PUASA DAN TAWAKKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (25)
Kata tawakkal berasal dari akar kata wakala, yang artinya menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan atau bersandar. Kata tawakal berasal dari Bahasa Arab yang kemudian telah diindonesiakan dengan pengertian menyerahkan atau memasrahkan hanya kepada Allah atas semua urusan yang kita miliki.
Kata tawakkal merupakan kata yang sering dibicarakan dalam kaitanya dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah termasuk ibadah puasa. Secara sederhana pengertian tawakkal adalah kepasrahan kepada Allah swt. Pasrah memiliki keterkaitan makna dengan keyakinan, keikhlasan dan kepastian.
Allah berfirman, dalam Surat Al Furqan: 58, dinyatakan: “Bertawakkallah kamu kepada Dzat yang hidup , yang tidak pernah mati”. Dan di Surat Ali Imran: 122, Allah juga berfirman “Hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal”. Di ayat Imran: 159, Allah juga berfirman “Apabila kamu bermaksud untuk mengerjakan sesuatu maka bertawakkallah kepada Allah”.
Di dalam konteks sosiologis, manusia bisa melakukan usaha untuk mencapai sesuatu, bisa berupa jabatan, pangkat, kewibawaan, charisma, harta, tahta, dan sebagainya. Semua ini terkait dengan pencapaian atau achievement. Ia dapat dicapai dengan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang bisa mencapai sesuatu yang diinginkannya, akan tetapi bisa juga apa yang diinginkannya tidak bisa dicapainya. Ada keterbatasan yang bisa menjadi penghalang pencapaian dimaksud.
Di sisi lain, ada juga yang disebut sebagai perolehan atau sesuatu yang given yang di dalam konteks sosiologis disebut dengan something ascribed. Yang diperoleh. Bisa juga disebabkan oleh factor lingkungan atau factor keturunan. Misalnya anak raja akan menjadi raja, anak kyai menjadi kyai atau anak bangsawan menjadi bangsawan. Status ini adalah perolehan dan bukan pencapaian. Status yang coraknya tertutup dan bukan terbuka. Oleh karena itu, status seperti menjadi raja yang karena factor bapaknya, atau status kyai karena status keluarganya dan sebagainya merupakan status yang tertutup. Namun demikian ada jugas status yang diperebutkan sehingga perolehannya merupakan status pencapaian.
Jika status yang didapatkan atau diperoleh (ascribed status) tidak memerlukan keahlian atau profesionalitas tertentu, maka di dalam status terbuka atau achieve status, maka memerlukan keahlian atau profesionalitas sesuai dengan kebutuhannya. Di sinilah terbuka factor “keterbatasan” atau “ketidakmampuan” atau “limitasi” mengenai apa yang bisa dicapai dan apa yang bisa diperoleh.
Di sinilah lalu manusia harus mengakui bahwa sehebat-hebatnya dia, maka ada keterbatasan yang tidak bisa dihindarkan. Ada limitasi yang tegas dan jelas. Meskipun manusia memiliki kemampuan prediktif yang mengagumkan, akan tetapi tetap saja manusia memiliki kelemahan yang tidak bisa dihindarinya. Kemajuan teknologi telah mengantarkan manusia untuk mencandra tentang masa depan. Akan tetapi teknologi tentu tidak bisa menjadikan orang genius luar biasa, sehingga bisa mengatasi seluruh persoalan hidupnya.
Di sinilah ada factor X yang tidak mudah dijelaskan dengan rasio atau akal, sebab dia bersentuhan dengan dunia yang transendental yang tentu juga hanya bisa dipahami atau dibaca dengan pengetahuan transcendental saja. Adakah alat teknologi yang bisa mencegah seseorang dari kematian. Pengetahun tersebut tentu hanya bisa diperoleh dari ajaran agama yang memang menyediakan peluang untuk bisa memahami terhadap yang tak terjangkau, yang misteri, yang bersifat adikodrati. Di dalam ilmu sosial disebut yang “Mysterium Tremendum et Fascinosum”. Maka, tidak ada lain yang bisa menjelaskannya kecuali bahwa ada kekuatan lain yang lebih dibandingkan dengan kekuatan manusia dengan kemampuan akalnya. Dan dia adalah Tuhan atau Allah yang menjadi sumber dari seluruh sumber kehidupan di dunia ini.
