, termasuk di bulan puasa, merupakan perang untuk perebutan kekuasaan politik.
Jika seperti ini, lalu di mana jihad fi sabilillah yang dijanjikan. Bagi kita, umat Islam Indonesia, kiranya berjuang untuk menyejahterakan masyarakat merupakan tugas mulia yang bisa dinilai sebagai jihad fi sabililah dimaksud.
Walahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN ELIMINASI NAFSU DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (27)
Kita sungguh tidak bisa memahami bagaimana di bulan puasa, 1437 Hijriyah, yang disucikan oleh seluruh umat Islam di dunia ini justru terjadi banyak pengeboman yang dilakukan oleh sekelompok orang yang “mengaku” sebagai penegak agama.
Pengeboman dilakukan di dekat Masjidil Haram di Madinah, di Malaysia dan juga di Solo Jawa Tengah Indonesia. Bahkan di Baghdad juga menyebabkan ratusan orang meninggal dunia karena pengeboman yang dilakukan oleh kelompok yang ingin mendirikan “Daulah Islamiyah.” Ada kekuatan ISIS di balik berbagai tindakan pengeboman ini.
Mungkin ada banyak orang yang seperti saya, yang tidak paham tentang berbagai tindakan melakukan pengeboman dengan dalih apapun. Saya tidak tahu apakah karena saya “merasa” menjadi bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin, sehingga tidak bisa paham tentang semua ini.
Bisa juga karena saya berada di dalam “zona” nyaman, yang sehari-hari berada di dalam lingkungan yang damai tanpa pertikaian atau konflik antar kelompok atau antar faksi sehingga daya imaginasi saya sama sekali tidak bisa memahami alasan-alasan yang dijadikan sebagai pembenar terhadap tindakan pengeboman.
Pemikiran ini tentu tidak bisa digunakan manakala misalnya kita berada di daerah Gaza dan saya sebagai umat Islam yang lalu dipinggirkan dan dijajah secara fisikal oleh Israel, sehingga saya harus melakukan perlawanan sedemikian rupa. Bisa dibayangkan anak-anak remaja yang kehilangan orang tua dan kerabatnya, harus hidup seorang diri di dalam keganasan peperangan, maka tentu jiwa mereka akan berontak untuk melakukan perlawanan.
Saya bisa paham jika ada sekelompok orang yang terus melakukan perlawanan di tengah kedholiman yang dilakukan oleh Israel sebagai state terrorist seperti di Gaza, Palestina ini. Di dalam analisis sosiologis, maka factor lingkungan menjadi pengungkit terjadinya berbagai kekerasan yang terjadi. Di sana ada siklus kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh Israel akan menyebabkan terjadinya kekerasan demi kekerasan.
Namun saya tidak memahami tentang bagaimana terjadi pengeboman pada masyarakat Indonesia yang damai dan tenteram. Masyarakat yang memberikan peluang untuk beribadah dalam kapasitas yang maksimal. Meskipun kita bukan Negara Islam, akan tetapi menjadi Negara yang sangat menghargai Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menghargai terhadap semua pemeluk agama tanpa kecuali. Makanya, kemudian kala terjadi pengeboman terhadap sejumlah tempat di Indonesia ini, maka saya tidak memahami alasannya.
Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat segelintir orang Indonesia yang berafiliasi atau sekurang-kurang simpati terhadap Gerakan ISIS yang berkembang di Iraq dan Syria. Melalui berbagai kampanye yang dilakukan dengan menggunakan slogan-slogan memperjuangkan Daulah Islamiyah, maka mereka bisa mempengaruhi terhadap segelintir orang Indonesia.
Ada di antara mereka yang datang ke Iraq arau Syria dan berjuang di sana dan ada yang tetap berada di Indonesia, akan tetapi pemikirannya terpengaruh oleh cita-cita ISIS. Terjadinya pengeboman ini sebenarnya adalah warning bagi pemerintah Indonesia bahwa mereka ada dan eksis di tengah bangsa Indonesia.
Mereka sengaja memanfaatkan momentum menjelang lebaran 1437 Hijriyah untuk menciptakan “kegaduhan” keamanan. Apalagi yang disasar adalah markas polisi, yang dianggap sebagai bosnya Densus 88. Mereka beranggapan bahwa symbol perlawanan tersebut adalah kepada kepolisian yang memiliki perangkat Densus 88 untuk mengejar dan memberangus Gerakan ISIS di Indonesia.
Melalui kenyataan seperti ini, maka dapat dinyatakan bahwa aparat keamanan haruslah menjaga kewaspadaan terkait dengan tempat-tempat strategis terutama menjelang hari raya ini. Selama ini nuansa kerawanan terjadi menjelang Natal atau tahun baru, akan tetapi sekarang justru pengeboman dilakukan menjelang hari raya Umat Islam. Dengan demikian kewaspadaan nasional harus menjadi prioritas bangsa ini.
Saya selalu memahami bahwa puasa adalah wahana untuk mengeliminasi berbagai nafsu yang menjurus kepada kerusakan dan kejelekan. Itulah sebabnya saya selalu tidak bisa memahami berbagai pengeboman atau tindakan kekerasan yang dilakukan di saat kita menjalankan puasa.
Oleh karena itu, rasanya harus disadari bahwa tidak semua orang berpikir sama dengan kita. Ada sebagian kecil orang yang justru menjadikan puasa sebagai momentum untuk menyatakan dirinya sebagai kelompok yang “berbeda”. Mereka ingin menyatakan bahwa kaum garis keras itu ada dan akan selalu ada.
Makanya, semua masyarakat Indonesia harus tetap mengembangkan kewaspadaan dini atau early warning terhadap berbagai potensi kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang Indonesia yang bersearah dengan gerekan kekerasan, seperti ISIS ini.
