PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (21)
PUASA DAN NUZUL AL QUR’AN (20)
Al Qur’an sarat dengan penggolongan sosial sesuai dengan konsep-konsep sosiologis. Di dalam Al Qur’an didapati konsep penggolongan sosial berdasarkan akibat konteks perilaku yang mengejawantah di dalam kehidupan. Di dalam Surat Al Waqi’ah: 5-60 dijelaskan tentang konteks mereka yang disebut sebagai Ashhab al Maymanah dan Ashhab al Masy’amah.
Al Quran memang banyak bercerita tentang metafora untuk menggambarkan bagaimana konteks kehidupan manusia dengan penggolongan sosialnya itu. Dari dua golongan ini, maka yang tergolong Ashhab al Maymanah adalah orang yang bertaqwa kepada Allah, menjalankan amalan baik, mereka adalah orang yang dekat dengan Allah, mereka menempati tempat yang sangat terhormat, mereka adalah orang yang mulia, mereka berada dalam lingkungan yang asri (ada pohon bidara, pohon pisang, air mengalir), kasur yang empuk, dan kenikmatan syahwat yang tidak terkira, dan juga panen yang terus menerus serta tidak ada larangan untuk melakukan perbuatan yang baik. Mereka disebut sebagai golongan kanan atau Ashhab al Yamin.
Sementara itu golongan Ashhab al Masy’amah adalah penggolongan yang menggambarkan orang yang tidak taat kepada Allah, ketika di dunia mereka hanya bersenang-senang, dan bermewah-mewahan, mengerjakan dosa besar, berada di dalam kesengsaraan, siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, naungan asap yang hitam pekat, memakan pohon zaqum, meminum air yang sangat panas dan mereka selalu kehausan. Mereka adalah golongan yang disebut sebagai golongan kiri atau Ashhab al Syimal.
Gambaran tentang orang yang disebut kiri atau kanan tampaknya memang sangat fisikal. Akan tetapi memang begitulah gambaran yang mudah diterima oleh akal manusia dan yang dapat dirasakan dengan perasaan dan juga dapat direnungkan dengan hati. Al Qur’an memberikan gambarab metaforik tentang masyarakat mana yang kelak akan memperoleh kebahagiaan dan mana yang kelak akan memperoleh kenistaan.
Gambaran fisikal ini perlu sebab Firman Tuhan ini diturunkan kepada manusia dengan kemampuan yang terbatas dan juga kemampuan daya nalar yang juga terbatas. Tidak semua memahami hal-hal yang abstrak dan transcendental, sehingga haruslah dijelaskan dengan metafora alam yang dekat dengan kehidupan manusia.
Jika kemudian digambarkan dengan dijadikan bidadari untuk menggambarkan nafsu syahwati yang dimiliki manusia, lalu kebutuhan makanan dan minuman yang serba lezat, lalu lingkungan yang asri penuh dengan tetumbuhan dan air yang mengalir dan melimpah dan sebagainya, maka pada hakikatnya Tuhan ingin memberikan gambaran betapa kenikmatan itu diperuntukkan bagi mereka yang patuh pada Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang diturunkannya.
Lalu, jika juga digambarkan tentang angin yang panas dan berhembus dengan cepat, mendung hitam pekat, air mendidih, memakan buah yang sangat tidak enak dan juga minum air yang sangat kotor dan bau, maka hal ini juga menggambarkan tentang bagaimana ketidaknyamanan tempat yang dihuni oleh Kaum Syimal. Jadi mereka diberi gambaran metaforis tentang lingkungan yang tidak nyaman di dalam kehidupan tersebut. Mereka yang bertempat di sini adalah kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafiq dan sebagainya yang selama hidupnya tidak mempercayai Tuhan dan tidak mengamalkan ajaran agama yang telah diturunkan kepada mereka.
Al Qur’an diturunkan agar manusia memiliki pedoman untuk melakukan kebaikan. Bahkan agama apapun juga tidak mengizinkan masyarakatnya melakukan tindakan kejahatan dan keburukan. Sebagai pedoman tentu Al Qur’an harus dekat dengan bahasa kaumnya. Makanya, banyak ayat yang mengndung metafora fenomenologik sesuai dengan lokus yang dihadapi kala itu.
Bagi orang Arab yang tanahnya tandus dan lingkungan yang kering tentu mendambakan bagaimana mereka bisa menempati lokus yang indah menghijau dengan tetumbuhan yang serba hijau dan juga buah-buahan yang ranum dan menarik serta air mengalir dengan jernih. Itulah sebabnya ketika Tuhan menggambarkan tentang penghuni surga atau kaum Yamin atau kaum Ashhab al Maymanah, maka gambaran seperti itu yang termimpikan.
Dan kemudian mereka yang tergolong kaum Syimal atau Kaum Ashhab al Masy’amah, maka yang digambarkan juga keadaan kepahitan sebagai yang dirasakan di tanah mereka yang tandus dan lingkungan mereka yang kering dengan hembusan angin kencang lagi sangat panas. Dengan demikian, setiap metafora tentu memberikan gambaran tentang apa dunia mimpi mereka tentang kehidupan yang nyaman dan enak.
Itulah sebabnya Syaikh al Azhar ( Prof. Dr. Mahmud Syaltut) kala datang ke Indonesia, maka yang diucapkan adalah bahwa Indonesia adalah sepotong surga yang ada di dunia. Indonesia ternyata memang sebagaimana gambaran tentang surga di dalam Kitab Suci Al Qur’an.
Maka, harus menjadi kebahagiaan kita bangsa Indonesia bisa menempati potongan surga sebagaimana yang digambarkan di dalam Al Qur’an. Bersyukur harus menjadi prioritas di dalam kehidupan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.