Di sinilah ketak dunia keyakinan yang bisa mengantarkan manusia kepada kepasrahan atau ketawakalan kepada Allah sebagai Dzat yang Mencipta dan Memberi. Bagaimana pun usaha manusia ujungnya adalah kepastian Tuhan terhadap apa yang kita hasilkan. Makanya, manakala seseorang melakukan usaha untuk mencapai sesuatu, yang diperlukan adalah usaha secara maksimal, lalu pasrah hasilnya pada ketentuan Allah yang Maha Memberi dan Menciptakan.
Dengan demikian, untuk memahami ketawakalan, maka yang dijadikan indikatornya adalah seberapa tingkat usaha yang dilakukan secara professional, bagaimana lingkungan mendukung terhadap upaya yang dilakukan dan terakhir adalah kepastian Tuhan yang akan berlaku.
Sehebat apapun manusia, maka di dalam dirinya tetap menyimpan potensi keterbatasan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana menyadarkan diri bahwa di samping kemampuan hebat yang dimiliki, maka juga harus dipahami bahwa ada factor lain yang menentukan tentang keberhasilan tersebut.
Jadi, sebaiknya memang manusia tidak boleh jumawa akan kepintaran, keahlian, kehebatan atau profesionalitas yang kita miliki, kecuali semua itu disandarkan kepada Allah sebagai Dzat yang Maha Menentukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (24)
Di dalam penjelasan sosiologis bahwa takwa atau kepatuhan dan kepasrahan adalah ujung akhir dari dari serangkaian kesadaran diri akan betapa ada Zat yang sangat Maha Kuasa, yang menjadi pemilik dan Tuhan seru sekalian alam.
Sosiologi transcendental menggambarkan bahwa keyakinan, kepercayaan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Esa adalah peristiwa empiris dan bukanlah peristiwa magis. Hal ini adalah fenonema kemanusiaan yang memang semenjak dahulu kala telah menjadi kelaziman di dalam kehidupan umat manusia.
Ketaqwaan adalah hasil dari sebuah pergulatan panjang manusia tentang pengakuan akan adanya Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, yang Menguasai dan menjadi Penguasa terhadap seluruh alam ini. Puasa merupakan salah satu instrument untuk manusia agar dengan melakukannya, maka akan diperoleh tingkat keyakinandan kepasrahan yang tinggi. Ibaratnya adalah sebuah perjalanan panjang dan kemudian berhenti pada terminal untuk selanjutnya mengembara lagi dengan bekal ketaqwaan yang dimilikinya itu.
Ada banyak kisah tentang pengalaman spiritual di dalam proses pencarian tentang Tuhan yang sungguh menarik untuk disimak. Kisah para sufi yang dengan riyadhahnya kemudian “merasakan” menemukan Tuhannya dan bahkan kemudian bisa “menyatu” dengan-Nya.
Di dalam konsep “wahdat al wujud” , maka manusia bisa menyatu dengan Tuhan di mana manusia merasa berada di dalam penyatuan wujud dengan Allah. Manusia masuk ke dalam wujud Allah atau memasuki alam Lahut atau alam keilahian. Di sisi lain, di dalam konsep “hulul”, maka manusia merasa dapat menarik Allah ke dalam dirinya, sehingga yang ada bukan diri seseorang, akan tetapi adalah keberadaan Allah. Tuhan terserap ke dalam diri manusia atau Tuhan memasuki alam Nasut.
Adakah pengalaman seperti ini merupakan peristiwa atau fenomena sosiologis? Maka jawabannya adalah ya. Di dalam konsep sosiologi transcendental, maka semua pengalaman manusia dalam relasinya dengan Tuhan, dalam agama apapun, merupakan peristiwa empiris yang mengandung kebenaran secara empiris. Memang peristiwa ini merupakan refleksi individual yang bisa jadi hanya dimiliki oleh segelintir orang. Namun demikian, peristiwa ini tentu bisa dikaji dengan memanfaatkan unit analisis individu yang lazim digunakan di dalam sosiologi transcendental.