Dengan demikian, puasa ternyata belum bisa menjadikan segelintir orang untuk tidak melakukan kekerasan demi mencapai keinginannya. Tetapi saya yakin bahwa mayoritas umat Islam Indonesia justru menginginkan puasa adalah wahana untuk mengeliminasi nafsu jahat dan kemudian menyemai nafsu baik dan bermanfat bagi manusia dan kemanusiaan. Kita semua berada di koridor ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN TAWAKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (26)
Puasa sebagaimana kita pahami bukan hanya sebagai sarana untuk mencegah hawa nafsu badaniyah saja, akan tetapi juga untuk mencegah seluruh nafsu jahat yang berada di dalam diri manusia.
Puasa yang benar tentu mengandung harapan agar ibadah yang dilakukannya tersebut bermakna untuk memperoleh keridloan Allah. Bukan sekedar ingin memperoleh surga saja, akan tetapi yang lebih penting adalah puasa tersebut dapat menjadikan Allah ridlo akan kehadiran kita di belantara peribadahan yang dilakukan oleh umat manusia.
Di sinilah tawakal menjadi penting adanya. Tawakal itu bukanlah suatu tindakan yang mengandalkan pada pertimbangan rasio yang untung rugi, akan tetapi merupakan perbuatan yang didasari oleh pertimbangan hati nurani. Jadi, yang mendasar adalah bagaimana hati kita dihadapkan pada ibadah yang kita lakukan itu.
Di dalam diri manusia terdapat sisi hati yang disebut sebagai hati nurani dan hati sanubari. Jika hati sanubari memberikan pertimbangan yang lebih dekat dengan akal, maka hati nurani lebih dekat dengan perasaan. Maka kebenaran agama kebanyakan memasuki pintu hati nurani dan bukan hati sanubari. Sikap keraguan dalam ibadah atau lainnya tentu datang dari hati sanubari, sedangkan sikap khusyu’ dan tidak ada keraguan di dalam ibadah merupakan kewenangan hati nurani.
Di dalam Surat Al Baqarah: 2, dinyatakan: “inilah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa”, maka yang disasar oleh ayat ini adalah hati nurani manusia dan bukan hati sanubari. Dengan demikian, hati nurani memainkan peran penting di dalam seluruh proses peribadahan kita kepada Allah. Makin khusyu’ kita melakukan ibadah, maka berarti kuasa hati nurani terhadap diri kita makin kuat.
Iman kepada Allah merupakan kunci bagi semua amalan kita. Posisi iman adalah dasar dari semua tindakan ibadah yang kita lakukan. Itulan sebabnya Allah mengajarkan agar manusia terus menjaga imannya agar ibadahnya akan selalu stabil. Meskipun iman itu fluktuatif, akan tetapi harus tetap dijaga agar iman tidak jatuh ke titik lebih rendah dari rerata iman yang benar.
Manakala kita shalat, terutama bagi kaum awam, maka sering godaan itu datang dari dalam hati kita. Maka godaan itu, bagi kaum sufi datang dari hati sanubari. Adakalanya di dalam shalat lalu kita teringat akan berbagai peristiwa yang membelenggu. Bisa saja berupa tentang jabatan, harta, kekuasaan, relasi dengan sesama manusia atau apapun. Di dalam konteks ini, maka pintu masuknya adalah hati sanubari.
Namun demikian, potensi untuk khusyuk juga ada. Bagi mereka yang memiliki kemampuan spiritual lebih dibanding lainnya, maka medan shalat adalah tempat dan waktu yang luar biasa untuk menyambungkan relasi kita kepada Tuhan. Sayyidina Ali, misalnya ketika Beliau terkena panah dalam peperangan, maka Beliau meminta untuk mencabut panah tersebut justru kala Beliau sedang shalat. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa shalat yang sampai tahapan menyambung tali ikatan dengan Allah swt adalah manakala seluruh kehadiran kita hanya untuk Allah semata.
Untuk bisa sampai kepada nuansa shalat seperti ini tentu butuh waktu dan latihan yang sistematis. Itulah sebabnya kenapa di dalam dunia tasawuf, maka proses pendakian ke arah seperti ini harus dilalui bersama guru atau mursyid. Melalui bimbingan para mursyid, maka seseorang tidak akan tersesat di dalam pendakian spiritualitas yang memang unik dan rumit.
Saya tidak tahu apakah kita bisa sampai ke maqam ini, sebab kita bukanlah orang yang dengan setia dan telaten untuk menjadikan medan shalat sebagai wahana relasi dengan Allah secara intensif. Kita banyak terjebak pada rutinitas dan kebiasaan untuk beribadah secara formal. Artinya, yang terpenting syarat dan rukunnya tercapai. Ibadah kita lebih bercorak syariah ketimbang hakikat.
Jika al Qur’an menyatakan bahwa iman itu “yazid wa yankus” atau fluktuatif, maka yang demikian ini secara empiris berada di kalangan awam beragama atau yang beragama dengan hanya keinginan untuk memenuhi kewajiban. Selama kewajiban telah terpenuhi, maka tentu sudah absah.
Dengan demikian, ada sedikit renungan yang barangkali menjadi pemicu agar kita lebih menuju ke arah spiritualitas di dalam beribadah. Renungan tersebut berangkat dari bacaan di dalam shalat kita “inna shalati, wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rab al alamin”. Sudahkah kita menjadikan spiritualitas bacaan kita ini di dalam implementasi peribadahan kita.
Jawaban atas pertanyaan ini tentu terdapat di dalam diri kita masing-masing dan sesuai dengan pirnsip-prinsip sosiologis bahwa manusia memiliki potensi spiritual yang bisa saja diaktifkan, manakala memang ada keinginan untuk merealisasikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.