• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (24)

PUASA DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (24)
Di dalam penjelasan sosiologis bahwa takwa atau kepatuhan dan kepasrahan adalah ujung akhir dari dari serangkaian kesadaran diri akan betapa ada Zat yang sangat Maha Kuasa, yang menjadi pemilik dan Tuhan seru sekalian alam.
Sosiologi transcendental menggambarkan bahwa keyakinan, kepercayaan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Esa adalah peristiwa empiris dan bukanlah peristiwa magis. Hal ini adalah fenonema kemanusiaan yang memang semenjak dahulu kala telah menjadi kelaziman di dalam kehidupan umat manusia.
Ketaqwaan adalah hasil dari sebuah pergulatan panjang manusia tentang pengakuan akan adanya Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, yang Menguasai dan menjadi Penguasa terhadap seluruh alam ini. Puasa merupakan salah satu instrument untuk manusia agar dengan melakukannya, maka akan diperoleh tingkat keyakinandan kepasrahan yang tinggi. Ibaratnya adalah sebuah perjalanan panjang dan kemudian berhenti pada terminal untuk selanjutnya mengembara lagi dengan bekal ketaqwaan yang dimilikinya itu.
Ada banyak kisah tentang pengalaman spiritual di dalam proses pencarian tentang Tuhan yang sungguh menarik untuk disimak. Kisah para sufi yang dengan riyadhahnya kemudian “merasakan” menemukan Tuhannya dan bahkan kemudian bisa “menyatu” dengan-Nya.
Di dalam konsep “wahdat al wujud” , maka manusia bisa menyatu dengan Tuhan di mana manusia merasa berada di dalam penyatuan wujud dengan Allah. Manusia masuk ke dalam wujud Allah atau memasuki alam Lahut atau alam keilahian. Di sisi lain, di dalam konsep “hulul”, maka manusia merasa dapat menarik Allah ke dalam dirinya, sehingga yang ada bukan diri seseorang, akan tetapi adalah keberadaan Allah. Tuhan terserap ke dalam diri manusia atau Tuhan memasuki alam Nasut.
Adakah pengalaman seperti ini merupakan peristiwa atau fenomena sosiologis? Maka jawabannya adalah ya. Di dalam konsep sosiologi transcendental, maka semua pengalaman manusia dalam relasinya dengan Tuhan, dalam agama apapun, merupakan peristiwa empiris yang mengandung kebenaran secara empiris. Memang peristiwa ini merupakan refleksi individual yang bisa jadi hanya dimiliki oleh segelintir orang. Namun demikian, peristiwa ini tentu bisa dikaji dengan memanfaatkan unit analisis individu yang lazim digunakan di dalam sosiologi transcendental.
Jika kita baca teks sosiologi imaginative, maka dapat digambarkan bahwa para sufi dengan aliran “wahdat al wujud” maupun “hulul” tentu memiliki pengaruh kepada sejumlah orang. Seperti halnya Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam, misalnya leluhur Kanjeng Sultan Hadiwijaya atau Pangeran Karebet. Ayahanda Sultan Hadiwijaya adalah pengikut setia Kanjeng Syekh Abdul Jalil.
Dan kala pengaruh Syekh Abdul Jalil ingin dihabisi sebenarnya karena dianggapnya bahwa aliran spiritual atau ajaran tasawuf yang diajarkannya dianggap akan bisa merusak keyakinan umat Islam kebanyakan. Berdasarkan analisia para wali lainnya, maka ajaran ini dapat membawa kepada kemafsadahan dan ketidakpatuhan umat pada para pemimpinnya. Makanya, ajaran ini harus disingkirkan agar hegemoni agama sebagaimana yang diajarkan secara umum tidak mengalami distorsi.
Secara mendasar bahwa ajaran Syekh Abdul jalil bukan salah, sebab ajaran tersebut memang dikenal di dalam ajaran tasawuf. Dan sebagaimana diketahui bahwa seluruh Waliyullah adalah penganut tasawuf yang kuat. Hanya saja bahwa ajaran tasawuf tersebut bukanlah konsumsi khalayak umum yang belum memiliki kesiapan secara mental untuk memasukinya. Makanya, ketika ajaran tasawuf yang seperti itu diajarkan secara umum pada semua level penganut Islam, tentunya akan mengandung kemafsadatan.
Ajaran Islam memang bukan hanya berdimensi eksoteris namun juga esoterik. Tidak hanya mengajarkan syariat, akan tetapi juga mengajarkan hakikat. Maka ketika seseorang ingin melakukan ajaran hakikat, maka dapat dipastikan bahwa syariatnya sudah baik. Tidak boleh ada lompatan yang terjadi. Ajaran hakikat hanya boleh diberikan kepada orang yang memang sudah siap secara spiritual dan mental.
Bagi Orang Islam “kebanyakan” maka menjalankan agama berbasis syariah saja tentu sudah lebih dari cukup. Namun bagi para “Perindu” Tuhan, maka memasuki agama dalam coraknya yang “bathiniyah” adalah sebuah kewajiban. Di dalam konteks ini, maka taqwa itu bukan hanya sekedar keyakinan untuk mengamalkan agama Allah berbasis ajaran syariat, akan tetapi juga mengamalkan ajaran Islam berbasis hakikat.
Saya pernah diajari oleh KH. Syihabuddin, pemuka tarekat Syatariyah di Kuanyar, Mayong, Jepara, bahwa “man abada al asma fa huwa kafirun, wa man abada al asma wa al ma’na fa huwa mu’minun haqiqiyun”. Yang artinya kurang lebih “barang siapa menyembah nama-nama Tuhan, maka dia kafir, akan tetapi barang siapa yang menyembah nama-nama Allah dan maknanya yang mendalam, maka dia adalah orang mukmin hakiki”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..