• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN TAWAKKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (25)

PUASA DAN TAWAKKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (25)
Kata tawakkal berasal dari akar kata wakala, yang artinya menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan atau bersandar. Kata tawakal berasal dari Bahasa Arab yang kemudian telah diindonesiakan dengan pengertian menyerahkan atau memasrahkan hanya kepada Allah atas semua urusan yang kita miliki.
Kata tawakkal merupakan kata yang sering dibicarakan dalam kaitanya dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah termasuk ibadah puasa. Secara sederhana pengertian tawakkal adalah kepasrahan kepada Allah swt. Pasrah memiliki keterkaitan makna dengan keyakinan, keikhlasan dan kepastian.
Allah berfirman, dalam Surat Al Furqan: 58, dinyatakan: “Bertawakkallah kamu kepada Dzat yang hidup , yang tidak pernah mati”. Dan di Surat Ali Imran: 122, Allah juga berfirman “Hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal”. Di ayat Imran: 159, Allah juga berfirman “Apabila kamu bermaksud untuk mengerjakan sesuatu maka bertawakkallah kepada Allah”.
Di dalam konteks sosiologis, manusia bisa melakukan usaha untuk mencapai sesuatu, bisa berupa jabatan, pangkat, kewibawaan, charisma, harta, tahta, dan sebagainya. Semua ini terkait dengan pencapaian atau achievement. Ia dapat dicapai dengan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang bisa mencapai sesuatu yang diinginkannya, akan tetapi bisa juga apa yang diinginkannya tidak bisa dicapainya. Ada keterbatasan yang bisa menjadi penghalang pencapaian dimaksud.
Di sisi lain, ada juga yang disebut sebagai perolehan atau sesuatu yang given yang di dalam konteks sosiologis disebut dengan something ascribed. Yang diperoleh. Bisa juga disebabkan oleh factor lingkungan atau factor keturunan. Misalnya anak raja akan menjadi raja, anak kyai menjadi kyai atau anak bangsawan menjadi bangsawan. Status ini adalah perolehan dan bukan pencapaian. Status yang coraknya tertutup dan bukan terbuka. Oleh karena itu, status seperti menjadi raja yang karena factor bapaknya, atau status kyai karena status keluarganya dan sebagainya merupakan status yang tertutup. Namun demikian ada jugas status yang diperebutkan sehingga perolehannya merupakan status pencapaian.
Jika status yang didapatkan atau diperoleh (ascribed status) tidak memerlukan keahlian atau profesionalitas tertentu, maka di dalam status terbuka atau achieve status, maka memerlukan keahlian atau profesionalitas sesuai dengan kebutuhannya. Di sinilah terbuka factor “keterbatasan” atau “ketidakmampuan” atau “limitasi” mengenai apa yang bisa dicapai dan apa yang bisa diperoleh.
Di sinilah lalu manusia harus mengakui bahwa sehebat-hebatnya dia, maka ada keterbatasan yang tidak bisa dihindarkan. Ada limitasi yang tegas dan jelas. Meskipun manusia memiliki kemampuan prediktif yang mengagumkan, akan tetapi tetap saja manusia memiliki kelemahan yang tidak bisa dihindarinya. Kemajuan teknologi telah mengantarkan manusia untuk mencandra tentang masa depan. Akan tetapi teknologi tentu tidak bisa menjadikan orang genius luar biasa, sehingga bisa mengatasi seluruh persoalan hidupnya.
Di sinilah ada factor X yang tidak mudah dijelaskan dengan rasio atau akal, sebab dia bersentuhan dengan dunia yang transendental yang tentu juga hanya bisa dipahami atau dibaca dengan pengetahuan transcendental saja. Adakah alat teknologi yang bisa mencegah seseorang dari kematian. Pengetahun tersebut tentu hanya bisa diperoleh dari ajaran agama yang memang menyediakan peluang untuk bisa memahami terhadap yang tak terjangkau, yang misteri, yang bersifat adikodrati. Di dalam ilmu sosial disebut yang “Mysterium Tremendum et Fascinosum”. Maka, tidak ada lain yang bisa menjelaskannya kecuali bahwa ada kekuatan lain yang lebih dibandingkan dengan kekuatan manusia dengan kemampuan akalnya. Dan dia adalah Tuhan atau Allah yang menjadi sumber dari seluruh sumber kehidupan di dunia ini.
Di sinilah ketak dunia keyakinan yang bisa mengantarkan manusia kepada kepasrahan atau ketawakalan kepada Allah sebagai Dzat yang Mencipta dan Memberi. Bagaimana pun usaha manusia ujungnya adalah kepastian Tuhan terhadap apa yang kita hasilkan. Makanya, manakala seseorang melakukan usaha untuk mencapai sesuatu, yang diperlukan adalah usaha secara maksimal, lalu pasrah hasilnya pada ketentuan Allah yang Maha Memberi dan Menciptakan.
Dengan demikian, untuk memahami ketawakalan, maka yang dijadikan indikatornya adalah seberapa tingkat usaha yang dilakukan secara professional, bagaimana lingkungan mendukung terhadap upaya yang dilakukan dan terakhir adalah kepastian Tuhan yang akan berlaku.
Sehebat apapun manusia, maka di dalam dirinya tetap menyimpan potensi keterbatasan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana menyadarkan diri bahwa di samping kemampuan hebat yang dimiliki, maka juga harus dipahami bahwa ada factor lain yang menentukan tentang keberhasilan tersebut.
Jadi, sebaiknya memang manusia tidak boleh jumawa akan kepintaran, keahlian, kehebatan atau profesionalitas yang kita miliki, kecuali semua itu disandarkan kepada Allah sebagai Dzat yang Maha Menentukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..