Jika kita baca teks sosiologi imaginative, maka dapat digambarkan bahwa para sufi dengan aliran “wahdat al wujud” maupun “hulul” tentu memiliki pengaruh kepada sejumlah orang. Seperti halnya Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam, misalnya leluhur Kanjeng Sultan Hadiwijaya atau Pangeran Karebet. Ayahanda Sultan Hadiwijaya adalah pengikut setia Kanjeng Syekh Abdul Jalil.
Dan kala pengaruh Syekh Abdul Jalil ingin dihabisi sebenarnya karena dianggapnya bahwa aliran spiritual atau ajaran tasawuf yang diajarkannya dianggap akan bisa merusak keyakinan umat Islam kebanyakan. Berdasarkan analisia para wali lainnya, maka ajaran ini dapat membawa kepada kemafsadahan dan ketidakpatuhan umat pada para pemimpinnya. Makanya, ajaran ini harus disingkirkan agar hegemoni agama sebagaimana yang diajarkan secara umum tidak mengalami distorsi.
Secara mendasar bahwa ajaran Syekh Abdul jalil bukan salah, sebab ajaran tersebut memang dikenal di dalam ajaran tasawuf. Dan sebagaimana diketahui bahwa seluruh Waliyullah adalah penganut tasawuf yang kuat. Hanya saja bahwa ajaran tasawuf tersebut bukanlah konsumsi khalayak umum yang belum memiliki kesiapan secara mental untuk memasukinya. Makanya, ketika ajaran tasawuf yang seperti itu diajarkan secara umum pada semua level penganut Islam, tentunya akan mengandung kemafsadatan.
Ajaran Islam memang bukan hanya berdimensi eksoteris namun juga esoterik. Tidak hanya mengajarkan syariat, akan tetapi juga mengajarkan hakikat. Maka ketika seseorang ingin melakukan ajaran hakikat, maka dapat dipastikan bahwa syariatnya sudah baik. Tidak boleh ada lompatan yang terjadi. Ajaran hakikat hanya boleh diberikan kepada orang yang memang sudah siap secara spiritual dan mental.
Bagi Orang Islam “kebanyakan” maka menjalankan agama berbasis syariah saja tentu sudah lebih dari cukup. Namun bagi para “Perindu” Tuhan, maka memasuki agama dalam coraknya yang “bathiniyah” adalah sebuah kewajiban. Di dalam konteks ini, maka taqwa itu bukan hanya sekedar keyakinan untuk mengamalkan agama Allah berbasis ajaran syariat, akan tetapi juga mengamalkan ajaran Islam berbasis hakikat.
Saya pernah diajari oleh KH. Syihabuddin, pemuka tarekat Syatariyah di Kuanyar, Mayong, Jepara, bahwa “man abada al asma fa huwa kafirun, wa man abada al asma wa al ma’na fa huwa mu’minun haqiqiyun”. Yang artinya kurang lebih “barang siapa menyembah nama-nama Tuhan, maka dia kafir, akan tetapi barang siapa yang menyembah nama-nama Allah dan maknanya yang mendalam, maka dia adalah orang mukmin hakiki”.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN TAQWA DALAM PERSEKTIF SOSIOLOGIS (23)
Di dalam teori ilmu sosial dikenal ada sebuah madzab yang mengajarkan bahwa factor lingkungan berpengaruh dominan terhadap perilaku manusia. Maka baik buruknya tindakan seseorang juga ditentukan oleh factor lingkungan di mana yang bersangkutan hidup dan berkehidupan.
Ketaqwaan atau pernyataan diri bahwa seseorang akan menjalankan seluruh perintah agama dan menjauhi segala larangan agama, hakikatnya juga bersentuhan dengan dimensi lingkungan ini. Orang beragama juga dalam banyak hal ditentukan oleh factor lingkungan. Seseorang menjadi Islam, Nasrani, Yahudi atau Majusi dan lainnya juga dipicu oleh lingkungan ini.
