PUASA DAN TAWAKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (26)
PUASA DAN TAWAKAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (26)
Puasa sebagaimana kita pahami bukan hanya sebagai sarana untuk mencegah hawa nafsu badaniyah saja, akan tetapi juga untuk mencegah seluruh nafsu jahat yang berada di dalam diri manusia.
Puasa yang benar tentu mengandung harapan agar ibadah yang dilakukannya tersebut bermakna untuk memperoleh keridloan Allah. Bukan sekedar ingin memperoleh surga saja, akan tetapi yang lebih penting adalah puasa tersebut dapat menjadikan Allah ridlo akan kehadiran kita di belantara peribadahan yang dilakukan oleh umat manusia.
Di sinilah tawakal menjadi penting adanya. Tawakal itu bukanlah suatu tindakan yang mengandalkan pada pertimbangan rasio yang untung rugi, akan tetapi merupakan perbuatan yang didasari oleh pertimbangan hati nurani. Jadi, yang mendasar adalah bagaimana hati kita dihadapkan pada ibadah yang kita lakukan itu.
Di dalam diri manusia terdapat sisi hati yang disebut sebagai hati nurani dan hati sanubari. Jika hati sanubari memberikan pertimbangan yang lebih dekat dengan akal, maka hati nurani lebih dekat dengan perasaan. Maka kebenaran agama kebanyakan memasuki pintu hati nurani dan bukan hati sanubari. Sikap keraguan dalam ibadah atau lainnya tentu datang dari hati sanubari, sedangkan sikap khusyu’ dan tidak ada keraguan di dalam ibadah merupakan kewenangan hati nurani.
Di dalam Surat Al Baqarah: 2, dinyatakan: “inilah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa”, maka yang disasar oleh ayat ini adalah hati nurani manusia dan bukan hati sanubari. Dengan demikian, hati nurani memainkan peran penting di dalam seluruh proses peribadahan kita kepada Allah. Makin khusyu’ kita melakukan ibadah, maka berarti kuasa hati nurani terhadap diri kita makin kuat.
Iman kepada Allah merupakan kunci bagi semua amalan kita. Posisi iman adalah dasar dari semua tindakan ibadah yang kita lakukan. Itulan sebabnya Allah mengajarkan agar manusia terus menjaga imannya agar ibadahnya akan selalu stabil. Meskipun iman itu fluktuatif, akan tetapi harus tetap dijaga agar iman tidak jatuh ke titik lebih rendah dari rerata iman yang benar.
Manakala kita shalat, terutama bagi kaum awam, maka sering godaan itu datang dari dalam hati kita. Maka godaan itu, bagi kaum sufi datang dari hati sanubari. Adakalanya di dalam shalat lalu kita teringat akan berbagai peristiwa yang membelenggu. Bisa saja berupa tentang jabatan, harta, kekuasaan, relasi dengan sesama manusia atau apapun. Di dalam konteks ini, maka pintu masuknya adalah hati sanubari.
Namun demikian, potensi untuk khusyuk juga ada. Bagi mereka yang memiliki kemampuan spiritual lebih dibanding lainnya, maka medan shalat adalah tempat dan waktu yang luar biasa untuk menyambungkan relasi kita kepada Tuhan. Sayyidina Ali, misalnya ketika Beliau terkena panah dalam peperangan, maka Beliau meminta untuk mencabut panah tersebut justru kala Beliau sedang shalat. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa shalat yang sampai tahapan menyambung tali ikatan dengan Allah swt adalah manakala seluruh kehadiran kita hanya untuk Allah semata.
Untuk bisa sampai kepada nuansa shalat seperti ini tentu butuh waktu dan latihan yang sistematis. Itulah sebabnya kenapa di dalam dunia tasawuf, maka proses pendakian ke arah seperti ini harus dilalui bersama guru atau mursyid. Melalui bimbingan para mursyid, maka seseorang tidak akan tersesat di dalam pendakian spiritualitas yang memang unik dan rumit.
Saya tidak tahu apakah kita bisa sampai ke maqam ini, sebab kita bukanlah orang yang dengan setia dan telaten untuk menjadikan medan shalat sebagai wahana relasi dengan Allah secara intensif. Kita banyak terjebak pada rutinitas dan kebiasaan untuk beribadah secara formal. Artinya, yang terpenting syarat dan rukunnya tercapai. Ibadah kita lebih bercorak syariah ketimbang hakikat.
Jika al Qur’an menyatakan bahwa iman itu “yazid wa yankus” atau fluktuatif, maka yang demikian ini secara empiris berada di kalangan awam beragama atau yang beragama dengan hanya keinginan untuk memenuhi kewajiban. Selama kewajiban telah terpenuhi, maka tentu sudah absah.
Dengan demikian, ada sedikit renungan yang barangkali menjadi pemicu agar kita lebih menuju ke arah spiritualitas di dalam beribadah. Renungan tersebut berangkat dari bacaan di dalam shalat kita “inna shalati, wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rab al alamin”. Sudahkah kita menjadikan spiritualitas bacaan kita ini di dalam implementasi peribadahan kita.
Jawaban atas pertanyaan ini tentu terdapat di dalam diri kita masing-masing dan sesuai dengan pirnsip-prinsip sosiologis bahwa manusia memiliki potensi spiritual yang bisa saja diaktifkan, manakala memang ada keinginan untuk merealisasikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.