• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN KETAKWAAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (22)

PUASA DAN KETAKWAAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (22)
Saya percaya bahwa kata takwa itu diucapkan oleh jutaan umat Islam terutama di bulan puasa seperti ini. Kata ini tentu memiliki makna yang sangat mendalam terkait dengan perilaku umat manusia, terutama umat Islam. Kata takwa memang hanya dikaitkan dengan umat Islam. Makanya di dalam melaksanakan puasa, maka yang diharapkan juga menjadi orang yang taqwa.
Allah SWT telah menggariskan di dalam Surat Ali Imron: 102, “wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa”. Lalu di ayat lain, Surat At Taghabun: 16, Allah juga berfirman “Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah sekuat tenagamu”. Melalui ayat-ayat ini, bahwa Allah menganjurkan kepada kita agar bertaqwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan dengan sekuat tenaga.
Indicator taqwa secara internal dapat diketahui dari perkataan yang benar, membenarkan dengan lesan, lalu membenarkan dengan pikiran dan membenarkan dengan hati. Lesan yang membenarkan akan ketaqwaannya kepada Allah tentu ditandai dengan perkataan yang benar, santun, menyentuh pikiran, perasaan dan hati siapapun. Perkataan yang bisa membawa kepada kedamaian dan kebersamaan. Bukanlah kata-kata yang membuat sakit hati dan perasaan masygul orang lain dan membuat persahabatan atau kebersamaan menjadi hilang.
Apa yang dikatakan merupakan refleksi atas keyakinannya kepada Allah dan merasakan bahwa apa yang dilakukannya selalu di dalam pantauan dan catatan Allah. Makanya, di dalam relasi dengan orang lain, maka yang dijaga adalah bagaimana agar seseorang bisa membuat orang lain senang dan bukan sebaliknya.
Bukankah bahwa menyenangkan orang lain adalah sebuah perbuatan baik yang bernilai shadaqah. Dengan demikian ketika kita bisa menyenangkan orang lain, maka berarti kita telah melakukan amalan shalihan yang sangat bermanfaat.
Sesungguhnya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Ada di dalam diri setiap individu untuk berada di dalam koridor kebenaran. Hanya terkadang tekanan factor eksternal yang menyebabkan manusia bisa berbuat sebaliknya. Potensi kebaikan inilah yang bisa juga dinyatakan sebagai potensi ketuhanan dalam diri manusia. Sebagai “Ruh” Tuhan yang ditiupkan kepada manusia, maka pastilah bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Lalu kenapa ada di antara manusia yang bisa menjadi penjahat seperti perampok, koruptor, penindas dan sebagainya, maka hal ini bisa disebabkan oleh tekanan-tekanan yang dirasakannya.
Saya berpendapat bahwa kejahatan bukanlah factor genetic. Akan tetapi factor lingkungan yang menyebabkannya. Bisa jadi penyebabnya adalah pengalaman hidup yang tidak mengenakkan sehingga menjadi pemicu terhadap tindakan jahatnya. Karena pemicu kejahatan adalah fajtor eksternal, banyak penjahat lalu tobat dan kemudian melakukan perbuatan baik. Semua itu memberikan gambaran bahwa sebenarnya potensi terbesar manusia sesungguhnya adalah kebaikan dan bukan kejahatan.
Semua manusia memiliki potensi kebaikan. Dan dengan potensi ini, maka hal ini menjadi bukti tentang adanya keadilan Tuhan. Mana mungkin Tuhan akan memberikan potensi kejahatan yang melebihi takaran kebaikannya. Jika pun ada potensi kejelekan pastilah bahwa potensi kejelekannya jauh lebih kecil dibanding potensi kebaikannya.
Tuhan memiliki sifat baik dan sifat baik itulah yang juga menjadi potensi manusia. Jika kemudian terdapat manusia yang melakukan tindakan kejahatan, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah memilih tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan fitrahnya atau potensinya.
Manusia diberikan potensi akal dan pikiran, perasaan dan hati. Maka dengan potensi itu, manusia bisa memilih mana tindakan yang relevan dengan potensinya dan mana yang tidak sesuai dengan potensinya. Oleh karena itulah diturunkan agama agar manusia berselaras dengan pengembangan potensinya untuk terus berbuat yang baik dan menghindari tindakan yang jahat.
Sikap dan tindakan penyesalan sebagaimana banyak ditemui pada orang yang melakukan tindakan kejahatan, sesungguhnya adalah pengejawantahan potensi kebaikan yang datang pada saatnya. Hanya saja terkadang manusia lebih mempertimbangkan potensi kejelekannya manakala memang ada pemicu untuk mengaktualkannya.
Ketaqwaan sebenarnya merupakan wujud dari aktualitas potensi kebaikan yang ada pada diri manusia. Semakin bertaqwa seseorang, maka semakin besar potensi kebaikan tersebut dapat diaktualkannya. Risalah Islam jika dicari pembenarannya adalah untuk menjadi pedoman agar manusia menyelaraskan antara potensi kebaikannya dengan agama yang juga mengajarkan kebaikan pula.
Jika plus (pesan keagamaan) bertemu dengan plus (potensi kebaikan pada diri manusia), maka akan menghasilkan plus (kebaikan atau kema’rufan). Namun jika plus (pesan keagamaan) bertemu dengan minus (potensi kejahatan), maka akan menghasilkan plus minus atau jiwa yang labil, kadang baik dan kadang jelek.
Oleh karena itu, melalui pesan agama, maka yang diharapkan adalah munculnya tindakan positif yang tidak hanya untuk diri sendiri, akan tetapi juga berdampak bagi kehidupan umat manusia lainnya. Dan Allah sudah mengajarkannya agar kita terus berusaha meyakini akan kebenaran Allah dan ajarannya dengan sekuat tenaga.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..