Suatu hadits Nabi Muhammad saw., menyatakan “setiap manusia dilahirkan dalam kesucian, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan seseorang sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Jika dia lahir di tengah keluarga Muslim, maka jadilah ia muslim, namun kala yang bersangkutan lahir di tengah orang Nasrani, maka juga akan menjadi Nasrani dan demikian pula kalau seseorang lahir di lingkungan Majusi, maka dia juga akan menjadi Majusi. Demikian pula dengan agama lainnya.
Di dalam konteks ini, maka pengaruh lingkungan menjadi dominan. Jadi paradigma perilaku sosial (madzab social behavior) yang menekankan pada dominannya factor eksternal menjadi relevan untuk menjadi basis analisis tindakan keagamaan. Seseorang juga akan menjadi beragama, jika dia berada di dalam lingkungan yang benar dan akan menjadi sebaliknya jika berada di dalam lingkungan yang salah.
Ketaqwaan juga berdimensi eksternal. Ketaqwaan seseorang juga bisa ditentukan oleh factor eksternal. Misalnya kala seseorang berada di dalam lingkungan yang agamis atau taat kepada Allah pasti akan juga berpengaruh kepada dirinya. Dan sebaliknya kala seseorang berada di dalam lingkungan yang tidak kondusif di dalam beragama, maka juga akan berpengaruh terhadap tindakan keagamaannya. Itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa seseorang akan mengikuti pada apa yang disukainya. “Anta ma’a man ahbabta”, yang artinya “engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai” (HR. Bukhari). Jika diperluas maknanya, maka sesungguhnya kita ini akan mengikuti dengan apa yang ada di dekat kita. Bisa saja berupa orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh panutan lainnya.
Factor lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan di dalam pengamalan beragama. Jika kita berada di pesantren yang sarat dengan pengamalan beragama, maka kita dipastikan akan mengikuti apa yang ada di dalam pesantren, dan bahkan tidak mempertanyakan tentang apa yang kita lakukan. Kita juga akan berupaya untuk menyamakan perilaku kita dengan apa yang ada di dalam lingkungan kita.
Hal ini tentu berbeda dengan kala kita berada di masyarakat luas. Maka, kita juga akan cenderung untuk melakukan apa yang menjadi mainstream tindakan di masyarakat itu. Suatu contoh kala ada rumah pelacuran yang berada di dalam kompleks perumahan penduduk, maka dapat dipastikan bahwa perilaku para pelacur akan mempengaruhi terhadap pertumbuhan para remaja di wilayah tersebut.
Kita tentu mengapresiasi terhadap tindakan Walikota Surabaya yang melakukan penutupan terhadap tempat Pelacuran Dolly di Surabaya, sebab kompleks pelacuran tersebut memang berada di tengah-tengah masyarakat. Perilaku para pelacur baik yang terkait dengan pembicaraan, maupun gaya kehidupan dan berbagai ungkapannya tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan mental anak.
Memang pemindahan tersebut masih menyisakan masalah. Jika yang dimaksud adalah relokasi, maka ia tetap akan meninggalkan masalah yang tidak sederhana. Realokasi pekerjaan yang memang harus menjadi target dalam kerangka pemberdayaan kaum pelacur.
Bukankah mencarikan pekerjaan atau memberikan lahan usaha dan modal usaha untuk mereka yang tergusur merupakan amalan kebajikan yang bersumber dari ajaran Islam. Jadi penutupan perilaku yang salah juga harus mempertimbangkan terhadap bagaimana kelanjutan kehidupan yang dianggap bersalah. Memperjuangkan terhadap pentingnya kehidupan yang kontinum tentu akan memberikan imaj positif bagi warga masyarakat secara umum dan terlebih mereka yang tergusur.
Di dalam konsepsi kaum tarekat, maka didapati konsep “uzlah” atau menyendiri di suatu tempat dan membedakan perilaku kita dengan apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Uzlah dewasa ini lebih diartikan bukan pada pengasingan diri di tengah kehidupan ramai, akan tetapi lebih dimaknai sebagai melakukan tindakan yang berbeda dengan tindakan masyarakat pada umumnya. Jika masyarakat banyak yang melakukan kemaksiatan, maka para anggota tarekat justru akan melakukan tindakan yang terpuji. Jadi, taqwa itu adalah kala seseorang bisa melakukan tindakan benar di tengah kebanyakan perilaku salah.
