• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN TAQWA DALAM PERSEKTIF SOSIOLOGIS (23)

PUASA DAN TAQWA DALAM PERSEKTIF SOSIOLOGIS (23)
Di dalam teori ilmu sosial dikenal ada sebuah madzab yang mengajarkan bahwa factor lingkungan berpengaruh dominan terhadap perilaku manusia. Maka baik buruknya tindakan seseorang juga ditentukan oleh factor lingkungan di mana yang bersangkutan hidup dan berkehidupan.
Ketaqwaan atau pernyataan diri bahwa seseorang akan menjalankan seluruh perintah agama dan menjauhi segala larangan agama, hakikatnya juga bersentuhan dengan dimensi lingkungan ini. Orang beragama juga dalam banyak hal ditentukan oleh factor lingkungan. Seseorang menjadi Islam, Nasrani, Yahudi atau Majusi dan lainnya juga dipicu oleh lingkungan ini.
Suatu hadits Nabi Muhammad saw., menyatakan “setiap manusia dilahirkan dalam kesucian, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan seseorang sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Jika dia lahir di tengah keluarga Muslim, maka jadilah ia muslim, namun kala yang bersangkutan lahir di tengah orang Nasrani, maka juga akan menjadi Nasrani dan demikian pula kalau seseorang lahir di lingkungan Majusi, maka dia juga akan menjadi Majusi. Demikian pula dengan agama lainnya.
Di dalam konteks ini, maka pengaruh lingkungan menjadi dominan. Jadi paradigma perilaku sosial (madzab social behavior) yang menekankan pada dominannya factor eksternal menjadi relevan untuk menjadi basis analisis tindakan keagamaan. Seseorang juga akan menjadi beragama, jika dia berada di dalam lingkungan yang benar dan akan menjadi sebaliknya jika berada di dalam lingkungan yang salah.
Ketaqwaan juga berdimensi eksternal. Ketaqwaan seseorang juga bisa ditentukan oleh factor eksternal. Misalnya kala seseorang berada di dalam lingkungan yang agamis atau taat kepada Allah pasti akan juga berpengaruh kepada dirinya. Dan sebaliknya kala seseorang berada di dalam lingkungan yang tidak kondusif di dalam beragama, maka juga akan berpengaruh terhadap tindakan keagamaannya. Itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa seseorang akan mengikuti pada apa yang disukainya. “Anta ma’a man ahbabta”, yang artinya “engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai” (HR. Bukhari). Jika diperluas maknanya, maka sesungguhnya kita ini akan mengikuti dengan apa yang ada di dekat kita. Bisa saja berupa orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh panutan lainnya.
Factor lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan di dalam pengamalan beragama. Jika kita berada di pesantren yang sarat dengan pengamalan beragama, maka kita dipastikan akan mengikuti apa yang ada di dalam pesantren, dan bahkan tidak mempertanyakan tentang apa yang kita lakukan. Kita juga akan berupaya untuk menyamakan perilaku kita dengan apa yang ada di dalam lingkungan kita.
Hal ini tentu berbeda dengan kala kita berada di masyarakat luas. Maka, kita juga akan cenderung untuk melakukan apa yang menjadi mainstream tindakan di masyarakat itu. Suatu contoh kala ada rumah pelacuran yang berada di dalam kompleks perumahan penduduk, maka dapat dipastikan bahwa perilaku para pelacur akan mempengaruhi terhadap pertumbuhan para remaja di wilayah tersebut.
Kita tentu mengapresiasi terhadap tindakan Walikota Surabaya yang melakukan penutupan terhadap tempat Pelacuran Dolly di Surabaya, sebab kompleks pelacuran tersebut memang berada di tengah-tengah masyarakat. Perilaku para pelacur baik yang terkait dengan pembicaraan, maupun gaya kehidupan dan berbagai ungkapannya tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan mental anak.
Memang pemindahan tersebut masih menyisakan masalah. Jika yang dimaksud adalah relokasi, maka ia tetap akan meninggalkan masalah yang tidak sederhana. Realokasi pekerjaan yang memang harus menjadi target dalam kerangka pemberdayaan kaum pelacur.
Bukankah mencarikan pekerjaan atau memberikan lahan usaha dan modal usaha untuk mereka yang tergusur merupakan amalan kebajikan yang bersumber dari ajaran Islam. Jadi penutupan perilaku yang salah juga harus mempertimbangkan terhadap bagaimana kelanjutan kehidupan yang dianggap bersalah. Memperjuangkan terhadap pentingnya kehidupan yang kontinum tentu akan memberikan imaj positif bagi warga masyarakat secara umum dan terlebih mereka yang tergusur.
Di dalam konsepsi kaum tarekat, maka didapati konsep “uzlah” atau menyendiri di suatu tempat dan membedakan perilaku kita dengan apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Uzlah dewasa ini lebih diartikan bukan pada pengasingan diri di tengah kehidupan ramai, akan tetapi lebih dimaknai sebagai melakukan tindakan yang berbeda dengan tindakan masyarakat pada umumnya. Jika masyarakat banyak yang melakukan kemaksiatan, maka para anggota tarekat justru akan melakukan tindakan yang terpuji. Jadi, taqwa itu adalah kala seseorang bisa melakukan tindakan benar di tengah kebanyakan perilaku salah.
Taqwa yang benar adalah manakala ada keseimbangan antara kepatuhan kepada Allah dan juga penghargaan terhadap hal ihwal dan harkat martabat manusia. Keseimbangan antara relasi vertical dengan Allah dan juga relasi horizontal terhadap sesama manusia. Di dalam konteks keberagamaan, maka yang diharapkan adalah bagaimana agar seseorang yang bertaqwa kepada Allah juga mampu menjalin rasa kemanusiaan yang tinggi.
Kiranya, benar apa yang diajarkan oleh Islam, bahwa “hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di manapun kamu berada. Dan hendaknya kamu menyegerakan berbuat baik kala selesai melakukan tindakan yang salah”.
Jika kita bisa melakukannya, maka yang demikian ini adalah sebuah kebajikan yang kelak tentu akan menjadi potensi cadangan bahwa kita adalah orang yang beruntung.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..