Taqwa yang benar adalah manakala ada keseimbangan antara kepatuhan kepada Allah dan juga penghargaan terhadap hal ihwal dan harkat martabat manusia. Keseimbangan antara relasi vertical dengan Allah dan juga relasi horizontal terhadap sesama manusia. Di dalam konteks keberagamaan, maka yang diharapkan adalah bagaimana agar seseorang yang bertaqwa kepada Allah juga mampu menjalin rasa kemanusiaan yang tinggi.
Kiranya, benar apa yang diajarkan oleh Islam, bahwa “hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di manapun kamu berada. Dan hendaknya kamu menyegerakan berbuat baik kala selesai melakukan tindakan yang salah”.
Jika kita bisa melakukannya, maka yang demikian ini adalah sebuah kebajikan yang kelak tentu akan menjadi potensi cadangan bahwa kita adalah orang yang beruntung.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN KETAKWAAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (22)
Saya percaya bahwa kata takwa itu diucapkan oleh jutaan umat Islam terutama di bulan puasa seperti ini. Kata ini tentu memiliki makna yang sangat mendalam terkait dengan perilaku umat manusia, terutama umat Islam. Kata takwa memang hanya dikaitkan dengan umat Islam. Makanya di dalam melaksanakan puasa, maka yang diharapkan juga menjadi orang yang taqwa.
Allah SWT telah menggariskan di dalam Surat Ali Imron: 102, “wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa”. Lalu di ayat lain, Surat At Taghabun: 16, Allah juga berfirman “Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah sekuat tenagamu”. Melalui ayat-ayat ini, bahwa Allah menganjurkan kepada kita agar bertaqwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan dengan sekuat tenaga.
Indicator taqwa secara internal dapat diketahui dari perkataan yang benar, membenarkan dengan lesan, lalu membenarkan dengan pikiran dan membenarkan dengan hati. Lesan yang membenarkan akan ketaqwaannya kepada Allah tentu ditandai dengan perkataan yang benar, santun, menyentuh pikiran, perasaan dan hati siapapun. Perkataan yang bisa membawa kepada kedamaian dan kebersamaan. Bukanlah kata-kata yang membuat sakit hati dan perasaan masygul orang lain dan membuat persahabatan atau kebersamaan menjadi hilang.
Apa yang dikatakan merupakan refleksi atas keyakinannya kepada Allah dan merasakan bahwa apa yang dilakukannya selalu di dalam pantauan dan catatan Allah. Makanya, di dalam relasi dengan orang lain, maka yang dijaga adalah bagaimana agar seseorang bisa membuat orang lain senang dan bukan sebaliknya.
Bukankah bahwa menyenangkan orang lain adalah sebuah perbuatan baik yang bernilai shadaqah. Dengan demikian ketika kita bisa menyenangkan orang lain, maka berarti kita telah melakukan amalan shalihan yang sangat bermanfaat.
Sesungguhnya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Ada di dalam diri setiap individu untuk berada di dalam koridor kebenaran. Hanya terkadang tekanan factor eksternal yang menyebabkan manusia bisa berbuat sebaliknya. Potensi kebaikan inilah yang bisa juga dinyatakan sebagai potensi ketuhanan dalam diri manusia. Sebagai “Ruh” Tuhan yang ditiupkan kepada manusia, maka pastilah bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Lalu kenapa ada di antara manusia yang bisa menjadi penjahat seperti perampok, koruptor, penindas dan sebagainya, maka hal ini bisa disebabkan oleh tekanan-tekanan yang dirasakannya.
Saya berpendapat bahwa kejahatan bukanlah factor genetic. Akan tetapi factor lingkungan yang menyebabkannya. Bisa jadi penyebabnya adalah pengalaman hidup yang tidak mengenakkan sehingga menjadi pemicu terhadap tindakan jahatnya. Karena pemicu kejahatan adalah fajtor eksternal, banyak penjahat lalu tobat dan kemudian melakukan perbuatan baik. Semua itu memberikan gambaran bahwa sebenarnya potensi terbesar manusia sesungguhnya adalah kebaikan dan bukan kejahatan.
Semua manusia memiliki potensi kebaikan. Dan dengan potensi ini, maka hal ini menjadi bukti tentang adanya keadilan Tuhan. Mana mungkin Tuhan akan memberikan potensi kejahatan yang melebihi takaran kebaikannya. Jika pun ada potensi kejelekan pastilah bahwa potensi kejelekannya jauh lebih kecil dibanding potensi kebaikannya.
Tuhan memiliki sifat baik dan sifat baik itulah yang juga menjadi potensi manusia. Jika kemudian terdapat manusia yang melakukan tindakan kejahatan, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah memilih tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan fitrahnya atau potensinya.
Manusia diberikan potensi akal dan pikiran, perasaan dan hati. Maka dengan potensi itu, manusia bisa memilih mana tindakan yang relevan dengan potensinya dan mana yang tidak sesuai dengan potensinya. Oleh karena itulah diturunkan agama agar manusia berselaras dengan pengembangan potensinya untuk terus berbuat yang baik dan menghindari tindakan yang jahat.
Sikap dan tindakan penyesalan sebagaimana banyak ditemui pada orang yang melakukan tindakan kejahatan, sesungguhnya adalah pengejawantahan potensi kebaikan yang datang pada saatnya. Hanya saja terkadang manusia lebih mempertimbangkan potensi kejelekannya manakala memang ada pemicu untuk mengaktualkannya.
Ketaqwaan sebenarnya merupakan wujud dari aktualitas potensi kebaikan yang ada pada diri manusia. Semakin bertaqwa seseorang, maka semakin besar potensi kebaikan tersebut dapat diaktualkannya. Risalah Islam jika dicari pembenarannya adalah untuk menjadi pedoman agar manusia menyelaraskan antara potensi kebaikannya dengan agama yang juga mengajarkan kebaikan pula.
Jika plus (pesan keagamaan) bertemu dengan plus (potensi kebaikan pada diri manusia), maka akan menghasilkan plus (kebaikan atau kema’rufan). Namun jika plus (pesan keagamaan) bertemu dengan minus (potensi kejahatan), maka akan menghasilkan plus minus atau jiwa yang labil, kadang baik dan kadang jelek.
Oleh karena itu, melalui pesan agama, maka yang diharapkan adalah munculnya tindakan positif yang tidak hanya untuk diri sendiri, akan tetapi juga berdampak bagi kehidupan umat manusia lainnya. Dan Allah sudah mengajarkannya agar kita terus berusaha meyakini akan kebenaran Allah dan ajarannya dengan sekuat tenaga.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (20)
Al Qur’an sarat dengan penggolongan sosial sesuai dengan konsep-konsep sosiologis. Di dalam Al Qur’an didapati konsep penggolongan sosial berdasarkan akibat konteks perilaku yang mengejawantah di dalam kehidupan. Di dalam Surat Al Waqi’ah: 5-60 dijelaskan tentang konteks mereka yang disebut sebagai Ashhab al Maymanah dan Ashhab al Masy’amah.
Al Quran memang banyak bercerita tentang metafora untuk menggambarkan bagaimana konteks kehidupan manusia dengan penggolongan sosialnya itu. Dari dua golongan ini, maka yang tergolong Ashhab al Maymanah adalah orang yang bertaqwa kepada Allah, menjalankan amalan baik, mereka adalah orang yang dekat dengan Allah, mereka menempati tempat yang sangat terhormat, mereka adalah orang yang mulia, mereka berada dalam lingkungan yang asri (ada pohon bidara, pohon pisang, air mengalir), kasur yang empuk, dan kenikmatan syahwat yang tidak terkira, dan juga panen yang terus menerus serta tidak ada larangan untuk melakukan perbuatan yang baik. Mereka disebut sebagai golongan kanan atau Ashhab al Yamin.
Sementara itu golongan Ashhab al Masy’amah adalah penggolongan yang menggambarkan orang yang tidak taat kepada Allah, ketika di dunia mereka hanya bersenang-senang, dan bermewah-mewahan, mengerjakan dosa besar, berada di dalam kesengsaraan, siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, naungan asap yang hitam pekat, memakan pohon zaqum, meminum air yang sangat panas dan mereka selalu kehausan. Mereka adalah golongan yang disebut sebagai golongan kiri atau Ashhab al Syimal.
Gambaran tentang orang yang disebut kiri atau kanan tampaknya memang sangat fisikal. Akan tetapi memang begitulah gambaran yang mudah diterima oleh akal manusia dan yang dapat dirasakan dengan perasaan dan juga dapat direnungkan dengan hati. Al Qur’an memberikan gambarab metaforik tentang masyarakat mana yang kelak akan memperoleh kebahagiaan dan mana yang kelak akan memperoleh kenistaan.
Gambaran fisikal ini perlu sebab Firman Tuhan ini diturunkan kepada manusia dengan kemampuan yang terbatas dan juga kemampuan daya nalar yang juga terbatas. Tidak semua memahami hal-hal yang abstrak dan transcendental, sehingga haruslah dijelaskan dengan metafora alam yang dekat dengan kehidupan manusia.
Jika kemudian digambarkan dengan dijadikan bidadari untuk menggambarkan nafsu syahwati yang dimiliki manusia, lalu kebutuhan makanan dan minuman yang serba lezat, lalu lingkungan yang asri penuh dengan tetumbuhan dan air yang mengalir dan melimpah dan sebagainya, maka pada hakikatnya Tuhan ingin memberikan gambaran betapa kenikmatan itu diperuntukkan bagi mereka yang patuh pada Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang diturunkannya.
Lalu, jika juga digambarkan tentang angin yang panas dan berhembus dengan cepat, mendung hitam pekat, air mendidih, memakan buah yang sangat tidak enak dan juga minum air yang sangat kotor dan bau, maka hal ini juga menggambarkan tentang bagaimana ketidaknyamanan tempat yang dihuni oleh Kaum Syimal. Jadi mereka diberi gambaran metaforis tentang lingkungan yang tidak nyaman di dalam kehidupan tersebut. Mereka yang bertempat di sini adalah kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafiq dan sebagainya yang selama hidupnya tidak mempercayai Tuhan dan tidak mengamalkan ajaran agama yang telah diturunkan kepada mereka.
Al Qur’an diturunkan agar manusia memiliki pedoman untuk melakukan kebaikan. Bahkan agama apapun juga tidak mengizinkan masyarakatnya melakukan tindakan kejahatan dan keburukan. Sebagai pedoman tentu Al Qur’an harus dekat dengan bahasa kaumnya. Makanya, banyak ayat yang mengndung metafora fenomenologik sesuai dengan lokus yang dihadapi kala itu.
Bagi orang Arab yang tanahnya tandus dan lingkungan yang kering tentu mendambakan bagaimana mereka bisa menempati lokus yang indah menghijau dengan tetumbuhan yang serba hijau dan juga buah-buahan yang ranum dan menarik serta air mengalir dengan jernih. Itulah sebabnya ketika Tuhan menggambarkan tentang penghuni surga atau kaum Yamin atau kaum Ashhab al Maymanah, maka gambaran seperti itu yang termimpikan.
Dan kemudian mereka yang tergolong kaum Syimal atau Kaum Ashhab al Masy’amah, maka yang digambarkan juga keadaan kepahitan sebagai yang dirasakan di tanah mereka yang tandus dan lingkungan mereka yang kering dengan hembusan angin kencang lagi sangat panas. Dengan demikian, setiap metafora tentu memberikan gambaran tentang apa dunia mimpi mereka tentang kehidupan yang nyaman dan enak.
Itulah sebabnya Syaikh al Azhar ( Prof. Dr. Mahmud Syaltut) kala datang ke Indonesia, maka yang diucapkan adalah bahwa Indonesia adalah sepotong surga yang ada di dunia. Indonesia ternyata memang sebagaimana gambaran tentang surga di dalam Kitab Suci Al Qur’an.
Maka, harus menjadi kebahagiaan kita bangsa Indonesia bisa menempati potongan surga sebagaimana yang digambarkan di dalam Al Qur’an. Bersyukur harus menjadi prioritas di dalam kehidupan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.